BK||008

25.1K 3.9K 1.5K
                                    

Happy reading


Pagi yang cerah menjadi pengiring hari ini. Membawa udara yang sejuk hingga menciptakan suasana penuh kelembutan. Orang-orang yang terlelap nyaman, perlahan mulai bangun dan keluar dari peraduan mereka. Memulai aktivitas untuk mencari pundi-pundi kehidupan. Ya, setidaknya bagi mereka yang bebas berkelana.

Tidak seperti dirinya yang masih saja terkurung. Bagai seekor burung kecil yang tidak dapat mengepakkan sayap untuk melihat keindahan surga dunia. Kira-kira kalimat itu sangat cocok untuk mendeskripsikan keadaan Deyana saat ini. Dia bagaikan burung malang dalam sangkar emas. Mendapatkan tempat mewah namun terasa gelap saat berada di dalam.

Sudah sebulan lebih berlalu semenjak Deyana menginjakkan kaki di negri Kyrgyzstan. Deyana masih belum bisa menghirup udara kebebasan. Dia masih saja terperangkap dan tak tahu kapan akan keluar. Berbagai cara telah dia lakukan namun tak ada satupun yang kunjung berhasil. Deyana sadar jika semua aksesnya telah ditutup tanpa menyisakan celah.

Jujur saja. Deyana takut jika sang Dewi keberuntungan sampai berpaling dan beralih memusuhinya. Sebab, selama ini dirinya terus mengalami kesialan. Ada-ada saja yang selalu menghalangi ataupun menggagalkan rencana yang susah payah dia susun. Seakan mereka memang telah mengetahui semuanya.

Namun walau begitu. Deyana akan mencoba untuk berfikiran positif. Dia mungkin hanya perlu sedikit berusaha lagi. Bukankah usaha tidak akan mengkhianati hasil? Deyana yakin dia pasti akan segera mendapatkan kebebasan. Jikapun sulit, dia berharap semoga paman dan bibinya segera menyadari kehilangannya. Mengingat dia sudah begitu lama tidak pulang ke Indonesia.

Deyana menghela nafas lelah untuk kesekian kalinya. Dia perlahan-lahan mendongak menatap hamparan langit yang begitu cerah tanpa ada gumpalan awan yang menghalangi. Dengan sedikit mendesah, dia menyeka keringat yang terus mengucur di kening dan pelipisnya.

Hari ini Deyana kembali mengulang aktivitas yang telah dia tekuni selama dua minggu belakang ini. Bermain pedang. Setidaknya dia perlu mengisi kekosongan agar tidak merasa bosan. Sungguh berdiam diri tanpa melakukan apapun benar-benar membuatnya stres.

Apalagi selama sebulan ini, pria yang mengaku sebagai suaminya itu tidak pernah lagi menampakkan diri. Semenjak dia menemukan dirinya terbangun didalam kamar, semenjak itu pula dia tidak melihat keberadaan William. Dia seolah ditelan bumi atau mungkin saja dia ditabrak kuda hingga membuat nyawanya kembali ke neraka.

Ya. Setidaknya itulah harapan terbesar Deyana. Tiada hari tanpa mendoakan kematian pria itu. Jahat? Tidak. Deyana malah berbaik hati. Karena dengan itu, William akan segera bertemu dengan Tuhan dan tidak membuat kerusakan di bumi lagi.

"Nona. Sebaiknya anda segera masuk. Cuaca semakin panas, kami tidak ingin kulit anda sampai terbakar."

Deyana melirik sekilas kearah pelayan pribadinya. Damira, sahabat Gulya yang telah tiada. Gadis itu tampak begitu cemas. Bagaimana tidak, dirinya telah berdiri selama berjam-jam dibawah terik matahari. Mengabaikan hawa panas yang terus menyengat di kulit.

"Itulah tujuanku, Mira. Aku harus membuat kulitku gelap agar Tuanmu itu segera menceraikanku." ujar Deyana kembali memainkan pedangnya. Sorot namanya begitu serius, menggerakkan tangan seolah sudah ahli.

"Tapi, Nona.. menurutku Tuan tidak mungkin melakukan itu. Kecantikan yang anda miliki tidak akan pudar walau warna kulit anda berubah.." ujar Damira dengan polosnya. Membuat aktivitas Deyana langsung terhenti.

Bukannya merasa senang mendengar pujian itu, Deyana malah kesal. "Kalau begitu aku akan merusak wajahku saja." Deyana menggerutu.

"Maka lakukanlah.."

BRIDE KIDNAPPINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang