"BUSET, GUE CANTIK BANGET!"
Rea menoleh ke arah Savita saat merasakan tangannya disenggol. Ia menatap teman sebangkunya itu dengan kedua alis terangkat bingung. Rea mengerutkan keningnya saat menangkap Savita menggerakkan kepalanya ke arah pintu.
Kepala Rea menoleh pelan dengan tatapan yang masih menatap Savita. Tatapannya baru beralih saat melihat mata gadis itu melotot. Rea ikut melotot saat melihat seorang pria berseragam guru tengah berdiri di depan pintu yang terbuka, tangan kanannya yang masih memegnag kenop pintu.
Gerakan guru sejarah itu berhenti saat kedatangannya disambut oleh teriakan kalimat yang terdengar sangat percaya diri dari salah satu muridnya yang terkenal tidak banyak tingkah.
Rea baru sadar bahwa suasana kelas yang semula bising, kini berganti hening. Ia tahu bahwa baru saja ia menjadi pusat perhatian karena ulahnya sendiri.
Rea menyengir, menggaruk kepalanya pelan yang bahkan tidak gatal. "Ma-maaf, Pak," ucapnya tidak terlalu kencang sebelum menatap ke arah yang lain dan sedikit menunduk. Tangannya yang masih memegang cermin, ia masukkan ke dalam laci.
"Waduh, Rea. Saya tidak tahu kalau kamu anaknya pede banget," Pak Mardi berjalan masuk ke kelas sambil memuji atau bisa dibilang menyindir Rea.
Anak-anak yang lain beberapa ada yang tertawa mendengar penuturan Pak Mardi, sedangkan Rea tetap mempertahankan cengirannya.
"Bagus itu. Nanti kalo ada acara pentas seni, biar Rea saja yang jadi perwakilan. Setuju ndak?"
"SETUJU, PAKK!!"
Rea menggaruk kepalanya secara brutal. Ia malu sendiri dengan tingkahnya tadi.
"Lo kenapa sih?" Rea menoleh kecil ke arah Savita saat mendengar bisikan darinya.
"Enggak tau," jawabnya asal. Tangannya meraih buku di atas meja dan memasukkannya ke laci, berganti menggambil buku lain, buku paket serta buku tulis mata pelajaran Sejarah.
Pelajaran sejarah dimulai setelah Pak Mardi benar-benar puas menggoda Rea yang beberapa kali membuat seisi kelas tawanya pecah. Tentu saja mereka terhibur dengan perkataan Pak Mardi sekaligus merasa senang karena waktu pelajaran mereka terpotong banyak.
Bel pulang berbunyi setelah dua jam berlalu. Pak Mardi telah keluar terlebih dahulu, beberapa anak juga telah keluar sambil bersorak senang.
"Wih Rea. Tumben-tumbenan lo ngulur-ngulur pelajaran. Lain kali lagi ya!"
Rea meringis lebar saat seorang anak laki-laki menepuk pundaknya sambil memuji tingkahnya tadi. Ini bukan yang pertama sebenarnya, tapi sudah lebih dari ketiga kalinya.
"Iya, lo enak. Gue yang malu," gumamnya dengan masih melanjutkan kegiatan memasukkan barang-barang milik Rea atau yang kini jadi miliknya ke dalam tas.
Setelah selesai memasukkan semua barang ke dalam tasnya, Rea duduk termenung di kursinya. Beberapa kali ia juga menarik nafas kemudian menghembuskannya kencang-kencang seolah-olah hidupnya yang paling berat.
Savita yang sudah hendak melangkah menjauh mengurungkan niatnya saat melihat Rea yang melamun.
"Lo nggak pulang, Re?" Rea yang merasa diajak bicara menoleh dengan wajah melas ke arah Savita.
"Gue gak tau rumahnya Rea dimana," jawabnya pelan sambil kembali menatap kosong meja miliknya.
Savita mengerutkan keningnya mendengar gumaman Rea yang terdengar aneh. Apakah mungkin seseorang lupa rumahnya hanya karena kepalanya terkena bola?
"Yaudah kalo gitu gue duluan ya?" Savita mulai melangkah saat melihat kepala Rea mengangguk.
Tapi langkah gadis itu harus terhenti saat tangannya ditahan. Ia menoleh dan mendelik saat melihat Rea dengan posisi tiduran di atas dua kursi menahan tangannya. Ia mendongak dan tersenyum dengan bibirnya yang menipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Antagonist?
FantasyAra adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berjudul 'To Protect You' yang ia temukan di perpustakaan sekolah membuat emosinya terkuras habis. Yang membuat Ara marah dengan ending novel ter...