Chapter 3: Pulang ke Rumah Nenek

9 3 0
                                    

Pagi itu, suara ibunya memecah keheningan kamar.
"Anara, bangun. Kita harus pergi," ucapnya dengan suara serak, terdengar seperti baru saja habis menangis.
Anara yang masih setengah mengantuk, membuka mata perlahan, merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Ibunya sudah berpakaian rapi dan sedang membereskan barang-barang mereka ke dalam koper. Dengan kepala yang masih berat, Anara duduk di tepi kasur.

"Mau ke mana, Bu?" tanyanya, bingung melihat ibunya terburu-buru.
Ibunya tidak langsung menjawab, hanya melanjutkan berkemas tanpa banyak bicara. Setelah beberapa saat, akhirnya ia menoleh ke arah Anara, berusaha tersenyum meski terlihat jelas ada kepedihan di balik matanya.

"Kita akan pindah ke rumah nenek, sayang," jawabnya pelan. "Nenek dari ayahmu."
"Nenek? Kayak Mbah Putri?" Anara bertanya, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba berubah. Bayangan rumah nenek yang lain, yang jarang disebutkan oleh ibunya, terasa asing bagi Anara.
"Ya, Nak. Rumah Nenek dari pihak ayah. Kita akan tinggal di sana untuk sementara," lanjut ibunya, sambil menutup koper dengan sedikit gemetar.

Anara merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia tahu bahwa hubungan antara ibunya dan ayahnya sudah lama tidak baik, tapi ia tidak pernah menyangka akan pindah ke rumah nenek dari ayahnya. Biasanya, mereka hanya tinggal di rumah kecil bersama Mbah Putri, meskipun tidak mewah, tapi terasa nyaman dan akrab. Rumah yang penuh cerita tentang masa lalu ibunya.

Namun, pagi itu, Anara mengikuti ibunya dengan patuh, meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka. Suasana di luar rumah terasa lengang, seperti mencerminkan perasaan mereka yang kosong. Dalam perjalanan tidak banyak percakapan yang terjadi. Hanya ada deru kendaraan dan pikiran Anara yang berputar-putar, mencoba memahami mengapa semua ini terjadi.

Setibanya di rumah nenek, suasana terasa sangat berbeda. Rumah itu besar, tetapi terasa dingin dan sunyi. Pintu rumah terbuka, dan di sana berdiri seorang wanita tua yang tidak Anara kenal. Wajahnya terlihat tegas, tanpa senyuman hangat yang biasa Anara dapatkan dari Mbah Putri.

"Oh, kalian sudah sampai," suara nenek terdengar datar, tanpa ekspresi bahagia melihat kedatangan mereka.
Anara menatap ibunya, berharap ada penjelasan. Namun, ibunya hanya diam, menghela napas panjang dan menggandeng tangan Anara untuk masuk.

"Masuk, Nak. Ini rumah kita sekarang," ucap ibunya lirih, meskipun suara itu terdengar penuh ketidakpastian.
Di dalam rumah, suasana semakin terasa asing. Dindingnya berwarna kelabu, dengan perabotan yang tampak tua. Anara melihat seorang gadis yang duduk di sudut ruang tamu dengan ponsel di tangan. Gadis itu, yang dikenalkan oleh ibunya dihadapanya tadi sebagai Maya, kakak tirinya, tidak mengangkat pandangan saat mereka masuk.

"Hai," sapa Anara dengan senyuman, berharap bisa akrab dengan kakaknya.
Namun, Maya hanya mengangkat alis tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya. "Hmm," gumamnya acuh tak acuh.

Suasana rumah ini berbeda sekali dengan rumah Mbah Putri, di mana kehangatan selalu terasa di setiap sudutnya. Anara mencoba tetap ceria, meski dalam hatinya ia merasa tersisih dan sendirian. Ia berjalan keluar rumah, menuju halaman belakang, mencoba mencari pelarian dari ketegangan yang menggantung di udara.

Di halaman, ada pohon besar yang rimbun, tetapi tidak memberikan kenyamanan yang biasa ia rasakan di bawah pohon jambu di rumah Mbah Putri. Di sini, semuanya terasa sunyi. Tidak ada tawa, tidak ada suara canda. Hanya dia dan kesepiannya.

Anara duduk di bawah pohon, memeluk lututnya. Ia tahu, hidupnya baru saja berubah—dan perubahan ini tidak mudah diterima. Di rumah yang besar ini, Anara merasa semakin kecil dan tidak terlihat. Meski keluarganya lengkap, ia merasa terpisah oleh jarak yang tidak kasat mata.

Suara Sunyi di Balik DindingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang