tentang dermaga

39 2 0
                                    

paramarta halaman pertama

PENYAP sudah di genosida seisi kelas yang tadinya mencak-mencak tak karuan sebab Arkan dan Damian sudah ribut pasal drama untuk class meeting padahal ujian akhir semester saja belum dimulai, mencomot tongkat pramuka di belakang kelas, tak peduli lah Pak Halimㅡguru fisika sekaligus waka kesiswaan memasuki kelas yang lantas 6 detik kemudian keluar lagi tanpa suara berganti Pak Mahmudㅡsang wali kelas pula guru olahraga paling bengis. Namun entah mengapa, ditunda pula eksekusinya terhadap 2 juvenil nakal yang kini duduk diam bersempit-sempit di kursi bangku terdekat sehabis pertikaian.

"Arkan, Damian, sampean pancen lungguh nang kono ta?" (kalian memang duduk disitu kah?) tanya Pak Mahmud dengan logat Jawa-Malang nya yang kental, "hehe, mboten pak," (tidak pak) si Damian yang cengenges-cengenges namun wakil ketua osis itu menjawab sopan lantas berdua dengan Arkan beringsut kembali ke tempat duduk semula. Selepas itu barulah keluar akhirnya nasihat-nasihat dengan satu-dua kalimat ancaman sebab tak menghormati guru yang sedang bertugas. hari masih terhitung pagi, namun kelas XI MIPA 2 sudah melewatkan satu sesi kelas tambahan pada hari terakhir sebelum ujian akhir di mulai.

"kesempatanmu sinau garek engko sore rek, njaluk o sepuro nang Pak Halim, cek sesok di kei berkah pas ujian," (kesempatanmu belajar tinggal nanti sore, minta maaflah ke Pak Halim supaya diberi berkah saat ujian) maka begitulah akhir dari wejangan pagi Pak Mahmud, lantas kemudian ditunjuklah dengan jari telunjuk beliau bangku kosong tak lazim yang berada di sebelah jendela.

"Dadi rek.. opoo kok dino iki onok bangku anyar, iku guduk bangku gawe Arkan karo Damian yo.." (jadi, kenapa hari ini ada tempat duduk baru, itu bukan tempat duduk untuk Arkan dan Damian ya..)

kelakar Pak Mahmud di sela kalimat menyebabkan tawa separuh formalitas pada seisi kelas.

"...tapi, awak e kedatangan konco anyar," (tapi, kita kedatangan teman baru) raut Pak Mahmud yang semula masih di gelayuti beberapa kerut di alis kini perlahan diganti segaris kurva pula kemudian menyila masuk seorang teruna berbahu lebar dengan sepasang tungkai tertatih di bantu dengan sebuah kruk di lengan kiri,

lengang.

Seisi kelas sejemang bungkam kala meraih eksistensi seorang pemuda tak sempurna berdiri tak seimbang di depan kelas dengan senyuman secerah sirius pada canis major, mengumpulkan kerut-kerut di sepasang ujung netra sampai menyipit kedua mata mengunggah senyum.

"Hai, aku Paramarta, salam kenal,"

lagi, lengang dibuat seisi kelas sampai Iraan sang ketua kelas yang peka menepuk tangan pula menyorai, membuat cair si adveksi canggung berkuriositas tinggi menghasil seisi kelas yang turut bertepuk tangan.

"Onok sing pingin di takokno a rek?" (ada yang mau ditanyakan?) Pak Mahmud mengedar netra sembari mengangkat kedua alis menunggu respon menyisakan sang imbesil-imbesil kelas yang sebenarnya tak begitu peduli selain tentang kaki sebelah sang murid baru yang nampak malfungsi, lagi-lagi Iraan mengangkat suara kikuk.

"aㅡanu, kamu..." nampak berpikir, Iraan sendiri merutuki mengapa ia mengangkat tangannya. "...mau jadi anak kelas ini?" berakhir dengan senyum diangkat separuh kini kikuk dengan Pak Mahmud menyahut tak enak. "opose ran ran pertanyaanmu lo, koyok arek TK kasmaran ae," (apa sih ran ran, pertanyaanmu seperti anak TK sedang jatuh cinta saja)

pula kali ini disambut dengan tawa seisi kelas murni sebab kelakar lucu yang bukan sekedar pasal murid spesial pakai telur mata sapi, pun lelaki yang baru beberapa detik menjadi bagian dari kelas kami itu turut tertawa, seolah telah membaur dengan seisi kelas.

"Onok pertanyaan maneh a rek?" (ada pertanyaan lagi kah?) Pak Mahmud kembali berinterogatif usai agenda gelak tawa selesai, lengangnya penjuru kelas mengisyaratkan afirmasi, namun rupanya tiba-tiba tangan kananku mengangkat ke udara.

"Ya, Pragia?"

sementara aku yang mendadak kikuk, sepersekian detik netra dari sang pemilik bahu lebar bersirobok dengan sepasang hazel milikku, sedang entah mengapa torsoku sejemang membeku sampai Pak Mahmud memanggil kembali namaku, aku tergugah.

"Namamu, hanya Paramarta?"

dengan langit-langit kelas yang tinggi mulai menyeruak lengang, lelaki di depan sanaㅡyang ku ajui pertanyaan tak kunjung membuka mulutnya, saat tiba-tiba lipatan labium bibirnya melebar hingga memperlihatkan deret semerdanta giginya yang beraturan, pula untuk kedua kalinya bersitatap.

"Ya, hanya Paramarta."

Hari itu, pada sabtu yang tak lebih lindap dari Malang biasanya, menyila aku laki-laki tak sempurna itu memijak masuk pada dermaga, menggapai jangkar perahuku, tanpa aku tahu bahwa sejak awal avontur kami tidak pernah siap untuk berseteru, ialah denganmu, atau ribuan rahasia yang kamu sembunyikan pada tiap hujan kita bertemu.

[]

sila bersua di halaman selanjutnya.

paramarta (under revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang