Tahun demi tahun berlalu. Anara yang dulu masih kecil, kini sudah mulai beranjak dewasa. Usianya semakin mendekati masa remaja, dan sebentar lagi ia akan memasuki bangku SMP. Namun, meskipun waktu terus berjalan, keluarganya tetap terjebak dalam konflik yang tiada henti. Tidak ada yang benar-benar berubah.
Ayahnya masih dingin dan acuh tak acuh. Ibunya, meski selalu berusaha tegar, semakin lama semakin lelah menghadapi tekanan yang datang dari segala arah. Konflik di rumah nenek masih sering terjadi, seolah tidak ada habisnya. Setiap hari terasa seperti medan pertempuran baru, dan Anara, yang semakin dewasa, mulai merasakan beratnya semua itu menekan dirinya.
Meskipun Anara sudah tumbuh menjadi lebih dewasa dan mulai bisa memahami situasi di sekitarnya, tidak ada yang bisa meredakan perasaan tertekan yang ia rasakan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, justru menjadi tempat yang penuh dengan konflik. Di tengah kegelisahan itu, ibunya akhirnya mencapai batas kesabarannya.
Suatu malam yang dingin, setelah hari yang penuh ketegangan, ibunya duduk di ruang tamu dengan wajah yang terlihat sangat lelah. Air mata mengalir di pipinya tanpa suara. Nenek baru saja selesai menghina dan menyudutkannya lagi di depan ayah, sementara Maya, seperti biasa, duduk acuh tak acuh, menikmati semua perhatian yang ia dapat dari nenek.
"Aku nggak kuat lagi, Mas," kata ibunya kepada ayah Anara, suaranya bergetar. Ini bukan pertama kalinya ia mengutarakan keluhan yang sama, tetapi kali ini suaranya terdengar lebih putus asa.
Ayahnya hanya menatap kosong, seolah sudah terbiasa dengan keluhan seperti itu. Namun, kali ini, ibunya tidak berhenti di sana.
"Kalau kamu nggak mau membela aku, setidaknya izinkan aku pergi dari sini. Aku sudah tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Aku nggak mau anak-anak terus tumbuh dalam suasana seperti ini," lanjutnya, kali ini dengan air mata yang jatuh deras di pipinya.
Ayahnya terdiam cukup lama, mungkin tidak menyangka ibunya akan berani mengatakan hal seperti itu. Meskipun selama ini ibunya selalu menjadi sosok yang pasrah, kali ini ada ketegasan dalam ucapannya. Suasana ruangan menjadi sangat tegang, seolah-olah apa pun yang dikatakan setelah ini akan menjadi titik balik dalam kehidupan mereka.
Akhirnya, ayah Anara menghela napas panjang. "Yaudah," katanya dengan suara berat. "Kalau kamu mau pindah, kita akan pindah. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti hidup jadi lebih susah."
Ibu Anara tidak menjawab, tetapi anggukan pelan di kepalanya menandakan bahwa ia sudah bulat dengan keputusannya. Tidak ada yang lebih berat daripada terus tinggal di rumah nenek, di mana setiap hari hanya diisi dengan pertengkaran dan penghinaan. Baginya, pindah ke rumah kontrakan yang lebih kecil tapi penuh kedamaian adalah pilihan yang jauh lebih baik, meski harus mengorbankan kenyamanan.
Beberapa hari kemudian, mereka pindah dari rumah nenek. Anara merasa campur aduk; di satu sisi, ia lega bisa meninggalkan tempat yang penuh dengan konflik itu, tetapi di sisi lain, ia juga takut akan apa yang menunggu mereka di rumah kontrakan yang baru.
Rumah kontrakan yang mereka tempati terletak di pinggiran kota, jauh dari rumah besar nenek. Rumah itu kecil, hanya terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu, dan dapur yang sempit. Tidak ada barang mewah atau perabotan besar. Hanya kasur tipis, meja kecil, dan beberapa kursi plastik. Namun, di sini, untuk pertama kalinya dalam hidup Anara, tidak ada suara nenek yang menghina ibunya, tidak ada ketegangan yang menggantung di setiap sudut ruangan.
"Ayah juga ikut tinggal di sini?" tanya Anara suatu malam, ketika ia berbaring di kasur bersama ibunya dan adiknya yang masih bayi.
Ibunya mengangguk. "Iya, Nak. Ayahmu ikut. Kita akan berusaha, meskipun mungkin tidak mudah. Tapi di sini, kita bisa jauh dari nenek dan memulai hidup baru."
Meskipun ayah Anara ikut pindah bersama mereka, hubungan antara ayah dan ibu Anara tidak serta merta membaik. Ayahnya tetap acuh tak acuh, sering pulang larut malam, dan masih membawa bau alkohol ketika pulang. Setiap kali dia marah, suasana rumah kontrakan itu tetap berubah tegang, meski tidak seberat di rumah nenek. Namun, setidaknya sekarang, ibunya tidak perlu lagi menanggung hinaan dan tekanan dari keluarga besar ayah.
Setiap hari, ibunya bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka. Ayahnya pun kadang-kadang bekerja, tetapi sering kali dia menghilang begitu saja, meninggalkan ibunya mengurus segala sesuatu. Anara yang kini sudah semakin besar, mulai ikut membantu menjaga adiknya dan mengurus rumah. Meskipun kehidupannya jauh dari sempurna, setidaknya mereka punya kedamaian kecil di rumah kontrakan itu, jauh dari konflik rumah nenek yang menyesakkan.
Namun, masalah di rumah belum sepenuhnya hilang. Suatu malam, ketika Anara sedang belajar, ayahnya pulang dalam keadaan mabuk lagi. Ibunya, yang sedang menidurkan adiknya di kamar, hanya bisa menatap ayah dengan rasa lelah yang mendalam.
"Ayah, kenapa kita pindah ke sini?" tanya Anara dengan suara kecil, mencoba memulai percakapan dengan ayahnya.
Ayahnya menoleh, matanya setengah mengantuk. "Karena nggak ada pilihan lain, Nak," jawabnya singkat, sebelum menghempaskan diri di kursi dan tertidur. Anara merasa sedih, tapi dia tahu bahwa pindah ini adalah jalan keluar terbaik yang mereka punya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Sunyi di Balik Dinding
Teen FictionAnara tumbuh dalam diam. Bukan diam yang menenangkan, tapi sunyi yang menyimpan ribuan cerita. Di tengah hidup yang selalu menuntutnya kuat, ia masih percaya ada ruang untuk cinta, meski sering kali terselip di antara rasa sakit dan kebingungan. Set...