Serius

1 0 0
                                    

"Kalian duluan aja gapapa. Gue mau ke toilet dulu," izinku kepada ketiga sahabatku. Kami berempat berhenti sejenak di luar pintu kelas kami. Aku pun melambaikan tangan membalas lambaian dari Kiara. Mereka bertiga melanjutkan langkah pulang mereka. Dengan segera aku bergegas menuju toilet.

Sejujurnya aku belum siap memberitahu mereka tentang perjodohanku dengan Revan. Terlebih respon dari Andra. Entahlah. Aku belum siap.

Aku bernapas lega saat keluar dari toilet. Kakiku melangkah pasti meskipun agak cemas dengan keberadaan Revan. Aku berharap dia tak datang sore ini. Kumohon.

"Heyooo!" seru Satya yang tiba-tiba mengalungkan tangan panjangnya di kedua bahuku. Tentu saja aku terkejut dan langsung melemparkan tatapan bengis kepadanya.

"Woles, Mba," lanjutnya memintaku untuk tenang. Perlahan ia melepaskan lengannya dari bahuku. Aku pun memperbaiki posisi kalungan ranselku seraya mendengarkan ucapannya.

"Sendirian aja, dah pada pulang, ya?" Aku mengangguk setelah selesai dengan aktivitasku.

"Gue anter lo pulang gimana?" tanyanya lagi. Kepalaku langsung tertoleh kepadanya dengan pandangan horor. Tapi dengan cepat aku mengubahnya menjadi setenang mungkin.

"Ga perlu. Gue bisa pesen ojol, serius," tolakku.

Ia membalas tatapanku dengan kerutan bingung. Tentu, karena biasanya aku akan menerima ajakannya. "Gapapa, La. Gue juga mau jalan-jalan bentar."

Oh, sebentar lagi kami akan mencapai pintu gerbang. Netraku tertuju pada mobil milik Revan yang terparkir di seberang jalan sana. Tiba-tiba aku menghentikan langkahku begitu pun dengan Satya.

"Kenapa berhenti?" tanyanya.

Aku menatapnya dengan sedikit kegugupan. Haduh. Lelaki ini sungguh keras kepala.

"Lo kalo mau jalan-jalan, sendiri aja. Ga perlu ngajak gue," tolakku.

Satya menggelengkan kepalanya. "Bayar ojol bisa buat beli semangkok bakso, loh." Bener juga, sih. Lidahku kelu, bingung harus membalas ucapannya seperti apa.

"Ah makan bakso Mamang di depan, yuk! Gue traktir!" Satya ... tak bisakah ia mengerti dengan tolakanku. Tak kusangka ia langsung menarik lengan kiriku untuk mengikuti langkahnya. Kenapa ia tak bertanya respon dariku soal makan bakso itu?

"SATYA!" teriak seroang gadis yang langsung menghentikan langkah kami berdua. Satya pun melepaskan tarikannya dariku tatkala Adel datang menghampiri kami. Terima kasih, Adel.

Gadis itu langsung menarik paksa Satya untuk menjauh dariku. "Satya ada perlu sama gue. Lo pulang dulu sana gapapa. Dah Sila!" Tentu saja, Satya yang terlihat kebingungan tak terima dengan perlakuan tiba-tiba dari Adel.

"Apaan, sih, Del? Lepasin gue!" Percuma, pegangan Adel begitu kuat. Tak kusangka.

"Gue mau makan bakso sama Sila. Lo kalo mau ikut juga gapapa. Tapi lepasin gue!" seru Satya.

Adel tak peduli dengan jeritan dari Satya karena gadis itu langsung menarik tubuh Satya secara paksa menuju parkiran. Aku terdiam sejenak. Sudahlah, aku harus bergegas menghampiri Revan.

Aku merasa lega karena Revan tak keluar dari mobilnya. Ia hanya mengucapkan permintaan maaf karena menyadari jika dirinya keras kepala. Sudahlah.

"Laki-laki tadi apa pacarmu?" tanyanya setelah mobilnya melaju.

"Kenapa?" tanyaku balik tanpa menatapnya.

"Kata abang kamu kalau kamu belum pernah pacaran." Ember banget, sih tu orang. Menyebalkan.

"Bisa aja backstreet."

"Saya mau ngajak kamu makan sekalian ada yang mau saya bicarakan dengan kamu." Ujung mataku menatapnya balik. Makan? Kebetulan aku sedang lapar. Apa dia mendengar gemuruh perutku?

Lalu aku menganggukan kepala tanda setuju. "Boleh," balasku seraya mengalihkan pandangan darinya.

"Makasih."

Membosankan sekali berada satu mobil dengannya yang hanya berisikan suara musik yang diputar olehnya. Aku senang karena dengan cepat mobil miliknya sampai di sebuah restoran.

Kami berdua mulai turun dari mobil. Kedua mataku terpaku pada bangunan di depanku yang ternyata pernah aku kunjungi. Kenapa Revan membawaku ke restoran ini?

Lalu Revan membawaku ke bangku yang berada di rooftop. Kalian tahu, rasa akan memori itu perlahan membebaniku. Oke, aku harus bisa melewati sore ini. Hanya sebentar. Makan, bicara lalu pulang. Simpel.

Setelah makanan datang, aku langsung melahapnya. Ternyata Revan mengetahui jika aku sedang lapar. Dia baru saja mengejekku--menurutku.

"Jika kamu masih lapar tambah aja gapapa."

Rautku berubah menjadi masam tapi tak membuat selera makanku turun. Terserah.

"Ga, makasih. Gue ga selapar itu," balasku dan direspon tawa olehnya. Aku pikir atmosfer di antar kami mulai membaik tak seburuk seperti yang di mobil tadi.

Kami makan dalam kesunyian dan aku yang terlebih dahulu menyelesaikan pesananku. "Maaf," ucapku yang tak sengaja bersendawa. Ia hanya merespon dengan senyuman kecil memaklumiku.

"Jadi, apa yang mau lo bicarakan sama gue?" tanyaku langsung. Ia yang baru selesai makan dan minum, langsung berdeham pelan lalu menyampaikan tujuannya.

"Saya pernah bilang ke kamu kalo saya serius untuk memperjuangkan kamu. Saya pikir kamu ga punya pacar jadi membuka peluang besar buat saya. Jadi, tolong jawab jujur. Apa kamu sudah punya pacar?" tanyanya.

"Kalo doi, apa akan memudarkan tekad lo?" Ia menggelengkan kepala. Hah?!

"Karena kalo pacar itu bagi saya sudah membuat ikatan. Kalo doi tidak, tak jelas." Begitukah? Sepertinya aku harus memantapkan keinginanku.

"Apa lo pernah jatuh cinta sebelumnya?" Dia menggelengkan kepalanya lagi. Bola mataku terbuka lebar. Sangat tertutup sekali dia. Makanya sampai mau untuk dijodohkan.

"Saat itu saya fokus dengan mimpi saya sebagai pilot. Karena mimpi itu sudah terwujud, saya memiliki mimpi lagi untuk mendapatkan kamu sebagai pendamping hidup saya," jawabnya. Ternyata aku cinta pertama baginya. Kami terdiam sejenak dan saling membuang muka.

"Laki-laki tadi bukan pacar gue," jawabku akhirnya. Perlahan aku menatapnya balik.

"Lo pasti paham perasaan gue soal perjodohan ini. Ga siap. Bisakah lo buktiin perjuangan lo itu?" Aku telah memutuskan untuk melupakannya dan inilah waktu bagiku.

Senyuman lebar terpatri di wajahnya. "Saya akan membuktikannya," jawabnga serius.

KEMBANG APITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang