Pagi itu, matahari terbit dengan tenang, menyebarkan sinar lembut yang menerobos dedaunan dan menyinari taman kecil di halaman rumah. Bumi, seorang pria muda dengan kaus putih sederhana dan celana santai, terlihat asik menyirami bunga-bunga anggrek yang tersusun rapi di rak kayu. Setiap kali bunga-bunga itu tersentuh percikan air, kelopaknya tampak semakin segar, memantulkan sinar matahari pagi yang hangat. Sesekali, Bumi bersiul riang, menciptakan harmoni kecil di pagi yang tenang itu.
Di sela-sela keasyikannya, seekor kucing liar melintas cepat di dekatnya, membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan. Kucing itu menyentuh celana Bumi yang masih basah dari embun pagi. Bukannya marah, Bumi hanya tertawa kecil dan menggelengkan kepala.
“Kamu lapar, ya?” Bumi berbicara pada si kucing, meski tahu tak akan mendapat jawaban. Si kucing meliriknya sebentar sebelum berlari menghilang ke balik pagar. Bumi hanya tersenyum, menganggap itu bagian dari kesibukan pagi yang khas.
Tak jauh dari situ, terdengar langkah kaki mendekat dari arah pagar kayu yang mulai memudar warnanya. Seorang pria muda lain, Andy, melangkah sambil membawa kantong plastik hitam besar di tangannya. Matanya menatap Bumi, lalu ia tersenyum, merasa familiar dengan pemandangan kakaknya yang berkebun di pagi hari.
“Bang Bumi?” panggil Andy, suaranya terdengar ceria.
Bumi menoleh, dan senyumnya langsung mengembang begitu melihat Andy mendekat. Ia mematikan selang dan meletakkannya di atas pot, lalu mengusap kedua tangannya.
“Kenapa?” sapanya hangat. Mata Bumi tertuju pada kantong plastik di tangan Andy. “Loh, tumben belum mandi? Lo habis dari mana? Beli sarapan?” tanyanya, setengah bercanda.
Andy terkekeh, lalu mengangkat kantong hitam di tangannya. “Sarapan sih enggak. Ini garam, Bang. Bang Saka bilang stok garam di dapur habis. Ntar kalau nggak dibeliin, abang ngamuk. Andy juga yang kena,” jawab Andy, memasang wajah memelas yang membuat Bumi tertawa.
Bumi tersenyum, mengingat peristiwa beberapa minggu lalu ketika Andy secara tidak sengaja menjatuhkan kaleng garam hingga isinya berserakan di lantai dapur. Sejak kejadian itu, Bumi memang jadi lebih sensitif soal garam. Meski ia sering menggoda, rasa sayangnya pada Andy tak pernah berkurang.
“Pinter, lo. Udah siap-siap antisipasi, ya, biar nggak kena marah,” ucap Bumi sambil menepuk bahu Andy dengan sayang. “Ya udah, makasih ya, adik abang,” lanjutnya sambil mengelus rambut adiknya.
Senyuman Andy melebar. “Hehe, iya dong, belajar dari pengalaman,” jawabnya sambil nyengir. Bumi menatapnya dengan tatapan hangat yang penuh kebanggaan, walau dengan cara yang sederhana. Pagi itu terasa semakin cerah berkat interaksi kecil antara mereka.
Bumi melanjutkan pekerjaan menyiram bunganya, sementara Andy duduk di teras, mengamati sekeliling. Sesekali, mereka berbincang ringan, membahas hal-hal kecil yang terjadi di sekitar mereka, dari isu tanaman hingga rencana aktivitas hari itu. Bagi mereka, momen-momen seperti ini adalah sesuatu yang berharga.
“Kira-kira, kapan ya abang mulai berkebun lagi kayak dulu?” tanya Andy tiba-tiba, membuyarkan lamunan Bumi.
“Kenapa?” Bumi bertanya sambil melirik adiknya. “Kamu mau ikutan?”
“Ya… siapa tau, Bang. Kayaknya asik aja, ngurus tanaman bareng abang gini.” Andy tersenyum, meski di balik senyumnya itu tersirat harapan untuk lebih sering menghabiskan waktu dengan Bumi.
Bumi mengangguk kecil, merasa tersentuh oleh keinginan adiknya yang sederhana namun tulus. “Ya udah, besok-besok bantu abang ya. Ternyata punya partner bikin berkebun lebih seru,” ucap Bumi sambil mengusap kepala Andy lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bentala
General Fiction"Ternyata aku salah lan, seharusnya perasaan ini kusimpan baik hingga akhir tanpa ada yang tau kalo pada akhirnya perasaan ini engga akan pernah menyatu dengan pemiliknya." Kadang kita merasa hidup ini penuh dengan misteri. Sesuatu terjadi terkadang...