"Waktu itu, pasca lahir normal. Ibu dekap kamu di dada, kulitmu lembut sekali Ra. Halus dan hangat. Karena pas lahir asi ibu nggak keluar keluar jadi kamu nangis terus. Ayah disamping ibu malah ikut nangis sambil ngelus rambutmu yang pas itu lebat. Terharu mungkin ya? Setau ibu sih itu pertama kalinya ayah terharu sampe segitunya,"
Tara terkekeh mendengarnya lalu menopang kepala di tangannya yang bertumpu pada paha. Cahaya sore itu, menerangi wajah ibu. Tara memandangnya lekat mendengar cerita ceritanya.
"Karena semenitan itu kamu nangis terus, ibu usap usap rambut kamu sambil nyanyi. Lagu melayu Ra.. yang dulu juga sering nenek nyanyikan buat ibu. Buah hatiku.. junjungan jiwa.. Buah hatiku.. Junjungan jiwa.. Tidurlah tidur ya anak ibu dodoikan ya sayang.. Tidurlah tidur ya anak ibu dodoikan ya sayang. Baru setelah itu kamu tidur" ibu menarik nafasnya sejenak setelah menyanyikan sebait lagu itu.
"Nggak tau karena mikir apa ya Ra, karena pas itu kamu belum punya nama. Ibu kepikiran buat kasih nama kamu Jakarta Utara. Waktu kamu belum lahir ibu suka.. banget jalan jalan keliling Jakarta sama ayah. Kalau Utara ibu ambil karena itu dianggap sebagai arah utama yang akan menjelaskan arah lainnya Ra.. Eh taunya pas sudah sekolah, pasti pulang pulang sering marah marah. bilang gini ke ibu,
Bu aku mau ganti nama, maunya dipanggil Tara bukan Jakarta. Aku ngga suka diejek temen. Tara kan orang bukan kota, Jakartakan jelek bu sering macet, sering banjir, kotor. Sekarang pokoknya namaku Tara, Utara. Ha-ha-ha gitu Ra katanya" lanjut ibu sambil tertawa lepas menirukan gaya marah Tara sewaktu kecil. Tara mendesah melihat gaya ibunya tadi. Hal yang merupakan fakta memalukan baginya. Ia malu dengan nama 'menarik' itu. Dulu bahkan sebelum berangkat sekolah ia selalu merengek dan guling guling dilantai, karena ingin ganti nama sebelum berangkat sekolah.
Perkara nama bukan hal yang sepele atau benar benar penting. Karena bukan sesuatu kasat mata yang bisa dibaca kalau tidak orang itu sendiri yang melafalkan. Ibaratnya kalau nama itu bisa langsung diketahui orang tanpa harus ditanya, seperti pakaian atau visual. Mereka langsung bisa menilai itu aneh atau tidak. Sejauh ini jujur saja, semua orang yang tau nama lengkap Tara ya teman teman sekolahnya. Teman teman yang selalu mengejeknya.
Juga Bang Jack kalau tidak lupa.
"Langitnya bagus ya bu," ujar Tara mengalihkan pembicaraan. Ibu membalas tersenyum tipis.
"Hayu ah masuk, jangan diluar terus. Maneh mau denger asal usul Abang? Cepet masuk. Maghrib." Ibu bangkit dari tempat duduknya, membawa gelas yang sudah kosong.
"Enya, sakedap Tara beresin koran ibu" Tara menyandarkan badannya di kursi teras. Jingganya masih belum habis. Burung burung di atas kabel kabel tiang listrik itu masih belum berterbangan. Ia menyeduh tehnya habis.
Ngitt.. Cklek..
Suara nyaring pagar menarik perhatian Tara. Pagar putih itu kembali terkunci. Anak bertubuh proporsional itu datang mendekat kearahnya. Kemudian duduk di lantai teras melepas sepatu converse lusuh tidak pernah dicuci atau dijemur. Ia melihat perilaku aneh adiknya itu yang melepas tali sepatu kasar dengan wajah merengut. Bukan salam atau salim tangan, Abang malah berlalu melewatinya.
"Bang lo kenapa Bang?" pandangan Tara mengikuti Abang yang berlalu masuk itu. Ia bergegas membawa gelas lalu menutup pintu. "Bang, maghrib maghrib lo bang, kesambet apa lo dijalan" lanjutnya duduk disebelah Abang. Mendengar percakapan Tara, Ibu yang berada di dapur keluar. Melihat wajah Abang diruang tv yang sudah berabak.
"Lancarkan Bang, sekolahnya Nak?" tanya ibu membelai rambut Abang. Anak itu belum juga menjawab. Ia diam dan tiba tiba saja memeluk Tara.
"Lho Bang, kena-"
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJA DI UTARA
Teen FictionPemilik nama unik itu menjadi sasaran hinaan Geng Reksa, siswi pentolan di SMA Cakra Lingga. Entah sebelumnya suatu hal terjadi diantara mereka. Jakarta Utara, cowok yang digemari banyak siswi dikenal cool dan ramah sering dibuat Reksa naik pitam. ...