48 - Kania

655 136 25
                                    

48

Setelah berkutat sepanjang sisa harinya mempertimbangkan berbagai skenario logis agar Reagan memperbolehkannya terjun ke peperangan, Kania jatuh pada keputusan bahwa hal itu dapat diwujudkan melalui Permohonan Tunggal yang dikeluarkan pendeta tertinggi Ansburgh. Dekrit Kaisar Eurymus IX menyatakan bahwa dalam situasi genting dan menyangkut kehidupan penduduk banyak, pendeta tertinggi Ansburgh sebagai pemangku kesejahteraan rakyat Dyre, berhak mengeluarkan Permohonan Tunggal kepada penguasa Kekaisaran untuk mengabulkan permintaan sang pendeta. Dekrit tersebut dikeluarkan sebagai indikasi kerjasama berkesinambungan antara gereja dan kaisar Dyre. Dan hingga detik itu Kania bernapas, hanya dua kali Permohonan Tunggal tersebut pernah dikeluarkan pendeta tinggi.

               Namun, bagaimanapun itu adalah satu-satunya harapan Kania. Sekalipun ia gagal mencoba, setidaknya, ia tidak diam di dalam kastil menunggu kepulangan Reagan. Sepanjang usia hidupnya, panggilan perang ini adalah satu-satunya yang masuk akal dalam hidupnya. Selayaknya panggilan alam. Seperti bisikan dewa-dewi, bergema dan melengkapi jati dirinya. Seakan-akan semenjak kelahirannya, Kania hidup diperuntukkan untuk satu momen ini. Reagan tidak akan mengerti. Sedangkan Ignatius—ia akan mengerti, paham bahwa Kania adalah gerhana yang diperlukan dunia mengakhiri kekacauan.

              Pintu membuka, wajah manis Tonya menyembul dari celah, menemukan Kania yang duduk di meja tulisnya hanya diterangi oleh keremangan cahaya lilin. "Ibu Anda, Yang Mulia."

              Kania menolak kunjungan dari orang lainnya, tetapi Ibu akan selalu memperoleh tempat istimewa dalam hatinya. Ibu mewujud di hadapannya, tampak jauh lebih sehat dari yang terakhir dilihatnya di Reibeart. Ia mengenali raut yang ditampilkan wajah Ibu, kerut cemas di dahinya dan senyuman yang kontradiktif. Ekspresi yang dikenakan Ibu setiap kali mendapati kelima anaknya menyimpan rahasia darinya. Dua puluh satu tahun Kania menjaga rapat rahasianya—kali ini, ia tidak kuasa mendustai dirinya lebih lanjut.

              Ibu mengambil duduk di sofa. "Mengapa kau tidak memberitahuku?"

              Kania menghampiri, duduk di sampingnya. "Apa yang Reagan ceritakan kepadamu?"

              "Kania," ulang Ibu, meraih tangannya dalam genggaman, "mengapa kau tidak memberitahuku?"

              Ingatan dari masa kecilnya meruap tak ubahnya tamu tidak diundang. Tatapan ngeri Ibu, memandangi Kania seolah hendak mati dengan kekuatan yang katanya istimewa. Sebab, Ibu tahu takdir apa yang menanti putri bungsunya di masa depan. Takdir sama yang juga dijalani ibunya dahulu. Kekuatan besar dengan tanggung jawab besar.

              "Apa Ibu tidak menyadarinya tiga belas tahun ini, bahwa secara tidak sengaja Ibu memindahkan kekuatan Ibu ke dalam diriku?"

              "Tidak." Ibu menggeleng. "Aku tidak memiliki hubungan baik dengan kekuatan itu. Tidak seperti dirimu, aku tidak menerima diriku sendiri. Mungkin, para dewa-dewi mendengarnya. Oleh sebab itu mereka merenggutnya dariku. Menghukumku dengan—"

              Merebut Ayah. Jawaban itu menggantung di udara. Hanya dengan demikian dewa-dewi kembali mengingatkan Ibu untuk menerima dirinya sendiri. Kania mengelus tangan Ibu. "Apa kau menyesalinya?"

              "Tidak juga. Dari semua orang di dunia, aku akan sangat bersyukur mengetahui bahwa kau mewarisi kekuatanku," jawab Ibu.

"Mengapa aku yang terpilih?" bisik Kania.

"Semua manusia di dunia ini adalah jiwa-jiwa terpilih, Kania," koreksi Ibu. "Tetapi, dibandingkan yang lainnya, kau memiliki takdir lebih besar. Itu yang selalu aku dan ayahmu takutkan. Kau cukup dewasa untuk mengetahui bahwa perang akan merebut lebih banyak daripada memberikan. Kami berusaha menghindarinya, menciptakan dunia di mana kalian tidak perlu takut." Sebelah tangan Ibu menangkup pipinya, sedikit kasar oleh keriput. Mulut Ibu melengkung tersenyum, namun tidak dengan matanya. "Apa sekarang kau takut?"

KANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang