JANJI

19 17 0
                                    

Happy Reading 📖

~•♡◇♡•~
°°___________________________°°

"Lo pernah jatuh cinta ga, La?" tanya Rivan yang hampir saja membuatku tersedak bola-bola mie yang sedang aku kunyah. Aku langsung menatapnya dengan bola mata yang terbuka.

"Gue?" tanyaku balik seraya menunjuk jari telunjukku ke arah diriku sendiri. Dia mengangguk sekali dan masih menatap lekat ke arahku.

Perlahan aku menelan kunyahanku seraya meletakan sendok yang aku pegang. Aku membalas tatapannya sembari berkata, "Ga, tepatnya belum pernah." Lalu aku meraih sisa minumanku dan meminumnya.

"Apa lo beneran bakal cerita ke gue suatu saat nanti soal doi lo?" tanyanya.

Setelah puas menyegarkan tenggorokanku, aku meletakan kembali gelas yang aku pegang seraya menemukan dirinya masih menatapku. "Kenapa? Lo aja ga mau cerita soal doi lo ke gue. Bisa aja 'kan gue ga cerita ke lo," jawabku kemudian mengendikan kedua bahuku seraya memalingkan pandangan darinya.

"Tapi tadi lo bilang bakal cerita ke gue," imbuhnya mengingatkanku. Sepertinya dia berharap aku akan cerita kepadanya tentang doi-ku. Entah dengan siapa aku akan jatuh cinta.

Netraku kembali tertarik untuk menatapnya. "Iya, gue bakal cerita ke lo 'kok," balasku mengiyakan desakannya. Tak lupa aku menambahkan senyuman kepadanya agar ia percaya dan tak mendesakku lagi. Ia pun membalas dengan senyuman yang lebih lebar.

"Gue bakal akan nunggu hari itu datang."

Aku tak tahu kenapa ia ingin sekali mendengar ceritaku saat aku akan merasakan jatuh cinta. Aku ingin bertanya kepadanya bagaimana rasanya jatuh cinta. Apalagi memendam perasaan seorang diri selama enam tahun.

Aku ingin melanjutkan topik pembicaraan mengenai perasaan ini kepadanya. Tapi aku menyuruhnya untuk membuang rasa sukanya pada sang doi. Jika aku melanjutkan topik ini, Rivan pasti akan semakin terkenang dengan sang doi. Bisa saja dia batal untuk membuang perasaan suka itu.

Terlebih dahulu aku memutus kontak mata dengannya. Kami terdiam sejenak. Aku mendengar gesekan sendok pada nampan. Ujung mataku memperhatikannya sekilas. Dia kembali memasukan bola-bola mie miliknya ke dalam mulutnya. Aku senang ia makan kembali dan berharap ia menghabiskan makanannya itu.

Aku menghela napas sejenak dengan tatapan tertuju pada telaga di hadapanku. Langit perlahan berubah warna dengan dipenuhi warna jingga di hamparan atas sana. Sore menyapa dan sebentar lagi malam akan ikut menyapa.

"Kita berempat jadi 'kan milih sekolah yang sama dengan jurusan yang sama pula?" tanyaku seraya menatapnya yang kebetulan menatapku saat dia hendak menyendokan bola-bola mie lagi.

"Mungkin," jawabnya lalu melahap makanannya dan mengalihkan tatapan dariku sejenak.

Alisku berkerut, aku pun bertanya, "Kenapa? Lo ...." Seketika bibirku kembali tertutup, tak sanggup melanjutkan ucapanku.

Dia menatapku kembali dengan sendok berada di genggaman tangan kanannya. "Segala kemungkinan bisa terjadi, La." Lalu ia meletakan sendoknya dan beralih meraih gelas es buahnya untuk ia minum.

Pandanganku perlahan menurun menatap lantai kayu lalu mengalihkan pandangan ke arah telaga di depanku. "Gue paham, kok. Bisa aja lo ikut bokap lo kerja. Lo dan Reva sekolah di sana," balasku kembali menatapnya. "Tapi bisakah lo pulang ke sini lagi buat temuin gue, Andra, Kiara, dan semua orang yang lo kenal di sini?"

Aish, emosi menguasai diriku. Kedua mataku memanas saat menemukan netranya yang terpaku menatapku. Desakan di dadaku tertahan menyebabkan aku merasakan sesak yang luar biasa.

Rivan meletakan gelasnya kembali lalu mengubah posisi duduknya menjadi tertuju lurus menghadapku. "Gue ga bisa janji, La," jawabnya yang membuatku semakin ingin menumpahkan air mataku. Bibirku masih tak sanggup untuk membalas ucapannya.

"Lo pernah bilang ke gue jika lo akan selalu janji sama gue, janji untuk kebaikan kita," balasku. Aku langsung teringat ucapannya enam tahun yang lalu, tepat setelah Woodie selesai dibangun. Dia menjabat tanganku sebagai tanda kesanggupannya.

"Gue nyesel pernah bilang itu ke lo," hembusnya dan mengalihkan tatapan dariku.

Kedua mataku terpejam sejenak lalu aku mengubah dudukku menjadi menghadap ke arahnya. Ya, kami duduk berhadapan dengan posisi bersila. Aku kembali menatapnya serius seraya mengulurkan tangan kananku ke arahnya.

"Gue ga peduli dengan penyesalan lo. Bisakah lo pulang jika lo beneran pergi jauh dari gue?" tanyaku.

Ia menatap uluran tanganku kemudian beralih menatapku. "Takdir Tuhan tak selamanya manis," jawabnya yang membuatku menatapnya bertanya.

Senyuman tipis terpajang di wajahnya. "Kematian," imbuhnya.

Desakan di dadaku kembali terasa, aku menahan tanganku agar masih menunggu balasan uluran darinya. Aku menatapnya sedikit bergetar. Sedangkan ia menatapku begitu serius.

"Gue cuma realistis aja. Jadi, gue takut buat lo kecewa," ungkapnya, ia menghilangkan senyuman di wajahnya.

"Gue ragu jika lo nyembunyiin sesuatu yang buruk dari gue," paparku dan dibalas gelengan darinya yang kembali tersenyum.

"Ga ada, La."

Aku menggerakan tangan kananku yang mulai terasa pegal. "Jabat tangan gue, Van," paksaku menatapnya memohon.

"Oke," balasnya akhirnya membalas jabatan dariku, tanda ia setuju.

"Gue akan berusaha," sambungnya semakin melebarkan senyumannya.

Aku merasa senang dengan balasannya. Aku berharap jika ia benar-benar pergi, ia akan pulang untuk menemuiku. Tapi aku juga berharap ia tak pergi jauh dariku. Tetaplah bersamaku, Rivan.



Hai!
👋

KEMBANG APITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang