(3)

2 2 1
                                    

Masih dengan keadaan mendung di sore hari, Dimas ternyata lebih lama dari perkiraan Rara. Hingga menjelang malam tiba batang hidung Dimas masih belum terlihat.

Taman depan sekolah pun sekarang memenuhi keheningan, tidak ada seorang pun disana. Tapi Rara tidak takut, dia sudah terbiasa menunggu seseorang di taman ini sendirian sepulang sekolah. Etts yang dimaksud bukan Dimas.

Namun sepertinya seseorang tersebut tidak terlihat hari ini. Dari tadi mata Rara terus berpencar mencari keberadaannya tapi bayangannya pun tak kunjung terlihat.

"Ayo Ra, maaf buat lo nunggu lama ya?" Rara pun mengalihkan atensinya ke arah Dimas, yaa Dimas menghampirinya dalam keadaan keringatan, maklum baru selesai latihan basket.

"Santai" singkat Rara sembari berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah motor Dimas. Tidak ingin berlama-lama, Dimas segera menyusul Rara dan melajukan Kawasaki Ninja H2 Carbon nya.

"Kenapa ga nunggu di lapangan basket aja? Daripada di taman lo sendirian" tanya Dimas selagi melajukan motornya dengan kecepatan sedang.

"Gapapa, lebih enak nunggu di taman" jawab Rara tidak pasti, takut-takut keceplosan bilang sekalian nunggu seseorang.

"Kesambet baru tau rasa, mana sepi" omel Dimas. Dirasa tidak ada tanggapan atas omelannya, Dimas pun mempercepat laju kendaraannya. Karena tanda-tanda hujan akan turun juga sudah terlihat.

Tidak lama, mereka berhenti di sebuah rumah dalam kawasan perumahan mewah. Itu rumah Rara, dan tepat disampingnya terlihat rumah yang agak sedikit lebih besar dari rumah Rara, merupakan rumah keluarga Dimas.

Dikarenakan langit yang sudah berwarna jingga kehitaman, Dimas langsung pulang setelah memastikan keberadaan mobil ayah Rara yang artinya ayah sahabatnya tersebut sudah pulang dari kantor. Dimas hanya takut Rara sendirian di rumah.

🕸

Usai makan malam, kediaman keluarga Admaja selalu dihadang dengan kesepian yang lebih dari siang hari. Pasalnya para asisten rumah tangga maupun Bi Inah akan pulang ke rumahnya masing masing setelah melakukan pekerjaan terakhir, yaitu membereskan sisa makan malam.

Hanya tersisa seorang satpam yang berjaga di pos nya, Pak Mamat. Ia jarang bahkan tak pernah masuk ke dalam rumah Admaja, kecuali dalam keadaan penting. Karena memang tugas Pak Mamat yang mengharuskan ia berjaga di kawasan depan rumah. Juga karena perintah ayah Rara sendiri, karena dirasa tidak perlu untuk menjaga keamanaan di dalam rumah, apalagi komplek perumahan tersebut tidak pernah terjadinya tindak kejahatan.

Tok tok tok

Rara yang sedang asik nonton drama China kesukaannya, disadarkan oleh ketukan pintu yang lumayan keras dan terasa tergesa-gesa.

Rara sudah menebak siapa objek dibalik ketukan pintu dengan kasar itu. Hanya dia yang datang dengan cara yang tak biasa.

Dengan tidak kalah tergesa Rara langsung membuka pintu utama rumahnya, ia langsung disambut oleh pelukan dari orang tersebut.
"Bi.." panggil Rara.

"Dia pulang Ra" adunya, Rara pun membalas pelukan Bian, yaa dia Bian. Seseorang yang selama ini hadir dengan tiba-tiba.

"Ayo masuk dulu" ajak Rara seraya melepas pelukannya pada tubuh Bian, diganti dengan tarikan pelan pada tangan Bian untuk mengajaknya masuk kedalam rumah.

Rara mengedarkan pandangannya ke segala arah dalam rumah, dilihat Ayahnya tak nampak dimanapun atau mungkin sudah berada di kamar? Ini sudah menunjukkan pukul 9 malam, ada kemungkinan ayahnya itu sudah bersiap-siap untuk tidur. Anggap saja begitu.

Rara pun menarik pergelangan tangan Bian lagi menuju lantai 2, kamar Rara. Tempat dimana dirasa paling aman sekarang.

Tanpa mempedulikan keadaan kamar yang masih berantakan, Rara segera mendudukkan dirinya juga Bian di tepi ranjang.

