4: Cukup Tau

90 50 77
                                    

"Nanti kamu bisa taruh ini di depan rumahnya aja. Hati hati ya Nak, Kalau sudah sampai jangan lupa chat ibu.. Mari.. Saya mau ke ruang rapat dulu."

Reksa terpaku ia bingung harus menjawab bagaimana. Tanggannya mengusap pelipis lalu tengkuknya yang tidak gatal. Ia menyibakkan ikal rambutnya ke satu sisi dan keluar dari ruangan yang menyisakan dirinya.

Pandangannya kosong sambil berjalan di lorong koridor. Ini beneran nggak si? Masa Reksa nganterin soal buat Jakarta. Kesannya kan kayak bantuin Jakarta gitu, gimana nggak ilfeel dan jijik banget. Ntar kalo Jakarta mengira dia tahu alamatnya karena nguntit dia gimana? Nggak banget buat image Reksa. Ia terlalu gengsi untuk mendatangi Tara ke rumahnya. Padahal kan ini bukan keperluannya tetapi keperluan Bu Citra. Hanya saja yang salah itu karena mengapa harus dia? Mengapa yang terlibat harus dia? Nggak ada hukuman lain yang mendesak banget ya buat dijadikan alasan?

Sebagai orang yang selama ini jauh dari kata teman, lebih mendekati musuh bebuyutan. Reksa masih ingin menjaga tinggi martabatnya. Sampai di tangga lantai dua, ia menghembuskan nafasnya kasar dan memasukkan kertas alamat itu ke saku roknya.

"Tenang Reksa.. Inikan demi Bu Citra," pekiknya menyemangati diri sendiri.

Dikelas ternyata nggak ada orang. Ia baru saja teringat kalau teman temannya masih ada di lapangan. Ia melirik ke jam tangannya, waktu jam pertama hampir habis. Mungkin sebentar lagi mereka akan kembali. Sebelum teman teman dan gang nya datang ia segera mengambil ransel dan buku buku di lokernya. Ia berusaha untuk menghindari datangnya pertanyaan atau apalah itu.

Didepan pos satpam ia menunjukkan surat keterangan keluar. Bapak bapak tinggi tanpa kumis itu menerimanya.

"Okeh, hati hati ya mbak.. mau naik apa?" tanya satpam itu sembari menandatangani surat keterangan di mejanya.

"Angkot."

Reksa mengambil surat yang Pak Tejo serahkan. Ia tersenyum tipis sebagai ucapan terima kasih. Pak Tejo, satpam itu, membuka gembok gerbang. Reksa berjalan ke arah halte umum di dekat sekolah. Siang ini jalanan cukup ramai, tapi belum satupun ada angkot yang lewat. Reksa mengedarkan pandangannya kearah kendaraan yang akan melaju di depan halte itu. Ya, belum ada. Hanya saja, ada becak disana. 

Nggak mungkin juga kan, ia naik becak. Ongkosnya akan jauh lebih mahal. Reksa duduk selepas melihat arah kanan jalanan dari tempatnya. Ia mengeluarkan ponsel disaku bajunya. Dugaannya tadi terbukti benar. Sohib kelas termasuk Kanya menanyai keberadaan dirinya saat ini. Room chat di ponselnya hampir penuh dengan notifikasi. Reksa sengaja tak membukanya. Takut ketahuan kalau online tapi nggak jawab kan malah berabe. Ia kembali melihat kearah jalanan. Mencari angkot.

Tepat dari arah kanan, angkot biru berhenti didepan lampu lalu lintas yang masih berwarna merah. Reksa melambaikan tangannya dari jauh. Biar saja orang orang melihatnya aneh. Mereka nggak tau aja, nunggu di halte siang siang kelamaan itu bisa bikin kulitnya gosong, kering, memerah. Karena ketahuilah sunscreen itu sekarang semakin mahal. Dia butuh merk terkenal, La Mer.

Sopir angkot itu nampaknya tau kode jauh dari Reksa. Ia menaikkan jempolnya dari luar jendela. Kemudian melaju berhenti didepan halte itu. 

"Kemana neng?"

"Ragunan." Jawab Reksa membuka pintu depan angkot itu. Ia duduk disebelah sopir. 

Cewek itu mendekap tas didepannya. Pandangannya beralih keluar jendela. Selama ini jujur saja dia belum pernah ke daerah Ragunan. Meskipun ia termasuk anak anak sosialita yang suka jalan jalan ia belum pernah datang ke daerah itu, kecuali ke kebun binatangnya. Itupun sewaktu dia masih SMP.

Reksa mengeluarkan kertas alamat dari roknya. "Pak, bapak tau nggak daerah ini dimana?" tanyanya.

Sopir itu melihat sekilas alamat di kertas itu sembari melihat ke depan. Ia memegang dagunya yang berjenggot kriting, mengangguk ke arah Reksa. "Ini saya tahu," 

SENJA DI UTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang