Seorang remaja berdiri di depan cermin dengan menggunakan setelan baju serba hitam. Pandangannya lurus kedepan, tangan kanannya menjinjing sebuah boneka teddy ukuran sedang.
Lewat tengah malam, remaja itu mempunyai masalah dengan tidurnya. Ia hanya hidup seorang diri. Ibunya meninggal delapan tahun silam. Ayahnya meninggalkannya setelah menikah dengan janda yang belum satu tahun ini ia kenal. Hanya beberapa kali dalam sebulan menemuinya, entah untuk apa?
Sendirian. Dalam rumah minimalis namun terkesan modern itu, ia hanya mampu berdiri memandang pantulan bayangannya dicermin. Sambil memikirkan betapa hampanya hidup seorang diri. Betapa kesepiaannya ia hidup selama ini.
Tidak ada seseorang yang akan mengajaknya berbicara.
Tidak ada seseorang yang diajaknya bercanda.
Tidak ada seseorang yang diajak berbagi.
Tidak ada seseorang yang akan memeluknya saat dia bersedih.
Tidak ada seseorang yang akan mengusap air matanya saat ia menangis.
Kenapa?
Namanya Krist Perawat. Usianya baru delapan belas tahun, dan ia harus menanggung beban seberat ini.
Kenapa semua ini terjadi padanya? Jika memang ia tidak diharapkan di dunia ini, lalu kenapa ia harus hidup? Kenapa ia harus dilahirkan jika hanya akan jadi benalu bagi keluarganya? Kenapa ibu harus pergi meninggalkannya? Kenapa Ayah juga tidak membawanya bersama istri barunya? Kenapa? Kenapa?
Argh!!!
Krist memukulkan tinjunya pada cermin, tidak retak, tenaganya memang masih rapuh. Hatinya diisi dengan kekosongan. Dan dunianya hanya berisi lembaran-lembaran dengan coretan abstrak tak berbentuk yang entah sampai mana ujungnya.
Tidak berguna.
Kenapa Krist merasa hidupnya tidak ada artinya? Lagi, ia hanya ingin mengakhiri hidupnya kalau ia bisa. Krist hanya sebatang kara, Ayahnya sudah mempunyai pasangan lain, sudah ada yang akan mengurusnya. Sedangkan ia, untuk apa ia hidup?
"Haruskah aku mengakhiri sampai disini?!" Tanyanya pada diri sendiri. "Kenapa aku harus bertahan? Toh semua tidak ada yang peduli padaku. Untuk apa aku masih berlama-lama di dunia. Aku hanya kerikil yang keberadaannya saja tidak ada yang mengharapkan. Jadi kenapa?"
Krist menatap pantulan bayangannya dicermin, sudut bibirnya tersenyum miring, ia bertanya lagi, "haruskah aku mengakhirinya?"
"Ya. Lakukan!" Perintahnya mutlak.
"Apa dengan mengakhirinya hidupku akan bahagia? Aku tidak akan sendiri lagi di dunia sana."
"Aku akan pergi bersamamu. Ada aku yang selalu menemanimu. Jadilah temanku dan kekallah bersamaku di neraka."
"Apa neraka itu tempat yang menyenangkan?"
"Tentu. Banyak anak seusiamu disana dan mereka sama sepertimu."
Krist tersenyum sumringah, ia mengambil gunting di meja riasnya lalu mendekatkannya di titik nadi lehernya. Tangannya menggenggam erat. Iris coklat matanya tertuju pada bayangannya yang terlihat tersenyum setan. Alis Krist tertaut menyadari sesuatu yang ganjil dari sana.
"Nah, Krist. Cepat lakukan!"
Tangan Krist yang masih menggenggam gunting itu bergeming. "Tunggu." Di letakkannya gunting itu kembali. "Siapa kau?"
"Aku?" Seseorang dalam bayangan cermin itu tersenyum miring. "Aku adalah kau. Aku adalah bagian dari dirimu yang sebenarnya."
Diri Krist yang sebenarnya?
Bagaimana diri Krist yang itu memiliki aura yang lebih gelap. Dengan senyum yang terus melengkung hingga sampai ke telingga. Diri Krist yang lain tak ubahnya seorang iblis yang menjelma.
"Bohong." Krist kembali mencengkeram gunting, ia sembunyikan dibalik punggungnya. "Aku bukanlah sepertimu. Bagaimana bisa aku menjadi segelap itu?!"
"Jangan banyak bicara. Akhiri sekarang juga. Hidupmu tidaklah berguna. Untuk apa kau terus hidup dalam jurang keputusasaan. Tidak ada yang akan memedulikanmu. Bahkan Ayahmu saya membuangmu."
"Diam!" Teriaknya parau.
"Tidak ada sanak saudara yang akan membantumu. Mereka hanya akan peduli jika kau berada di titik atas. Jadi ... untuk apa kau hidup." Bayangan itu terus memberi komentar negatif untuk mendorong Krist agar mau melakukan apa yang dia inginkan. "Nah, Krist, cepat lakukan."
"Diam kataku!"
Pyar!
Krist menghujam pantulan bayangannya dicermin dengan sebilah gunting. Cermin itu pun retak. Dan bayangan mengerikan yang Krist lihat telah hilang bersamaan dengan beling-beling yang berhamburan.
***
Lima tahun kemudian.
"Jadi, untuk apa Ayah kemari?" Tanyanya ketus. Melihat Ayahnya menyambanginya tentu hatinya berbunga. Siapa yang tak senang jika seorang Ayah datang melihat putranya, tapi bersamaan itu juga ada sesuatu yang sesak dibalik rongga dadanya. Sesuatu yang mencubit hatinya. Bohong kalau ditelantarkan selama lima tahun ini tidak meninggalkan bekas luka yang mendalam bagi seorang Krist. Bohong jika dirinya tidak merasa disakiti.
Tapi seseorang yang duduk dihadapannya bagaimanapun juga ialah Ayahnya. Ayah yang telah merawat dan membesarkannya. Krist benci, tapi ia juga sangat menyayangi sosok Ayahnya. Krist tidak akan pernah bisa membenci Ayahnya sepenuhnya. Karena hanya seorang Ayahlah yang Krist punya. Harta yang tidak bisa digantikan dengan apapun.
"Ada yang ingin Ayah kenalin ke kamu?"
"Siapa?"
"Nak, kemarilah." Ayah bertepuk tangan sekali, memanggil seseorang. Tak lama kemudian datanglah pria sekepala lebih tinggi dari Krist, berkulit tan dan memakai pakaian bermerek.
Kalau saja aura yang keluar darinya bukan aura iblis. Pastilah pria tampan tapi tidak Krist kenal itu nyaris saja sempurna.
"Ini Singto Prachaya." Ayah memperkenalkan. "Mulai sekarang dia akan jadi butler kamu. Dia akan mengajari kamu les bahasa, piano, memasak, les kepribadian dan segalanya."
"Dia orang, Yah."
Bukan apa-apa. Karena diusia Krist yang sudah lulus kuliah. Ia belum bisa menggantikan Ayahnya menjadi GM di perusahaannya. Bisa dibilang Krist adalah seorang pengangguran. Kerjaannya setiap hari adalah rebahan. Tapi semuanya telah tersedia hingga Krist tidak kekurangan apapun.
Hanya satu yang kurang. Krist kekurangan kasih sayang. Jadi wajar keberadaannya adalah aib bagi keluarganya.
"Nah, Singto. Mulai sekarang. Tolong ajari Krist dengan benar. Saya serahkan dia sama kamu."
Entah kenapa, Krist merasakan firasat buruk telah menimpanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
STIGMA [ Krist X Singto ]
FanficKrist menatap pantulan bayangannya dicermin, sudut bibirnya tersenyum miring, ia bertanya lagi, "haruskah aku mengakhirinya?" "Ya. Lakukan!" Perintahnya mutlak. bayangan di cermin itu menyeringai lebar.