"Dia pulang Ra, gue takut" racau Bian
"Gapapa, ada aku disini. Kamu tenang aja" ujar Rara menenangkan diiringi dengan membenamkan kepala Bian di dadanya.
"Dia nyalahin gue Ra"
"Kamu ga salah Bian"
"Iya gue ga salah, tapi-"
"Tapi kenapa gue yang disalahin Ra??!" Bentak Bian hingga membuat Rara sedikit terguncang karena posisi Bian masih dalam pelukannya.
"Kenapa dia nyalahin gue yang ga tau apa apa ini?" Bian mulai melemah kembali disertai isak tangis.

Terdiam, Rara tidak tau harus berkata apa. Detik detik berlalu dengan isak tangis dari Bian serta elusan Rara pada punggung Bian.

Rara bingung, satu sisi Rara tidak tau permasalahan dengan jelas, bahkan ia tidak yakin mengatakan Bian tidak bersalah, yang pasti ia hanya ingin menenangkan Bian. Satu sisi lagi Rara khawatir akan keadaan Bian yang mungkin saja akan berubah. Diliriknya jam digital yang terletak apik di atas nakas. Sudah pukul 9.30.

"Kamu ga salah, percaya sama aku dia ga akan bisa nyakitin kamu" ujar Rara tak yakin.
Bian terkekeh membuat Rara bingung. Tapi segera ditepis kebingungannya, ia harus menyuruh Bian pulang.

"Pulang Bian" gelengan pelan dirasakan pada dekapannya.
"Aku janji selalu ada buat kamu, kamu bisa datang kapanpun yang kamu mau....
Pulang yaa" dengan lemahnya Bian melepaskan pelukan Rara, bangkit dari duduknya. Dia menatap lekat mata Rara, ada kelembutan yang terpancar disana. Tapi Rara juga bisa menangkap pancaran keputus asaan disana, keadaan Bian sekarang sangat kacau.

Ragu untuk Rara membiarkan Bian pulang, ia takut ini bisa berbahaya. Berbahaya untuk Bian sendiri maupun orang lain.

"Bukan saatnya" batin Rara. Dia terlalu pengecut.

"Rara udah tidur? Terdengar suara ayah Rara dibalik pintu kamarnya, ternyata ayahnya belum tidur. Panik, bagaimana jika ayahnya tau jika ia membawa masuk pria kedalam kamarnya. Beruntung sepertinya ayahnya itu tidak berniat membukan pintu dan melihat langsung keadaan kamar Rara.

"Be-belum Yah, ini mau tidur" suara Rara bergetar.
"Iya, cepetan tidur. Besok sekolah jangan begadang. Ayah juga mau tidur"
"Iya Yah" setelahnya terdengar derap langkah kaki yang mulai menjauh.

Bian masih dalam posisi menatap Rara, dia tau Rara panik jika keberadaan dirinya diketahui ayah Rara. Rara balas menatap Bian, tidak dipungkiri ia merasa jantungnya berdegup kencang.

"Gue takut, gue mau sama lo" ucap Bian menyadarkan Rara yang sempat terhanyut oleh tatapannya.
"Ga bisa Bian, ayo aku anter ke depan" Rara menggapai tangan Bian, memandu langkah kakinya menuju lantai pertama dimana letak pintu utama berada.

"Jangan terpukul lagi sama keadaan, aku ga kuat liat kamu gini" jujur Rara saat Bian hendak pulang. Bian hanya tersenyum sangat tipis dan melangkahkan kakinya keluar dari perkarangan rumah Rara.

Bian selalu melangkahkan kakinya kemanapun dengan berjalan kaki, tidak menggunakan kendaraaan apapun. Itu mengiris hati Rara, dia tau Bian pasti lelah jika harus berjalan kaki untuk pulang menuju rumahnya yang mencapai 8km dari rumah Rara. Terasa dekat jika menggunakan kendaraan, tapi ini jalan kaki tolong digaris bawahi. Apalagi tadi saat Bian datang, bisa dipastikan jika ia berjalan kaki juga. Twice tired.

Rara ingin menyarankan Bian untuk menggunakan taxi saja, tapi percuma. Bian tidak akan mau, bahkan bisa-bisa Bian akan marah padanya dan itu akan memperburuk keadaan.

Pernah awal mula ketika Rara baru mengenal Bian, ia mengajak Bian menggunakan mobil. Hal itu menjadi pemicu kemurkaan Bian padanya. Bian memaki dan juga meninggalkan Rara dalam keadaan marah besar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sorry For My HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang