KEPERGOK

44 8 9
                                    

“Ayo duduk sayang.”

Ellysia yang sedari tadi mengamati ruang BK tersentak saat bahunya di tepuk pelan oleh seseorang. Ada sosok perempuan paruh baya dengan hijab berwarna army tersenyum kepadanya. Ia segera mencium tangan guru tersebut lalu duduk.

“Rileks, Ibu nggak akan marah-marah sama kamu kok.”

Helaan napas panjang keluar dari mulut Ellysia, padahal daritadi dirinya sudah dag dig dug nggak karuan. Apalagi kalau ingat soal pelanggaran yang ia lakukan hari ini, kemungkinan dirinya di panggil ke ruang BK hanya satu, 'kan? Untuk diberi hukuman.

“Ibu lihat tadi pagi kamu nggak pakai sepatu. Sempat di cegat sama anak osis juga, kan? Oh, iya, kamu bisa bikin teh?”

Ellysia yang mengerti kode dari gurunya itu lekas berdiri dan menghampiri meja di pojok ruangan. “Tadi waktu di jalan ada yang kena jambret, Bu. Yang jadi korban seumuran  Mama saya, kasian nggak ada yang nolongin. Ya udah saya tolongin dulu. Karena penjambretnya nggak mau berhenti, saya timpuk pake sepatu, eh sepatu saya malah di lempar balik terus—”

Melihat Ellysia yang tiba-tiba berhenti bicara  membuat Bu Sri menyangka bahwa gadis itu sedang kebingungan. “Teh apa saja yang kamu buat, pasti Ibu minum.”

“Eh, beneran, Bu? Tapi saya nggak tau ini teh rasa apa," jawab Ellysia sembari memasukan satu sendok serbuk teh pada gelas.

Kepulan asap dari dalam termos terlihat saat ia menuangkan air pada gelas. Seketika aroma teh yang begitu tajam merebak di dalam ruangan.

“Teh oolong? Pilihan yang bagus.”

Bu Sri menghirup lamat-lamat aroma teh di dalam gelas, usai satu tegukan, seulas senyum terbit, membuat Ellysia jadi ketar-ketir sendiri.

“Rasanya aneh ya, Bu? Mau saya ganti lagi?” Bukan tanpa alasan Ellysia berbicara seperti ini, senyum yang Bu Sri perlihatkan semacam senyum tertekan.

“Nggak usah. Ibu manggil kamu ke sini nggak  lama kok, cuma mau ketemu sama kamu dan ngasih ini.”

Sebuah kartu nama dengan aksen elegan terulur dari perempuan paruh baya dihadapannya. Sukma Sri Mulyani. “Uhm, kenapa Ibu mendadak ngasih ini?”

Bu Sri tersenyum, menepuk lutut Ellysia sekilas. “Suatu saat kamu pasti bakalan butuh nomor Ibu. Beberapa minggu lagi Ibu mau pindah.”

Ellysia mengangguk, “saya kira Ibu mau bahas soal—” 

“Urusan murid yang terlambat waktu MPLS itu bukan tugas Ibu, kan ada anak osis. Ya sudah, kamu bisa kembali ke kelas.”

“Iya, bu.”

“Ellysia?”

“Ya?”

“Ibu senang bisa bertemu dengan kamu.”

Ellysia hanya mengangguk sambil tersenyum. Di luar ruang BK, Ia terdiam sejenak, mengamati kembali kartu nama yang diberikan Bu Sri. 

Fokusnya terpecah saat mendengar gemuruh suara dari salah satu kelas. Secara gitu ya, ruang kelas ini dekat banget sama ruang BK, apa mereka nggak takut masuk BK berjamaah?

Pintu kelasnya terbuka, tapi Ellysia nggak mau lewat sana, matanya beralih pada jendela, tiap jendela di sekolah ini bagian bawahnya memang di cat setengah, kalau memang ingin melihat ada apa di dalam sana, ia harus naik kursi.

Yang bikin penasarannya tuh, suara-suara cowok ini bergema banget. Sepertinya yang bernyanyi bukan sekelompok orang saja.

“Nah, ada kursi.”

LAST TASK [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang