Chapter 12

606 114 35
                                    

Setiap kali Ryn memutuskan bermain ke pantai, ketika mendengar suara ombak atau melihat foto-foto laut, ingatan mengenai momen-momen dirinya berada di salah satu pulau Sulawesi Selatan itu muncul kembali. Sebagai pelepas rindunya dengan sosok pria yang tak diduga mengisi pikirannya hingga tiga tahun ini, Ryn sering mengunjungi pameran seni tentang kelautan, berharap suatu saat bisa berbagi pengalaman itu dengan Juna.


Sementara di lain sisi, Juna sibuk dengan proyek konservasi di berbagai pulau di Indonesia, berusaha melindungi terumbu karang dari kerusakan akibat perubahan iklim dan kenakalan manusia. Selain itu ia juga melakukan penelitian mengenai ekosistem laut, menulis artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal lingkungan, berbagi pengetahuan tentang pentingnya menjaga kelestarian laut, dan tentunya mengadakan pelatihan tentang teknik pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan.

Di waktu luangnya, Ryn akan menulis lirik lagu yang kebanyakan terinsipirasi dari pertemuannya dengan Juna. Ia hanya ingin mengingat bahwa dulu ketika karirnya masih di bawah, dia punya seorang teman yang luar biasa. Di malam-malam yang sunyi, ia akan melihat bintang-bintang, di mana saja; entah ketika ia di rumah atau di balkon hotel saat sedang liburan, menatap langit berbintang adalah kegemarannya sejak melakukannya bersama Juna dahulu.

Tiga tahun berlalu tanpa kabar. Ryn menjalani hidup dengan baik meski terkadang penuh kesibukan. Namun, dalam hati, selalu ada ruang khusus untuk kenangan singkat yang tak akan pernah pudar.

***

Sudah berkali-kali dering ponsel itu merusak ketenangan Ryn yang sedang pilates. Dia melirik sekilas, lalu mengabaikan sebab harus kembali fokus pada posisi plank. Namun didiamkan selama beberapa menit, panggilan terus saja masuk. Akhirnya Ryn berdecak malas dan menyudahi kegiatannya.

"Kenapa, Pa?"

"Calon suamimu akan datang ke sini tiga hari lagi, kamu harus pulang ke rumah."

"Sudah berapa kali aku bilang, aku nggak mau dijadikan alat untuk menyelamatkan bisnis!"

"Pak Soerja bisa membantu kita keluar dari masalah ini, Ryn! Asalkan kamu mau menikahi anaknya."

"Perjodohan semacam ini nggak bisa disebut solusi. Lagi pula, bukannya aku sudah nggak dianggap ada?"

"Ryn! Jaga mulutmu. Mama akan sedih di langit sana saat melihatmu menjadi pembangkang."

Pada akhirnya, Ryn hanya bisa menahan emosinya bersarang di kepala. Selalu saja mama yang dibawa-bawa dalam perdebatan. Galih Soebagio benar-benar tahu titik lemah si anak tengah.

"Kapan tepatnya dia datang? Aku harus menemuinya di mana?" Jawaban dari ayah berikutnya terdengar begitu lega.

Beliau sudah runtuh akhir-akhir ini. Perusahan Soebagio turun-temurun dari kakeknya dulu bergerak di bidang properti, makanan dan minuman, serta teknologi informasi, kini terjerat utang akibat manajemen yang bobrok dan kegagalan beradaptasi dengan perubahan pasar.

Lalu Galih tanpa merasa bersalah, berusaha mengembalikan kejayaan keluarganya dengan menjalin hubungan baik terhadap keluarga Soerja Massaid, yang menawarkan bantuan finansial dengan syarat Ryn menikahi anaknya yang baru bercerai tujuh bulan lalu. Dalam pandangan Galih, Soerja yang sudah berpengalaman di dunia bisnis, dianggap sebagai solusi untuk menyelamatkan perusahaan. Namun bagi Ryn, ini tidak lebih seperti menumbalkan anak sendiri demi kepuasan pribadi.

"Giliran udah bangkrut aja, baru ingat punya anak gadis," dengus si wanita yang kini mengetuk-ngetuk jari pada setir mobil.

Ryn melaju kencang dengan Bentley Continental GT-nya, menembus jalanan sepi menuju makam sang ibu. Setibanya di sana, Ryn meletakkan seikat bunga anggrek bulan—kesukaan ibunya saat masih hidup—ke atas nisan.

A Love for JunaediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang