Sejak saat itu, Nara dan Alvaro mulai sering bertemu. Kegiatan OSIS membawa mereka dalam beberapa kesempatan yang membuat Nara mengenal sisi lain dari Alvaro, sisi yang berbeda dari kesan dingin yang selama ini ia pikirkan. Alvaro ternyata sosok yang ramah dan perhatian, meski tak banyak bicara. Setiap pertemuan mereka, Nara mulai merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sulit ia ungkapkan.
Satu hari yang cerah, saat mereka sedang mengikuti latihan untuk event OSIS, matahari bersinar cerah di atas lapangan, menciptakan bayangan panjang di antara para siswa yang berlarian. Nara merasa haus setelah berjam-jam beraktivitas di lapangan. Keringat mengalir di pelipisnya, dan ia merasakan kekeringan di tenggorokannya.
Ia melihat teman-temannya sedang asyik berlatih, tetapi ia merasa semakin lelah. Dengan langkah sedikit lesu, Nara memutuskan untuk mencari-cari minuman. Sambil mencari-cari, ia berusaha mengalihkan pikirannya dari rasa lelah yang menyengat di tubuhnya.
Tiba-tiba, dari sudut matanya, ia melihat sosok yang dikenalnya. Alvaro, dengan langkah tenang, muncul di sampingnya, menyerahkan botol air mineral yang masih dingin. Senyumnya seolah menyinari hari yang panas itu.
"Kamu pasti haus, kan?" Alvaro berkata, suaranya lembut dan hangat, seolah mengerti keadaan Nara tanpa harus bertanya lebih lanjut. Ia mengangkat botol tersebut, embun dingin berjatuhan dari permukaan botol, menciptakan kesan menyegarkan yang sangat mengundang.
Nara tertegun sejenak, terpesona oleh perhatian sederhana itu. Ia menerima botol itu dengan malu-malu, jarinya menyentuh tangan Alvaro sesaat. "Terima kasih, Al," ucapnya, suara hampir berbisik, tak berani menatap matanya terlalu lama.
"Jangan sungkan. Kamu kelihatan lelah," jawab Alvaro dengan santai, matanya menatap ke arah lapangan. "Kalau ada apa-apa, bilang aja ke aku," tambahnya dengan tulus, senyumnya tak lekang oleh panasnya cuaca.
Hati Nara berdebar-debar mendengar perhatian itu. Ia merasa senang, meski ia tahu perhatian Alvaro mungkin hanya sekadar teman. Tetapi, perhatian kecil seperti itu menjadi bagian dari kenangan yang ia simpan rapat-rapat, seperti rahasia yang hanya ia ketahui.
Seiring berjalannya waktu, Nara dan Alvaro semakin sering berinteraksi selama latihan OSIS. Mereka bekerja sama dalam berbagai tugas, membahas ide-ide untuk acara, dan saling membantu saat salah satu dari mereka membutuhkan. Momen-momen kecil ini membuat Nara merasa dekat dengan Alvaro, meskipun ia tak tahu akankah perasaannya tersampaikan dan terbalaskan.
Selesai latihan, Nara memutuskan untuk mencari Dina di kelas mereka. Ia ingin berbagi cerita tentang Alvaro. Dengan langkah ringan, ia berjalan menuju ruang kelas dan menemukan Dina duduk di bangkunya, mengerjakan tugas.
"Dina!" Nara memanggil dengan semangat. "Kamu nggak percaya apa yang terjadi tadi di lapangan!"
Dina menoleh, senyumnya lebar. "Nara! Ada apa? Ceritakan!"
Nara duduk di sampingnya, matanya berbinar. "Alvaro... dia memberi aku air mineral. Dan dia bilang aku kelihatan lelah!"
"Wah, serius? Dia perhatian banget!" Dina menjawab, terkesima. "Kamu harus bilang padanya kalau kamu suka, Nara."
"Aku nggak bisa, Dina!" Nara menggelengkan kepala cepat. "Dia mungkin hanya bersikap baik sebagai teman. Lagipula, kita hanya interaksi di OSIS, di luar itu aku hanya bisa mengaguminya dari jauh."
Dina mencibir. "Tapi kan, interaksi itu penting! Kamu harus berani lebih, Nara. Lihat, dia saja memberi kamu minum. Itu bukan hal yang biasa."
"Ya, tapi..." Nara menghela napas, merasa bingung. "Aku cuma takut kalau dia nggak merasakan hal yang sama. Dan aku tidak mau merusak hubungan kami."
Dina mengangguk, mencoba mengerti. "Aku paham, tapi kadang-kadang kita harus mengambil risiko. Siapa tahu dia juga suka kamu?"
Nara menatap Dina dengan harapan, tetapi segera mengalihkan pandangan. "Mungkin, tapi di koridor sekolah, saat aku melihat dia berbicara dengan teman-temannya, rasanya aku hanya bisa terdiam. Aku tidak punya keberanian untuk mendekatinya."
"Coba deh, mulai dari hal kecil. Misalnya, sambil lewat di koridor, kamu bisa sapa dia. 'Hai, Al!' atau sesuatu yang sederhana. Itu bisa jadi awal yang baik," saran Dina, semangatnya menular ke Nara.
"Hmm... mungkin aku bisa coba," Nara menjawab, merasa sedikit lebih percaya diri. "Tapi, saat dia lihat aku, aku selalu merasa gugup."
Dina tertawa sambil menasehati nara. "Ya sudah, tapi jangan lama lama keburu diambil orang alvaronya,"
"Okay, okay, aku akan coba dulu deh," Nara merasa bersemangat, berterima kasih kepada Dina atas dukungannya. Mereka melanjutkan obrolan mereka, membahas tentang latihan OSIS berikutnya dan semua hal menyenangkan yang terjadi di sekolah.
Setiap hari, meskipun Nara hanya bisa melihat Alvaro dari jauh di koridor, setiap interaksi kecil yang mereka miliki selama latihan OSIS menjadi semangat tersendiri. Setiap senyuman, setiap kata yang terlontar, menjadi bagian dari harap dan impian yang ia jaga dalam diam. Meskipun hatinya penuh dengan rasa ingin tahu dan keraguan, Nara tahu bahwa ia akan terus berusaha, bahkan jika itu berarti hanya bisa mengagumi Alvaro dari kejauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suara Sunyi di Balik Dinding
Ficção AdolescenteAnara tumbuh dalam diam. Bukan diam yang menenangkan, tapi sunyi yang menyimpan ribuan cerita. Di tengah hidup yang selalu menuntutnya kuat, ia masih percaya ada ruang untuk cinta, meski sering kali terselip di antara rasa sakit dan kebingungan. Set...