tujuh

81.2K 11.9K 397
                                    

"Halo?"

"Lihat gue!"

Tubuh Rea menegang saat telinganya bisa mendengar suara penelepon dengan jelas. Dengan perlahan, Rea mendongak untuk melihat ke arah pintu kelas.

Matanya membulat saat melihat seorang cowok berdiri disana, memegang handphone yang ditempelkan di telinga dan tengah menatap ke arahnya dengan wajah datar.

Itu Nathan.

Tidak salah lagi.

Perawakannya tinggi, kulit putih dengan wajah sempurna. Nathan sangat tampan, tapi tetap kalah jika dibandingkan dengan aura Agam si pemeran utama.

Tut

Teleponnya dimatikan sepihak oleh Nathan. Cowok itu menurunkan tangannya sambil berjalan mendekat ke arah Rea dengan wajah datarnya.

Rea muak dengan Nathan meski hanya mendengar namanya. Ia selalu kesal dengan Nathan karena bayang-bayang ending novel itu. Tapi ketika melihat cowok itu untuk pertama kalinya dengan wajah datarnya, membuat perasaan muak dan kesalnya menguap. Hanya menyisakan rasa takut yang membuat tubuhnya bergetar. Ia sampai harus menahan tubuhnya pada meja agar tidak limbung.

Nathan berhenti saat jaraknya dengan Rea tersisa satu setengah langkah. Ia menatap Rea dengan datar, kebiasaannya ketika Rea membuatnya marah.

"Kenapa nyuekin gue seharian?"

Rea menelan ludahnya susah payah mendengar nada dingin Nathan yang terdengar menyeramkan di telinganya.

Di kelas ini hanya ada mereka berdua, suasana yang ada juga terasa sangat tidak mengenakan.

"Kenapa diem?" tanya Nathan lagi sambil mengulurkan tangannya hendak meraih wajah Rea. Rea yang menyadari gerakan Nathan reflek mundur.

Gerakannya itu membuat Nathan semakin naik pitam. Rahang cowok itu mengeras, keningnya mengerut tidak suka. Sekali lagi tangan Nathan terulur. Kali ini gerakannya lebih cepat, meraih dagu Rea, mencengkramnya dan menarik dagunya hingga membuat tubuh gadis itu mendekat ke arahnya.

Rea kaget dengan tindakan Nathan. Ia mengerut kening tidak suka saat diperlakukan seperti itu. Menurutnya tindakan cowok itu sangat kasar. Ia menatap nyalang ke arah cowok itu, membalas tatapan datar yang sedari tadi belum berubah.

Melihat Rea yang berani membalas tatapannya dengan tak kalah sinis, membuat Nathan sedikit terkesiap. Biasanya gadis itu akan menurut dan memohon ampun padanya ketika ia marah. Gadis itu tidak pernah bisa hidup tanpanya.

Tindakan gadis itu sejak kemarin sudah membuatnya bingung. Dimulai dari tidak pulang bersamanya, tidak membalas pesannya, sekalinya membalas hanya dengan kalimat singkat yang belum menjawab seluruh pertanyaannya seharian, pagi ini juga tanpa kabar ia berangkat sendirian.

Rea tak pernah seperti itu selama ini. Gadis itu selalu ingin pulang dengannya, jika ia tak bisa Rea akan pulang bersama Vera. Tapi kemarin, Vera masih bersamanya saat ia mendapat kabar bahwa Rea telah pulang duluan. Jika memang Rea ada keperluan, biasanya gadis itu mengabarinya tapi kemarin tidak.

Gadis itu juga selalu membalas cepat pesannya, balasannya juga tak pernah singkat. Berbeda dengan kemarin.

Gadis itu juga selalu ingin berangkat bersamanya, ia pernah tidak masuk sekolah hanya karena ia tidak bisa menjemputnya. Tapi hari ini? Tanpa kabar apapun, ketika ia sampai di rumah gadis itu asisten rumah tangganya mengatakan bahwa Rea telah berangkat pagi-pagi bersama supirnya.

Itu semua bermula sejak kemarin. Sejak istirahat pertama. Sejak kejadian dimana tanpa sengaja bola yang ia lempar mengenai kepala Rea dan membuatnya tak sadarkan diri.

Am I Antagonist? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang