Anara Thalita Kirana, seorang gadis kecil berusia enam tahun, duduk di tepi jendela rumah neneknya. Matanya yang bulat mengamati langit sore yang mulai berwarna jingga, semburat indah yang selalu membuatnya merenung.
Di rumah kecil ini, ia menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Mbah Putri, sejak ibunya harus bekerja dari pagi hingga malam.Anara sudah terbiasa, meski ada rasa rindu yang selalu membebani hatinya. Rindu akan sosok ibunya yang jarang ia temui dalam sehari penuh.
"Ibu kerja lagi ya, Mbah?" tanyanya dengan suara pelan, setengah berharap ada jawaban berbeda hari ini.
Mbah Putri yang tengah menyiapkan teh sore tersenyum tipis, menatap cucunya yang kini mulai besar.
"Iya, Nduk. Ibu-mu kerja keras, biar Anara bisa sekolah nanti. Sabar, ya?"Anara mengangguk pelan. Di usianya yang masih belia, ia belum sepenuhnya paham apa artinya kerja keras, tapi ia mengerti bahwa ibunya selalu pergi pagi dan pulang ketika langit sudah gelap.
Kehangatan keluarga hanya terasa dari cerita-cerita lama Mbah Putri, tentang bagaimana ibunya dulu rajin belajar, selalu ingin menjadi orang yang sukses.
Setiap sore, Mbah Putri menemani Anara bermain di halaman. Pohon jambu yang tumbuh di sudut halaman menjadi saksi bisu canda tawa keduanya.
Kadang, Mbah Putri bercerita tentang masa lalu, tentang bagaimana Anara lahir sebagai bayi yang kuat, bahkan ketika suasana rumah tak selalu harmonis.
"Dulu, Ibu-mu itu hebat, Anara," Mbah Putri mulai bercerita, sambil sesekali menyeruput teh hangatnya.
"Meski ayahmu dan ibumu sering bertengkar, dia tetap tegar. Selalu bilang ingin membuatmu bahagia."Anara mengernyit, belum sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud dengan pertengkaran orang tua. Ia tahu ayahnya jarang datang, hanya muncul sesekali dengan wajah lelah dan suara berat. Ketika ayahnya datang, suasana rumah terasa tegang. Ibunya dan ayahnya selalu bicara dengan nada dingin, meski Anara mencoba mencuri perhatian di tengah keheningan itu.
"Ayah mana, Mbah?" tiba-tiba Anara bertanya, menatap Mbah Putri dengan pandangan penasaran.
Mbah Putri terdiam sejenak, menatap cucunya dengan tatapan penuh kasih.
"Ayahmu sedang jauh, Nduk. Mungkin suatu hari nanti kalian akan bertemu lagi. Sekarang, Ibu-mu sedang berusaha yang terbaik buat kamu."
Anara mengangguk, meski di dalam hatinya ada perasaan ganjil yang tak ia pahami. Ia hanya tahu bahwa ayahnya selalu menjadi bayangan samar di ingatannya—hadir tapi tak pernah benar-benar ada.
Sore itu, Anara dan Mbah Putri duduk lama di teras rumah, menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit. Dalam keheningan, Anara merasa aman.
Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang tak ia mengerti tentang keluarganya. Sesuatu yang membuat ibunya selalu terlihat lelah, dan ayahnya seperti bayangan yang tak pernah benar-benar pulang."Kalau Ibu sama Ayah bertengkar, kenapa Ibu nggak bilang ke aku?" pikir Anara dalam hati. Ia ingin tahu lebih banyak, tapi setiap kali mencoba bertanya, selalu ada senyuman tenang dari Mbah Putri yang menghentikan niatnya.
Malam itu, Anara kembali tidur di kamar kecilnya di samping kamar Mbah Putri. Di bawah sinar bulan yang menembus jendela, ia menggenggam boneka beruang kesayangannya, memejamkan mata dan berharap besok adalah hari yang lebih cerah.
Namun, di sudut hatinya, ada perasaan yang menggantung—perasaan tentang rumah yang tak lagi terasa utuh.--- Langit yang berwarna kelabu di luar rumah adalah cerminan hati Anara, yang mulai merasakan kekosongan yang tak pernah terucap. Tapi ia belum tahu, badai yang lebih besar tengah menunggu di depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Sunyi di Balik Dinding
Teen FictionAnara tumbuh dalam diam. Bukan diam yang menenangkan, tapi sunyi yang menyimpan ribuan cerita. Di tengah hidup yang selalu menuntutnya kuat, ia masih percaya ada ruang untuk cinta, meski sering kali terselip di antara rasa sakit dan kebingungan. Set...