Rumah Kakek

45 11 2
                                    

Rumah Kakek adalah rumah bendera merah-kuning-hijau-biru. Di dalamnya aku bertandang ke lumbung kerbau, menemui beringin tanpa akar, menangis di balai kotak, tertidur di atas kompas tiga mata angin sembari mengigau kisah tentang Nenek yang berputih tulang.

Kemudian sarjana-sarjana akan berkunjung tiap Sabtu malam. Lalu pagi-pagi buta di hari Minggu tergopoh mengemis di muka komplek orang kaya. Dan aku terlunta-lunta di dalam sambil menggamit tangan petani bayam yang sudah mengabu tulang pipinya.

Pintu Rumah Kakek terbuat dari pualam tanpa nama yang tak sudi merantau ke pedalaman. Tiap-tiap hari ia berbicara bahasa Bumi yang tak pernah aku, dia, beta, mengerti. Kemudian, untuk tiap-tiap malam di bulan muda, ia akan bertengkar bersama dahan mahoni yang tumbuh dengan malu.

Bilamana terpancang semua bendera pada pukul empat, akan terbanglah dukun-dukun dalam Rumah Kakek ke luar angkasa. Dan mereka akan menunggangi aku, yang perlahan mati membusuk, di atas tanah politik.

Rumah Kakek dan Aku yang Mati di Tanah PolitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang