Dari tempatmu berdiri, kau bisa melihat Jia duduk di kursi paling ujung restoran, di tempat Tae Hyung bekerja. Hari ini temanmu itu mengenakan setelan dress selutut warna putih dengan motif bunga kuning. Senada dengan tasnya. Dan selalu tampak cantik seperti hari-hari sebelumnya. Rambut panjangnya, atau aroma parfum yang selalu dia kenakan mungkin menjadi salah satu kesukaan Jung Kook. Sialnya, kau baru menyadari itu baru-baru ini. Saat pria itu pulang larut, kau selalu familiar dengan aroma-aroma itu. Tidak menyangka, itu aroma yang sama dengan Jia.Kau baru saja membuka pintu setelah menimang untuk menemui Jia nyaris satu jam, tapi dengan mudahnya Jia menyapamu dengan tatapan matanya yang terlihat kesal. Tajam memandangmu. Kau berusaha mengabaikan amarahmu, menghapus pikiran jika disini yang paling layak untuk kesal dan marah hanya kau seorang.
"Sudah datang?" suara bariton Tae Hyung terdengar dan terasa hangat saat menyebar di telingamu. Dia menyuruhmu untuk segera menghampirinya di meja kasir. Seolah tengah memberimu semangat seperti hari sebelumnya.
"Jangan khawatir."
Kau selalu berpikir, kenapa sikap perhatian yang Tae Hyung berikan seolah tak akan mampu Jung Kook lakukan. Mungkin selama ini kau tak bisa menghitung banyaknya Jung Kook mengatakan bahwa kau lah satu-satunya yang dia cintai. Namun hari ini kau melihat sorot mata teduh milik sahabatmu itu, menatapmu hangat dan kau merasa aman, yang tak bisa kau jumpai pada mata Jung Kook.
Saat berhadapan dengan gadis berparas ayu itu, kau lebih banyak bungkam, membiarkan Jia berbicara panjang lebar sebagai dalih pembelaan dirinya sendiri. Kau pikir persahabatanmu dengan gadis itu berharga dan lebih penting ketimbang asmara, kau pikir dia akan meminta maaf dan melepaskan Jung Kook, namun kau salah. Jia berkata dengan lantang jika dirinya dan Jung Kook saling mencintai. Cintanya dalam melebihimu. Suaranya saat mengucapkan kalimat-kalimat itu seperti duri yang menancap di ulu hatimu. Terasa sangat pedih.
Katanya, dia lebih pantas, katanya Jung Kook lebih bahagia dengannya, selama ini Jung Kook menceritakan betapa tertekannya saat bersamamu. Kau mendengar semua itu bertubi-tubi. Bahkan smapai pada bagian, jika Jung Kook memujinya yang lebih manis darimu.
Pada akhir kalimatnya, kau di minta untuk mengerti dan meninggalkan Jung Kook. Melupakan semua kenangan yang kau bangun bersama lelaki itu.
Hari itu kau tidak menangis, tidak juga membalas semua omong kosong Jia. Mulutmu terbungkam kenangan-kenangan indah yang datang setelah kau memikirkan Jung Kook. Lalu, bagian-bagian menyakitkan dari kenangan itu menusuk palung hatimu. Membuatmu kebingungan, kenapa baru sekarang kau sadar jika kau memulainya dengan kesalahan pasti akan berakhir dengan kesalahan pula.
Sampai di detik saat kau berdiri dari dudukmu, menatap mata Jia dan sudut bibirmu terlukis senyum menyakitkan.
"Aku tidak tahu sejauh apa hubungan kalian selama ini di belakangku. Tapi kuharap setelah aku melepasnya, kau bisa hidup bahagia, Jia." Setelah kata itu keluar dari bibirmu. Kau beranjak mengabaikan seruannya. Panggilan nama yang dia teriakkan tak lagi membawamu pada anggapan dia masih layak menjadi orang yang kau percayai lagi. Kau merelakan keduanya. Jung Kook, dan Jia.
••
Kau sampai di rumah saat matahari tergelincir dari tahta. Kau pikir ada Jung Kook di rumah, namun ternyata tidak. Helaan napasmu terdengar panjang begitu kau duduk di ranjang tempat tidur.
Menjual rumah. Pikiranmu mendadak seperti orang bodoh yang menyesali tindakan. Itu juga berarti kau harus mengepaki seluruh barang-barang. Dan memindahkannya entah di mana. Sialnya kau sendiri belum memikirkan dimana kau akan tinggal. Memilih mengontrak lagi atau membeli rumah lain yang jauh dari daerah sini. Apapun, kau akan lakukan asal tidak tinggal dalam bangunan penuh kenangan ini.
Sementara masih berpikir harus memulai dengan apa lebih dulu, kau mendengar suara pintu berderit. Derap langkah kemudian menuju kamar di depan kamarmu. Kau yakini itu Jung Kook karena pintu kamar pria itu juga berdencit kemudian.
Sesaat kau diam tanpa suara, membiarkan suara-suara kembali terdengar. Kau juga mendengar sesekali dia mengumpat samar. Satu kebiasaan Jung Kook yang akan dilakukan ketika tengah kesal.
Saat akan keluar dan baru saja sampai diambang pintu, kau menghentikan langkahmu. Menahan knop pintu kamarmu dan mendengar suara Jung Kook yang tengah menerima telepon.
"Ya, Sayang. Sebentar. Aku sedang bersiap-siap. Sepuluh menit lagi aku ke rumahmu."
"..."
"Pasti. Jangan dandan terlalu cantik."
"..."
"Eum. See you."
Masih di sana, kau merasakan sekujur tubuhmu memanas dan kaku. Kau lupa cara bernapas, dan disaat yang sama air matamu jatuh melintas.
Kau sudah yakin jika untuk melepas lelaki itu, kau bahkan rela menjual rumah ini dengan harapan tidak ingin lagi berurusan dengan Jung Kook. Namun pada kenyataannya, kau masih belum mengenal lukamu. Kau masih diam-diam mengharapkan—setidaknya kata maaf atau putus darinya.
Sampai tak ada suara lagi setelahnya, Jung Kook pergi tanpa mengetuk pintu kamarmu seperti yang biasa ia lakukan saat akan pergi ke kampus atau main bersama temannya. Bahkan saat ia hendak pulang ke rumah orangtuanya, dia menyelipkan izin manis dan sebuah pelukan hangat. Kini segalanya telah berubah, entah siapa yang lebih salah. Kau hanya bisa menutup rapat-rapat kembali pintu kamar dan menangis hebat.
—
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
We Don't Talk Anymore ✓
Fanfiction❝Saat kau memutuskan menjadi selingkuhannya empat tahun lalu, bukan berarti kau akan menjadi yang terakhir untuknya.❞ -- Kita tak lagi saling bicara ataupun melihat sejak hari itu. Kita tak tahu kenapa waktu membiarkan hubungan ini semakin menyedihk...