Tidak mau mengganggu lebih lama, gue dan keluarga gue memutuskan untuk pulang ke rumah setelah kurang lebih dua jam mengikuti acara di rumah Nenek Alin. Dua jam yang terasa bagai neraka karena gue bingung setengah mampus mau ditarok dimana ini muka. Ditambah ada dua kunyuk dan Nadia yang gak berenti-berentinya ngetawain gue. Akhlakless!
Readers: "Terus gimana reaksi si Radith?"
Nyatanya reaksi dia biasa-biasa aja. Dia cuma tersenyum tipis dan berlalu untuk menyalami tamu yang lain. Hanya itu. Sampai gue dan keluarga gue balik pun tidak ada interaksi kami yang lain. Keliatan cuek banget sih orangnya. Jadi, harus seneng apa sedih nih gue? Entahlah ya.
"AKHHHH BEGO BANGET SIH GUE!" Teriak gue frustasi.
Kurang lebih sudah dua jam lebih gue guling-gulingan di kasur sambil menyesali kejadian memalukan itu.
"Ini mulut kadang jujurnya di tempat yang salah! HUEEEEE..."
TOK TOK TOK
Ratapan gue diinterupsi oleh suara ketukan dipintu. Dengan sigap, gue pun melompat turun dari kasur dan membukakan pintu.
"Heh, bar-bar! Udah malem jangan tereak-tereak, dong!" Rupanya Bang Eric yang menggangu waktu menye-menye gue. "Abang lagi ada kerjaan yang belum kelar, nih! Mana besok Big Boss kantor Abang mau dateng. Jangan berisik!"
"Dihh.. Iya-iya, aku gak bakal berisik."
Karena bosan, gue memutuskan untuk mejeng di jendela kamar. Sebenernya sih gak ada view yang menarik karena yang berhadapan dengan jendela kamar gue adalah balkon dari kamar di rumah Nenek Alin. Entahlah sepertinya kamar itu kosong karena selama ini gue gak pernah melihat ada orang yang nongkrong di sana sekalipun.
Fyi, rumah Nenek Alin lebih besar dan pastinya lebih bagus dari rumah gue. Gue pengen banget punya balkon yang terhubung ke kamar gitu karena gue sering duduk-duduk di jendela sambil menatap ke langit sambil curhat ke bintang. Rasanya bener-bener damai dan menurut gue relaxing.
"Bintang-bintang, kalian tau gak sih kalo hari ini aku ngelakuin sesuatu yang malu-maluin banget! Nih ya, hari ini tuh ada cowok guanteng banget yang ternyata adalah cucunya Nenek Alin. Aku udah seneng banget! Kali aja gitukan aku bakal dijodohin sama cucunya. Tapi setelah hari ini, kayaknya itu gak bakalan terjadi deh. Dia pasti ilfill 100% sama aku! Peluang aku udah auto minus, Tang!"
Setelah menghela nafas, gue lanjut bercerita,
"Kayaknya dia tipe orang yang cuek, deh. Tapi tetep ganteng sih, hehe. Apalagi pas lagi senyum! Aduhh rasanya semanis sari gula!"
Sambil senyam-senyum gue membayangkan kembali senyum Om Radith tadi. Wait, Om?"Kira-kira dia umur berapa, ya? Apa beneran udah jadi om-om?"
"Dua puluh sembilan. Umur saya masih dua puluh sembilan tahun dan saya bukan om-om."
Refleks gue tersadar dari lamunan dan menemukan fakta bahwa orang yang sedang gue ghibah-kan dengan bintang-bintang tengah berdiri di balkon kamar yang tepat berada di seberang depan.
Entah sudah berapa lama Radith berdiri di seberang sana dengan pakaian santainya. Seberapa banyak ocehan gue yang dia dengar?
"A-anu... Sa-saya..."
Karena terlalu gugup, gue jadi salah menempatkan kaki yang membuat gue tergelincir. Untungnya salah satu tangan gue masih sempat untuk meraih jendela dan berpegangan di sana.
Radith yang melihat itu pun langsung bertindak. Ia mengulurkan tangannya dan bertanya apakah gue bisa meraihnya dengan tangan yang lain. Untungnya jarak antara balkon kamarnya dengan jendela kamar gue tidak terlalu jauh sehingga gue masih bisa meraih tangannya. Dengan sigap, Radith langsung menarik gue ke atas balkon kamarnya.
"Kamu sudah gila?! Kenapa ceroboh sekali?"
Ow sudah pasti, Radith kaget setengah mampus dengan kejadian barusan."Ma-maaf.. Saya tadi kaget karena Bapak muncul tiba-tiba." Jujur, jantung gue hampir copot karena kejadian barusan. Alhamdulillah, masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Radith menghela nafas. Iya, gue tau kok gue ceroboh dan merepotkan.
"Yasudah, sekarang gimana caranya kamu balik ke kamar kamu?" Tanyanya sambil berdecak pinggang."Oh, saya bisa lompat dari sini ke jendela kamar kok, Pak."
"What? Lompat? Big no! Kalau kejadian kayak tadi lagi gimana?"
"Ya mau gimana lagi, Pak? Bapak punya ide yang lebih bagus?"
"Kamu pulang secara normal saja. Lewat pintu rumah. Kita jelaskan kejadian yang sebenarnya." Jawabnya sambil menarik tangan gue.
"Ihh, kalo gitu saya gak mau, Pak. Bisa-bisa saya diledekin setiap hari sama abang-abang saya." Tolak gue sambil berusaha melepaskan tangan yang ditarik oleh Radith.
Namun, Radith nyatanya tidak menggubris penolakan gue dan tetap menarik tangan gue dengan paksa.
"Aduh, Pak. Lepasin tangan saya dong!"
Di sisi lain terdengar suara ketukan di pintu kamar Radith.
"Radith, ini Nenek. Kamu belum tidur? Mau dibuatkan kopi?"Gue tersentak. Itu Nenek Alin!
Handle pintu pun perlahan diputar dan sebelum pintu itu benar-benar terbuka, gue segera melepaskan tangan gue dan berlari. Tanpa ancang-ancang, gue segera melompat masuk ke kamar. Untung berhasil.Secepat kilat gue mengunci jendela dan menarik hordengnya. Dengan nafas yang terengah-engah, gue merebahkan diri di atas kasur.
Kejadian macam apa itu?! Ya Allah semoga besok hamba ga usah ketemu Bapak/Om Radith yang ganteng itu. Aamiin...
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
My Neighbour, My Love
RomanceHai, perkenalkan nama gue Erin. Jomblo dari lahir, tapi pengen nikah muda. Alasan kenapa gue mau nikah muda? Simple, salah satunya pengen bisa ngeliat anak gue gede dan sukses. Takut gak ada umur, bro. Tapi, ya itu. Jangankan calon suami, pacar aja...