Keras Kepala

17 15 0
                                    

Happy Reading

•°•

^^_____________________________^^

Tubuh Rivan terkulai lemas di kasur UKS. Wajahnya sungguh pucat, ia sungguh keras kepala. Ia menolak untuk diperiksa dokter. Ia bilang jika ia hanya terkena demam dan cukup minum obat saja. Tapi ia baru saja menghabiskan banyak tisu untuk mengelap mimisannya.

Padahal saat istirahat pertama tadi, ia terlihat ceria bersamaku, Andra, dan Kiara. Kami menikmati bekal kami.

"Gue liat gada perubahan pada lo, Ndra. Sama aja kaya ga ikut bimbel," ejek Rivan memulai pertengkaran. Aku memilih mendengarkan perdebatan mereka. Karena memang Rivan sering menggoda Andra, menyenangkan membuat Andra marah.

"Kita lihat aja hasil PAS, siapa yang nilainya tertinggi." Aku menatap Andra yang duduk di hadapanku sedang melemparkan tatapan tajam ke arah Rivan yang duduk di samping kiriku.

"Untuk sekarang jangan remehin usaha gue buat pinter," sambungnya lalu berdesis sebal. Ia kembali melanjutkan makannya.

Terdengar kekehan di sampingku, ya Rivan melakukan itu. "Gue cuma manasin lo supaya usaha lo semakin besar. Gitu aja ga paham," balasnya. Aku menatapnya yang juga kembali makan, begitu pun denganku.

"Tapi cara yang Rivan lakuin itu salah," timpal Kiara yang membuatku menatapnya. Wajahnya sungguh imut, apalagi cara bicaranya.

"Iya, gue tau. Gue akan menantikan nilai PAS, siapa yang tertinggi di antara kita. Yang terendah harus traktir gimana?" tanyanya.

"Bukannya kebalik?" tanya balik Andra. Aku memilih menghabiskan sisa bekalku.

"Ya itu hukuman bagi yang nilainya rendah," jawab Rivan.

"Kiara setuju," sahut Kiara cepat yang membuatku kembali menatapnya. Hah, ternyata dia setuju dan kulihat kobaran semangat di bingkai matanya.

"Ki!" seru Andra yang sepertinya tak terima. Aku beralih menatapnya yang melemparkan pelototan mata ke arah Kiara.

"Oke, satu suara mewakilkan yang lain," putus Rivan cepat. Aish, terasa tak adil, bukan? Tapi seperti itulah tabiat dari Rivan dan terkadang dari Andra.

Kepala Andra langsung tertoleh menatap Rivan. "Harus adil dong, Van! Gue ga setuju!" tolaknya tegas.

"Lo takut ya, Ndra?" tanyaku. Netranya beralih ke arahku.

"Ya enggalah," jawabnya lalu makan kembali dengan kesal yang membuatku tersenyum kecil.

"Lo juga setuju ga, La?" tanya Rivan. Aku pun beralih menatapnya balik dengan anggukan setuju.

Terlihat dia tersenyum lebar lalu beralih menatap Andra dan Kiara. "Gue juga setuju. Jadi, sudah jelas kita harus bersaing agar tak dijadikan dompet berjalan."

Setelah menyelesaikan makan, sudah mulai terlihat wajah Rivan yang memucat dan ia tak menanggapi celotehan dari Andra. Ia izin berlari terlebih dahulu ke toilet bertepatan dengan bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Ia menitipkan bekal miliknya yang sudah kosong kepadaku. Aku khawatir dengan keadaannya.

Langkahku berhenti begitu pun dengan Andra dan Kiara. Aku menatap mereka berdua seraya menitipkan bekal milikku dan milik Rivan kepada Kiara yang berjalan di samping kananku.

"Kalian duluan aja, gue mau nyusul Rivan. Gue pergi dulu, dah," pamitku tanpa menunggu balasan dari mereka. Aku melajukan langkahku menuju toilet. Aku berharap Rivan baik-baik saja.

Aku menghentikan langkahku, berdiri di depan mading yang berada di sebelah timur toilet cowok. Karena saat aku sampai, ketiga pintu toilet tersebut tertutup semua. Aku akan menunggu Rivan sembari membaca isi mading di hadapanku.

KEMBANG APITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang