Animus

785 81 38
                                    

Ditulis ulang dengan beberapa revisi yang aku kumpulkan dari komentar reader. Thanks buat kalian!!! Salam jilat dari Brocodile.

***

Suatu ketika, di padang gersang yang luas ada sebuah kolam. Di situ ada seekor ikan mati yang cukup besar. Ikan itu tergeletak lucu dan menganga di tengah kolam yang hampir kering.

Seorang pemuda mendekati kolam hampir kering itu. Hmmm, ia pikir ukuran ikan itu terlalu besar untuk jenisnya. Pasti ia mati karena kehabisan mangsa.

Dari kondisi diam, Si Pemuda tiba-tiba berteriak dengan polosnya, "Ada Ikan Mati!!!" Suaranya bergema ke pegunungan di sekitarnya.

Tak seorangpun menyendengkan telinga.

Tak satu hewan pun meraung menyambut.

Tak satu tumbuhan pun bergoyang mengikuti.

Sang Langit menyahut, "Lalu kenapa? Ikan itu sudah mati! Biarkan saja!"

Jalinan panjang Petir Selatan tiba-tiba memarahi Sang Langit. Dan kemudian berkata, "Mortuus Ichthyos!! Dia memang ikan mati. Tapi, kali ini ia akan hidup."

"Hei Petir, kau ini kenapa lagi hah? Kau mau melanggar etika universal lagi?!" kata Sang Langit.

"Tidak berperikeikanan!! Aku akan turun! Pemuda minggirlah!"

Petir Selatan menerjunkan seluruh keberadaannya, lepas dari Awan Putih istrinya. Tangisan Awan Putih pun membasahi Bumi.

Petir Selatan menghunjamkan dirinya menuju Ikan Mati. Takut tersambar, Pemuda cepat-cepat menyingkir. Bisa gawat kalo sampai kena.

Petir tahu resikonya apa. Ia sudah sering melakukan ini, dalam bentuk-bentuk terdahulu. Memberi nyawa kepada yang tak pantas hidup. Bertengkar dengan Langit, lalu sebagian kecil dirinya terjun menuju makhluk-makhluk mati yang dipilihnya dan membuat Awan Putih menangis. Karena terlalu sering melakukan ini, bentuk Sang Petir makin lama makin kecil.

Hanya saja kali ini ada yang berbeda. Petir Selatan menerjunkan seratus persen dirinya. Anaknya, Petir Selatan Junior, akan menggantikannya.

"Lihat!!! Ikan mati! Ikan mati hidup lagi?? Ikan mati sekarang hidup! Viva Ichthyos!!" pekik Si Pemuda.

"Hei, Pemuda, kau sebaiknya diam."

"Ikan mati bisa bicara? Keren! Selamat datang di dunia nyata!!"

Ikan mati marah, dan menyengat pemuda dengan secuil petir. Pemuda itu sampai mematung karena kagetnya.

"Ah, ikan gila! Ikan gila! Tidak hanya mati, juga gila!"

"Aku masih petir yang sama, juga ikan mati yang sama. Sekarang tolong bawa aku pulang."

"Saya hangus begini dan kau masih tega minta tolong?"

"Dua cuil petir lagi dan kau mati di sini."

"Pulang? Baiklah, kubawa kau pulang. Sekarang ya, sekarang. Sini kunaikkan kau ke sepedaku."

Ikan Mati menamai dirinya Animus. Ia memandang padang gersang di sekitarnya lewat rongga matanya yang bolong.

Ikan Mati berkata, "Ah, dunia yang sudah mati. Tergeletak lucu dan menganga. Pemuda! Cepatlah! Aku lapar!"

"Kau ini kan ikan mati. Ikan mati tidak makan."

"Aku akan makan kau. Setelah aku melihat negerimu."

"Berarti masih lama kau memakanku."

"Mengapa begitu, Pemuda?"

"Karena negeriku itu negeri yang sangat jauh."

"Kalau begitu cepatlah. Supaya kau lebih cepat kumakan."

Ikan mati lalu membesar. Membuat pemuda kesulitan mengayuh sepedanya.

"Pemuda, mulai sekarang namaku Animus!"

"Hei ikan mati! Jangan seenaknya memakai nama!! Pakai nama yang lebih ikan!"

"Tidak, aku suka nama Animus."

"Tapi, itu nama kakekku!!! Dialah Animus Senior!"

Ikan mati secara ajaib membesar lagi, dan sekarang meminta dibonceng di depan.

"Kau menyebalkan! Seperti kakek! Baik namamu sekarang jadi Animus juga."

Ikan mati senang. Lalu mengecil lagi. Tulang-tulangnya dipenuhi cinta. Ia ingin segera sampai dan bertemu Animus Senior.

"Jadi, aku ini Animus Junior?"

"Bukan."

"Siapa?"

"Ayahku. Sudah kubilang jangan seenaknya."

"Jadi aku Animus Junior Junior?"

"Bukan!!"

"Lalu siapa?"

"Aku."

"Haha, pantas saja kau marah. Kalau begitu aku ini Animus Junior Junior Junior."

"Bukan."

"Eh? Masih ada lagi?"

"Ya. Anjingku."

"Aku harus memakannya nanti. Supaya namaku tidak terlalu panjang."

"Sudah kubilang jangan seenaknya!"

Ikan mati membesar lagi. Pemuda makin sulit mengayuh sepedanya.
Setelah mengayuh berjam-jam, akhirnya mereka hampir sampai.

"Sebaiknya anjingmu itu enak. Aku mau memakannya sekali lahap."

"Dasar gila! Dunia nyata ini tak mengorbit mengelilingi dirimu saja, Ikan Mati!"

"Benarkah? Tunjukkan aku dunia nyata itu apa!"

Ikan mati menyukai dunia barunya. Tulang-tulangnya bergetar karena bayangan berbagai petualangan seru muncul di kepalanya. Sepeda pemuda melalui pinggir sungai kecil. Ikan mati melihat pantulan diri di jernihnya air.

"Ah, benar! Rupanya aku ini mati, tergeletak lucu, dan menganga!!"

MORTUUS ICHTHYOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang