5: Kekecewaan dan Amarah Sinabang

41 17 12
                                    

Kemarin ada yg komen minta role player biar lebih jelas bayanginnya. Di bab 4 jg ada sih, ini aku kasih liat lagi ya cowoknya.

Nama: Jakarta Utara. Maunya Tara aja. Jangan Jakarta.

 Jangan Jakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Helm hitam itu terpasang sempurna di kepala Tara. Pengaitnya sengaja tidak disatukan karena si empunya cukup sembrono dan nggak peduli sama barang barangnya, termasuk alat keamanan berkendara. Kaca helmnya sudah tidak jernih seperti baru, kaca itu menutupi wajahnya dari matahari yang sangat menyengat di siang bolong. Ada beberapa lecet di sisi-sisi kaca, paling sering akibat jatuh diparkiran atau kesenggol. Tapi karena sudah nyaman, 3 tahun Tara masih bertahan dengan helm itu. Kurang tau ya bagaimana bau apak dalamnya. Mungkin kembali wangi kalau pemiliknya baru keramas. Jadi bukan karena rajin di cuci.

Tara menaikkan gas motor yang dibawanya. Pandangannya hanya fokus kedepan. Siang ini, macet sudah jadi rahasia umum di Jakarta. Sempat ia keluar dari kemacetan itu saat sampai di rumah Reksa. Lalu, kini tentu akan terjebak lagi.

Kadang kalau sudah benar-benar bosan, Tara pernah berfikir untuk punya motor terbang saja, atau minimal ada baling balingnya doraemon. Imajinasinya itu terkesan sangat halu dan memang tidak akan terwujud, tapi bisa mengisi pikirannya yang kosong dan berakhir senyum konyol.

Sebenarnya bisa saja ia meminta izin Reksa untuk berteduh di tempatnya sebentar. Merileksasikan badannya dari macet yang membakar ini. Namun, salah satu dari nalurinya menolak untuk sekadar singgah. Nggak enak juga kalau semisal ada keluarganya yang lihat terus malah ngajak kenalan. Bisa jadi juga terjadi basa basi yang panjang dengan mereka. Ah, sepertinya prasangka 'kenalan' itupun juga sedikit kepedean. Mungkin lebih tepatnya akan digunjingkan keluarganya dari dalam.

Reksa tadi juga nggak menyuguhi Tara minum, segelas saja tidak ada. Cewek itu hanya berterimakasih singkat dengan bahasa inggris. Lalu masuk kedalam. Nggak ada rasa empati. Padahal nggak tahu saja dia, kalau ini kali pertamanya Tara sebagai remaja SMA membonceng cewek. Karena latarnya sendiri, Tara belum pernah punya pacar. Beberapa cewek memang banyak yang naksir, tapi baru berusaha pendekatan ujung ujungnya Tara sendiri lebih nyaman kalau sebatas teman dekat.

Kejadian tadi bahkan hanya sekelebat empati dari pikiran Tara untuk menawarkan. Entah dorongan itu ada darimana.

Tara mengusap hidungnya yang sedikit gatal. Pikirannya kembali fokus kedepan setelah sekilas terbesit tentang Reksa dan rasa empati. Ujung bibirnya itu spontan tertarik sedikit.

"Masa pertamanya sama Reksa," ia menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Agak heran dengan dirinya yang tadi dengan senang hati menawarkan. Antara masalah dan tidak masalah untuk Tara, tapi lagi-lagi nalurinya terlalu sulit untuk menerima kenyataan.

"Besok-besok kursi belakang harus kita mahalin lagi Yun. Limited offer." ujarnya menepuk-nepuk setir motor matic yang ia sebut Yuyun itu.

Setir itu membelok kearah jalan besar. Dari arahnya belum ada tanda tanda macet yang padat merayap. Apalagi kalau semakin sore, jalur itu akan terpenuhi kendaraan menuju arah pulang. Tara mengerem motornya didepan zebra cross. Lampu merah yang ada di depannya itu memperlihatkan hitungan 100 detik. Cowok itu meregangkan tangan dan kakinya.

SENJA DI UTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang