Banyak stigma yang bertebaran bahwa ke psikiater itu tandanya gila. Banyak pula yang mengatakan bahwa mereka kurang iman, kurang bersyukur dan lain sebagainya.
Hei, ke psikiater itu tidak gila. Justru berani mengambil keputusan ke psikiater adalah keberanian. Karena banyak nyawa yang tidak tertolong karena terlambat dibawa ke tenaga profesional.
Mereka yang mau datang ke psikiater adalah orang yang telah maju satu langkah, karena lelah menahan sakit yang tak terlihat yang mulai menggerogoti mental mereka.
Karenanya, datang ke psikiater itu adalah langkah awal untuk bisa sembuh dari jurang keputusasaan.
"Sudah berapa lama kamu nggak ke sini?"
"Dua minggu."
"Kenapa baru ke sini lagi setelah dua minggu?!" Pria berjas putih lengan panjang itu menukas sadis, membuat pasien lamanya meringis, terintimidasi. Gun -psikiater Krist- itu membaca lembaran map yang ada di tangannya. "Bagaimana keadaan kamu sekarang?"
"Akhir-akhir ini aku sering kambuh. Gejala panik attack-ku muncul lagi."
"Ya, 'kan. Apa aku bilang?! Kamu itu masih harus minum obat rutin, jadwal kontrol juga harus diperhatikan. Gimana kamu mau bisa sembuh kalau nggak minum obat teratur gitu."
"Makanya, turunin dosis aku, dong."
"Ya, nggak bisa gitu." Gun menghela napas. "Semua itu tergantung gen, perilaku, kepribadian dan lingkungan sekitar. Sedangkan kamu nggak punya semua itu, 'kan?!"
Sudah sejak lama Gun menjadi psikiater Krist. Kurang lebihnya Gun tau apa yang dialami pria tersebut. Bahkan Krist belum memberitahu orang tuanya jika pria manis tersebut sudah memeriksakan diri ke dokter jiwa beberapa tahun sebelumnya tanpa sepengetahuan mereka.
"Bisa nggak beri aku obat penenang yang banyak gitu?!"
"Buat?"
"Yaaa, biar bisa tidur lebih lama gitu." Krist bersenandung kecil. "Tidur selamanya juga nggak masalah." Krist mencicit
"Nggak!" Gun memekik tertahan. Ingin rasanya ia menoyor kepala Krist yang memang sudah tidak waras dari dulu. "Aku kasih dosis kayak yang sebelumnya. Ingat kembali kontrol sesuai jadwal dan minum obatmu secara teratur. Banyakin tidur, oke."
"Hm."
***
Sesampainya di rumah Krist tidak menemukan mobil Ayahnya. Yah, mungkin Ayahnya memang sudah mangkat dari rumahnya. Krist tidak ambil peduli. Untuk saat ini, dia sudah mendapatkan obatnya.
"Dari mana kamu?"
"ASTAGFIRULLAHALADZIM!"
Bagai tersambar petir, kehadiran pria rupawan namun kedatangannya layaknya setan itu tidak Krist duga-duga. Bahkan Krist tidak mendengar langkah kakinya. Memang, ya Singto itu keturunan iblis. Hanya dengan tatapan tajam matanya saja dapat membuat bulu kudu Krist merinding.
"Kepo." Krist mengedikkan bahu. Berjalan santai menuju kamarnya dengan langkah ringan. Tangannya mendorong bahu Singto pelan. "Minggir!"
"Kalau orang tua ngomong itu didengerin."
Tangan Krist digenggam, tubuhnya dibalikkan paksa menghadap lawan bicaranya, Singto mengukung Krist mundur sampai punggungnya menempel dinding. Dalam situasi seperti ini Krist menjadi grogi. Kepalanya menunduk kian dalam.
"Kalau orang ngomong itu di tatap matanya."
"Apa kamu?" Krist mendongak, membuat iris beda warna itu saling bersinggungan. Perbedaan tinggi mereka yang hanya beberapa cm tidak menghalangi Krist untuk tidak melawan. "Kamu itu hanya pelayan di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [ Krist X Singto ]
ФанфикKrist menatap pantulan bayangannya dicermin, sudut bibirnya tersenyum miring, ia bertanya lagi, "haruskah aku mengakhirinya?" "Ya. Lakukan!" Perintahnya mutlak. bayangan di cermin itu menyeringai lebar.