1: Jingga Ragunan

121 63 150
                                    

"Nama gue Tara, T A R A, jelas lo semua? Brengsek!"

Cowok itu melangkah kesal dengan menghentakkan kakinya keras ke lantai. Ia benar benar dibuat geram oleh semua orang yang kini mengejeknya. Tepat di gerbang sekolah, sebuah mikrolet berhenti. Kernet disana turun memanggil orang orang dengan jurusan Jalan Raya Cilandak – Ragunan – Jagaraksa. Hari ini mungkin semesta memang membantunya untuk cepat cepat pergi dari sekolah itu. Sebab biasanya sepulang sekolah ia harus menunggu angkot di halte umum dengan bisik bisik kecil teman teman yang menggunjing di belakang dirinya. 

Ia masuk pertama, semua tempat masih kosong. Ia segera memilih tempat duduk dibelakang kursi supir. Sehingga tidak terlalu ribet untuk turun karena tujuannya lumayan dekat. Setelahnya banyak orang ikut masuk, sore ini seperti biasa banyak yang baru selesai kerja dan cepat cepat untuk masuk ke angkutan umum, takut tertinggal atau bisa juga kehabisan tempat. 

Posisi duduknya masih terlihat jelas oleh gerombolan anak anak yang mengejeknya tadi. Tara pura pura tidak tahu keberadaan mereka. Meskipun dari ekor matanya ia masih bisa melihat salah satu dari mereka yang berbadan gendut, Reksa, memasang wajah konyol mengejeknya. Pikirannya semakin panas. Tangannya menahan nahan untuk tak melayang kala itu juga. Ia menggenggam kepalan tangannya kuat kuat. Mendekap tas didepannya.

Kernet itu kini telah naik. Mengetahui akan berangkatnya kala itu. Ia membalas senyum sinis dan juluran lidah membalas gerombolan tadi. 

Gembrot, ujarnya membentuk isyarat bibir tak bersuara.

Reksa melihat jelas ucapan itu. Teman temannya yang ikut mengejek Tara tadi terdiam kemudian tertawa kearah Reksa. Bukan tertawa, lebih tepatnya menertawai Reksa. Ia menekukkan alisnya, hampir menyatu. Ia diam dari gerakan konyol mengejek. Geram dan mengeluarkan sumpahnya yang masih bisa diketahui oleh Tara dari jarak yang lumayan.

Hei Cungkring! Awas saja ya , gue hantam lo besok. Ingat!

Tara melihatnya dari kejauhan, didalam angkot itu ia tersenyum dan memalingkan wajahnya kedepan tak menggubris 'Si Gembul' itu.

***

"Makasih ya Bang Jack" ucapnya memberikan selembar 10.000 kepada kernet yang sudah lama ia kenal sebagai langganan angkotnya.

"Sepuluh rebu dikurangin enam rebu berape Ra?" jawab kernet itu dengan logat betawainya yang khas. 

"Lima ribu."

Bang Jack yang masih sibuk menghitung dengan jarinya mencari selembar 5.000. Kemudian memberikan itu kepada Tara. Baru saja Tara terima, Bang Jack menarik kembali lembaran itu. Laki laki berkumis kriting memutih itu, memasang wajah blo on entah seperti menerka nerka pikirannya.

"Idiihh enak aje lima rebu, empat rebu kali" 

"Nah ntuh tau, uda ah. Duluan" Tara terkekeh menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Lalu pergi meninggalkan Bang Jack di terminal itu.

Rumah Tara lumayan dekat dari terminal angkot. Ia cukup berjalan kaki tiga menit dari sana. Jalanan kearah rumahnya cukup ramai. Banyak pesepeda motor berlalu lalang. Banyak juga gerombolan anak kecil bersepeda dipinggiran jalan. Kadang ada dari mereka tiba tiba mendorong Tara dari belakang. Jail emang. Tara juga sudah bersahabat dengan mereka mereka pesepeda bocil. Sebab ia sering menemuinya ketika ada acara di balai pemukiman. Sudah sohib mah katanya. 

Beberapa dari mereka suka sok sokan pro lepas tangan kalau nyetir. Ada yang berdiri berdiri sambil mengayuh. Ada juga yang sok sokan nyetir sambil belok belok.

Nggak ada takutnya emang main dipinggir jalan raya. Mereka sudah terbiasa. Kalau saja ada yang menanyai cita cita gerombolan itu. Pasti jawabannya BMX Rider. Heran bocil bocil sekarang tuh biasanya pingin jadi dokter, astronot, ini apa coba BMX Rider? Bocil rider kali ah, ntuh baru bener. 

Pagar putih sependek sikunya hampir terlihat dari arahnya. Tara berlari dan membuka kode kunci pagar itu. Panas diluar ia ingin segera meneguk air dan merebahkan dirinya.

"Assalamualaikum" ucap Tara, menemui ibunya duduk di depan teras.

"Waalaikumsalam, sudah pulang, nggak macet ya Ra?" tanya ibunya sembari menyeduh teh.

"Iya bu. Ibu buatin Tara teh juga?" jawab Tara dari dalam rumahnya.

"Iyah,"

Itu memang kebiasaan ibunya dari dulu. Mereka berdua sama sama penikmat teh boh. Ibu selalu membuat dua gelas teh di sore hari. Sehingga tepat sore itu, mereka bisa sama sama menikmati teh itu di teras. Menikmati sambil menunggu waktu maghrib tiba. Memang teh itu biasa ada di Malaysia. Bukan, bukan keluarga Tara yang mampu untuk pulang pergi membeli teh boh dari malaysia langsung. Mereka keluarga yang benar benar berkecukupan dan ia mendapatkan stok teh boh itu dari ayahnya yang menjadi tenaga kerja di Malaysia. Sejak usia 4 tahun, Tara hanya tinggal dirumah itu bersama ibu dan adiknya yang kala itu masih umur setahun. 

Kalau biasa orang orang menikmati teh dipagi hari, maka ia sangat berbeda 180 derajat kalau begitu. Sore hari menikmati teh hangat rasanya sangat menenangkan. Beban yang ia pikul seharian ini rasanya luruh dan kembali bersahabat dengan pikirannya. Kalau biasa orang orang menikmati kopi untuk sore hari, maka ia juga berbeda. Ibu dan Tara sama sama bukan penikmat kopi. Kopi baunya sangat menyengat bukan menenangkan. 

"Abang mana bu?" Tara menghampiri ibunya sambil mengadung teh.

"Paskib dia mah" jawab ibunya menaruh koran dari genggamnya.

"Hari ini ada berita baru ya bu? perasaaan ya gini gini aja" ibu membalasnya terkekeh, Tara masih fokus menyeduh teh didepannya.

"Gini gini aja, tapi ya kalau nggak dibaca buat apa koran dijual? kalo udah di cetak sayang Ra nggak dibaca" ujar ibunya tersenyum memerhatikan wajah anak sulung disampingnya itu.

"Yah kalo gitu mah ngga perlu langganan lagi bu" relaistis saja, Tara tidak suka membuang buang uang untuk hal yang sebenarnya kurang dibutuhkan. "Ibu jangan langganan karena kasian, yang langganan koran sebenernya banyak bu.." lanjutnya.

"Iya, tau ibu mah, kalo orang biasanya punya uang banyakk banget, terus bisa sedekah sebanyak banyaknya. Ibu mah bisa apa atuh Ra? anggep aja langganan koran tuh kita ngasih uang buat mereka tapi kita juga dapet hadiahnya langsung nih, koran ya kan?" tangkas ibunya. Entah, itu sebuah alasan yang logis atau tidak. Tara mencoba mencerna alasan itu. 

Langit Ragunan hampir mengeluarkan seluruh jingganya. Mungkin dulu ayah dan ibu memang beruntung mendapat rumah di daerah ini. Meski ayah Tara ada di Malaysia, rasanya ia masih bisa melihat senyum dan hangat seorang ayah dari melihat matahari yang lama lama mulai hilang dari permukaan bersama ibunya. Sebentar namun benar benar berkesan. Sama seperti ayahnya ketika pulang ke Indonesia. Sebentar namun benar benar terasa utuh dan berkesan.

Ia baru menyadari kalau isi gelasnya sudah hampir habis. Tara meneguknya dengan satu tegukan. Kemudia menaruh gelas itu di meja kecil sebelahnya.

"Bu." panggilnya.

"Hm?" 

"Dulu yang ibu pikirkan waktu pertama kali liat Tara lahir gimana?"

Sekian dulu sobat. 

(16.06.21 - 9:04 PM)


SENJA DI UTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang