Ada tupai di sepatumu, dan ia menggigiti rambut-rambut jempolmu dengan beringas. Ia ibu dari lima puluh bayi tak bersifat. Hiburannya doa-doa akhir pekan dan ia menyukai permainan rugby yang sungkan ditontoni.
Seterusnya, ia naik ke betismu yang gemuk. Tempat favoritnya digerus debu-debu rumah kolegamu. Tiap malam, pengerat-pengerat itu akan menanggalkan gigi-giginya untuk dibilas dan diwarnai oleh krayon kepunyaan bayi ujung lorong.
Tak berapa lama, ia naik ke pahamu. Makanan kebanggaannya biji pinus yang lekas disemai tak lama setelah paceklik di Eropa. Kaudapati hidungnya memerah karena panas diliputi keringatmu. Dan ia sebentar-sebentar tersungkur bagai babi peternakan gunung.
Terakhir, ia naik ke dekat lingkar pinggangmu. Di sana ia menetap hingga beranak-pinak dengan halusinasi, membangun rumah yang nyaman untuk ditinggali di musim gugur, dan memanggil peradaban. Kemudian, untuk tiap kali kau membuka resleting, giginya akan memanjang satu kilometer.
Kini, ada tupai di celanamu, dan apabila ada gadis yang mendatangimu di belakang kelab, ia akan naik ke kepalamu dan membuat kolam renang di ubun-ubun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Kakek dan Aku yang Mati di Tanah Politik
DiversosRumah Kakek adalah rumah bendera merah-kuning-hijau-biru. Di dalamnya aku bertandang ke lumbung kerbau, menemui beringin tanpa akar, menangis di balai kotak, tertidur di atas kompas tiga mata angin. Kemudian sarjana-sarjana akan berkunjung tiap Sabt...