paramarta halaman ketiga
ITU adalah sore setelah kami kelimpungan mencari dua cecenguk menjengkelkan yang hilang sepuluh menit sebelum kami satu kelas hendak memasuki ruang lab fisika untuk minta maaf, pun akhirnya ditemukannyalah mereka di gazebo pojok sedang mengunyah gorengan Pak Imron lantas ditarik kerahnya oleh Javier dan Iraan cepat-cepat menyusul ke ruang lab.
Oh, aku bahkan belum menceritakan Javier lebih jauh, ia adalah teruna yang pindah dari Bandung setahun lalu, menggegerkan barisan upacara MPLS karena keterlambatannya di hari pertama juga (katanya) karena ketampanannya yang lumayan ku akui, resmi diangkat menjadi ketua ekskul dan kapten tim basket di upacara tahun ajaran baru semester lalu, aku masih ingat bagaimana tindak-tanduk lelaki itu yang semakin angkuh dan sok cool karena barisan fansnya yang selalu mengatre untuk memberinya roti isi selepas latihan basket.
Ayah kami merupakan teman masa kecil, tak terlalu dekat, namun semenjak keluarganya pindah ke Malang kami jadi sering makan malam bersama di apartemen lantai paling atasnya, kendatipun, kami tak datang dari strata sosial yang sama, Ayah Javier merupakan pendiri dan pemilik DTN Group, perusahaan pelayaran raksasa, Harun Dittohalan, dengan Javier sebagai pewaris tunggalnya, kamu bisa bayangkan sendiri berapa banyak fansnya yang berteriak seperti monyet yang diambil pisangnya saat lelaki itu memasukkan bola ke ring di pertandingan DBL dua bulan lalu. Sedangkan aku, Ayahku seorang pegawai swasta di perusahaan logistik, Mamaku seorang dosen, dan rumahku tak cukup besar untuk mengadakan pesta dansa.
Terlepas dari kelikat angkuhnya, Javier merupakan teman yang baik dengan puluhan kamus kalimat kasar khas Bandungnya, hampir dua tahun ia ku suapi dengan bahasa jawa saat mengajarinya kimia dan matematika wajib, kini kamu sudah bisa melihatnya sesekali bersumpah serapah dengan kalimat jancok meskipun pelafalannnya aneh.
"Pragia?"
kedua bahuku spontan terkedut.
"Eh bener Pragia kan?"
suara dari balik torsoku membuatku yang tengah menunggu angkutan umum menoleh, "Eh kamu," aku yang sejujurnya masih terkadang bingung bagaimana harus memanggil empat suku kata namanya yang panjang itu memilih membuat segaris senyum.
"Kamu pulang naik angkot juga?" ia bertanya sembari membenarkan posisi kruk di lengan kirinya, "Heem," aku mengangguk samar membentuk senyum segaris, pun mendapati angkutan berwarna biru dari ujung perempatan, bersamaan kami julurkan hasta, menjadikan dua pasang roda kendaraan berwarna biru itu terhenti.
Sebenarnya sudah cukup lama aku tidak naik angkutan umum, sejak kelas 10 Javier tidak pernah absen membersamaiku pulang sekolah meskipun aku sampai-sampai harus mengadu pada Om Harun—Ayah Javier bahwa aku baik-baik saja, herannya Ayahku yang cukup ketat paham agamanya itu juga tidak menunjukkan banyak penolakan, yang Ayahku lakukan tiap Javier mendarat di teras rumah hanya menawarinya teh hangat yang pastinya akan ditolak ataupun menasihatinya dengan satu-dua wejangan anak muda tentang betapa singkatnya hidup dan pentingnya mengumpulkan pahala.
Jadi, selain saat kami bertengkar seperti ini atau Javier merajuk karena aku tidak mau menuruti keinginannya, aku dan Javier selalu berangkat dan pulang bersama dengan motor Aeroxnya—Roxellia.
Sore itu angkot yang kami naiki tak terlalu penuh, entah karena kini transportasi umum telah dikuasai ojek online, kami duduk berhadapan menguar kikuk, pun ainku tak lama tertuju pada lebam di sudut bibirnya sebab Javier tadi siang. Iraan dan Zayyan yang membawanya ke UKS, beruntung tak ada luka yang serius akibat pukulan juvenil bebal itu selain sudut bibirnya yang biru.
KAMU SEDANG MEMBACA
paramarta (under revision)
Teen Fictionlalu dengan tiap patah satu tungkainya yang menapak, bersualah kami di dermaga berlaut pasang, menaut genggam disela seruak ombak, basuhi jelaga-jelaga memori yang telah usang. pun untuk dirimu, sang tuan hujan. aku berharap kamu tak lagi menyimpan...