-Chapter 1-

11 1 0
                                        

"ADEK BANGUN!"

Yup, tidak diragukan lagi. Itu adalah suara Bundaku tersayang yang selalu ngomel tiap anaknya bangun siang.

"Bangun, Dek! Anak perawan kok bangunnya siang amat! Gimana mau dapet pacar?"

Jleb

"Iya, iya. Ini aku bangun. Sekarang jam berapa emang, Bun?" Dengan rambut singa dan mata yang masih sulit untuk dibuka karena belekan, gue berusaha meregangkan tubuh sambil duduk di kasur.

"Jam 8."

"Hah? Itu mah masih pagi, Bundaaa..."

"Terus kamu mau tidur sampe kapan? Sini Bunda galiin tanah di halaman belakang."

Begitulah Bunda gue. Kalau udah sewot mulutnya sepedes cabai Carolina Reaper. Ngomong-ngomong berapa ya harga cabai sekarang? Sebagai pecinta makanan pedas, gue turut terdampak oleh kenaikan harga cabai ini.

"Astaghfirullah, Bunda. Iya deh iya ini udah siang. Tuh Mr. Sunshine udah keliatan. Mr. Sunshine jangan cepet-cepet terbit dari barat, ya!"

Setelah Bunda keluar kamar, gue memutuskan untuk mandi. Tapi, sebelum itu kita ngaca dulu kali, ya? Siapa tau tambah cantik.

"Aduh ileran." Sayangnya, bukan sosok secantik Audrey Hepburn yang gue lihat di pantulan cermin melainkan seorang gadis jomblo dengan penampilan acak-acakan.

"Tapi, gapapa. Kalo gue ileran itu artinya tidur gue berkualitas! Sekarang mari kita mandi dan mempercantik diri!"

🌻🌻🌻

"Mau masak apa hari ini, Bun?"

Setelah satu jam mencoba memperbaiki penampilan, gue turun ke bawah untuk menemui Bunda di dapur. Of course, sebagai seorang yang bercita-cita untuk nikah muda gue harus bisa masak. Kebetulan emang hobi dari kecil. Kata Bunda, dari umur 5 tahun gue udah sering bantuin beliau masak. Bantuin ngacak-ngacak sih lebih tepatnya.

"Masak sayur asem, ayam goreng, sama bikin sambel aja kali, ya?"

"Wih, sedep bener tuh, Bun!"

"Yaudah, kamu beli bahan-bahannya, gih! Beli di Budhe Iis aja."

"Siap 86!" Dengan berbekal uang yang diberikan Bunda, untuk pertama kalinya gue keluar rumah hari ini.
Karena toko Budhe Iis tidak begitu jauh dari rumah, gue memutuskan untuk jalan kaki.

"Mau kemana, Rin?"

Gue keluar gerbang rumah bersamaan dengan tetangga samping rumah. Nenek Alin, tetangga terdekat gue. Beliau tinggal berempat dengan suaminya, Kakek Dani, dan dua orang pekerja yang merupakan sepasang suami istri. Gue dekat dengan pasangan kakek nenek ini dari kecil. Kebetulan gue sendiri udah gak punya kakek dan nenek kandung karena kedua orang tua Ayah dan Bunda gue udah lama berpulang ke pangkuan Allah Swt.

"Mau ke Budhe Iis, Nek. Nenek sendiri mau kemana?" Tanya gue sambil tidak lupa mencium tangan Nenek Alin.

"Wah, kebetulan! Nenek juga mau ke sana. Ayuk, kita pergi bareng!"

"Loh, kok Nenek yang belanja. Emangnya Bu Ratih kemana?"

"Ada di dalam sedang bersih-bersih. Nda apa-apa toh kalau Nenek yang jalan? Kamu pikir Nenek udah setua itu, ya?"

Kalau ditanya soal usia, jujur saja Nenek Alin sudah termasuk berusia lanjut. Usianya sudah 75 tahun, tetapi badannya masih tegap, giginya masih bagus, dan jalannya pun masih gagah. Nenek Alin juga belum pikun dan masih bisa bantuin gue ngerjain PR MTK pas SMA dulu! Yup, beliau adalah mantan dosen matematika salah satu universitas ternama saat masih muda dulu.

My Neighbour, My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang