17 - Kania

784 183 43
                                    

17

Tonya menghampiri kamar Kania seusai makan malam. Tegak punggungnya tidak mengizinkan seberkas kesedihan pun. Seperti biasa, rambut hitamnya disatukan dalam ikat yang terlampau erat. Tulang pipinya menonjol saat tersenyum menundukkan kepala di hadapan Kania. Lega merebak ke seisi relung dada Kania. Selain bengkak pelupuk mata dan luka di bibirnya, Tonya berhasil mengambil alih ketenangan dirinya.

Ia memandikan Kania dengan ketelatenan melebihi hari-hari biasa. Perhatian sepasang manik cokelat itu tertuju entah kepada siapa dan Kania tidak kuasa mengikuti arah fokusnya. Kala Kania duduk di depan meja rias, menikmati sisiran lembut Tonya pada kulit kepalanya, dari pantulan cermin, Kania mendapatkan Tonya menegang melihat kelingking kirinya dibebat.

Pelayan itu berkata, "Tidak ada seorang ratu, sepanjang sejarah Kekaisaran Dyre, duduk di kursi siksa jika bukan untuk melaksanakan hukuman. Terlebih lagi, mengorbankan dirinya untuk menjamin seorang pelayan."

Pandangan Kania menemui milik Tonya di pantulan cermin. "Apakah begitu salah memperjuangkan sesuatu yang kau anggap benar?"

"Bagaimana kau tahu kau memperjuangkan kebenaran?"

"Kau bukan seorang pembunuh. Aku tahu itu. Jika membunuh adalah tujuan utamamu, aku sudah lama tergeletak di atas ranjang ditancap belati."

Tonya mulai melarikan jemari sepanjang rambut Kania, menjalinnya dalam kepangan rumit. "Andaikan aku memiliki sepeser saja dari keberanian dan keyakinanmu," ujarnya.

"Percayalah, aku ketakutan setengah mati. Tetapi, aku benci tidak berbuat apa-apa untuk menaklukan ketakutanku," Kania menyeringai. Lalu, senyumannya melayu. Omong kosong. Ia bahkan tidak mampu mengelak dari rasa takut setiap kali membayangkan siapa dirinya. Kekuatan terkutuk yang bersemayam di dalam dirinya, namun Kania tidak berdaya berbuat barang satu hal pun. Sebab, kekuatan itu sama seperti jati dirinya dan selamanya, ia adalah penyihir yang ditakuti orang-orang.

Kania kembali membuka mulutnya, "Bagaimana kondisi Lord Chapman?" Selepas mengobati jarinya, Kania memerintahkan dokter istana memberikan pemeriksaan kesehatan menyeluruh kepada ayah Tonya. Dari Dorian, Kania mengetahui Lord Chapman mendekam di penjara bawah tanah semenjak kudeta. Berada di penjara lembap penuh lumut sedemikian lama, Kania meyakini kesehatan dan kebersihan Lord Chapman. Sehingga, ia pun meminta segerombol pelayan di koridor (yang berdiri di depan pintu kamarnya, entah mengapa) merawat pria itu. Ia juga mengusulkan, untuk mempekerjakan Lord Chapman sebagai penjaga istal kuda setelah pria itu memperoleh kembali kekuatan serta gizinya.

"Kepala pelayan, Mrs. Palmer, membiarkannya tidur di kamar kosong di sayap pelayan. Tidak semewah kamarnya dulu—namun, setidaknya, bersih dari tikus dan lumut penjara."

Dulu. "Apa yang terjadi kepada keluargamu, Tonya?"

Tonya menuntaskan kepangan rambutnya, membawa helai itu tersampir melalui pundak Kania, menuruni dadanya. Kania menangkap dada Tonya mengembang, sebelum turun perlahan, mempersiapkan dirinya untuk sebuah kisah panjang. Pada akhir embusan napasnya, Tonya bersuara, "Aku dua bersaudara. Dilahirkan ketika Ayah dan Ibu sudah menikah lebih dari dua puluh tahun. Sehingga, ketika Ibu meninggal melahirkan aku—Ayah berencana untuk pensiun secepatnya dari posisi kepala keluarga begitu kakak laki-lakiku menginjak usia dewasa. Ayah menyerahkan jabatannya sebagai bendahara Kekaisaran dan kakak dengan senang menerimanya. Kakak selalu memiliki ambisi yang tidak kumiliki, selalu berusaha menjadi nomor satu di kelas, nomor satu dalam perkelahian, nomor satu dalam segalanya. Sehingga, ketika ia memasuki lingkaran politik kastil—ia memutuskan untuk menjadi orang nomor satu di antara jajaran pengurus Kekaisaran.

KANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang