Prolog

1.5K 86 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


-----

Arvin Putra Refardo, seorang pembisnis handal dan merupakan salah satu dari keturunan keluarga Refardo, keluarga paling berpengaruh di Indonesia, tidak ada satupun dari mereka yang tidak sukses. Kini pria yang dibangga-banggakan oleh negera ini berumur dua puluh lima tahun dan sekarang berstatus sebagai pacarku.

Aku Kirana Mayasari merupakan salah satu dari gadis di dunia ini yang mungkin beruntung menjadi pacar seorang miliader terkemuka. Namun, siapa yang bilang jika berhubungan dengan pria yang sudah mapan hidupmu akan dijamin bahagia, nyatanya ini tidak berlaku padaku. Akibat dari perbedaan usia inilah yang membuat Arvin secara terang-terangan mengendalikan hidupku seakan-akan aku sedang dikendalikan oleh remote kontrol tak kasat mata.

"Bagaimana persiapan ujian nasionalnya?"

Sungguh, bahkan ketika kami sedang menikmati makan malam di sebuah kapal pesiar, Arvin masih saja mempertanyakan sesuatu hal yang membuat otakku berkerja ekstra keras agar tidak memaki pria yang terlihat rapi dengan setelan jas hitam menawan. Pria tampan yang mampu meluruhkan hati wanita dan hal itu berlaku padaku, dulu.

Sekarang tingkah Arvin bahkan melebihi ayahku, tiap kali kami kencan arah pembicaraan yang kami bicarakan pasti tidak lepas dengan aktivitas yang kulakukan setiap hari, seperti minggu lalu saat kami pergi ke salah satu taman hiburan. Bukannya bersikap romantis, pria itu malah memarahiku karena beberapa hari yang lalu aku ke pesta seorang teman tanpa persetujuannya.

Aku ini remaja yang baru berusia delapan belas tahun beberapa bulan yang lalu, bagiku sudah wajar bagi gadis seumur itu untuk dapat pergi tanpa ditemani orang lain.

Ketika tidak ada respon dari pertanyaan sebelumnya Arvin memilih mempertanyakan hal lain, "Kamu tidak mendekati pria itu lagi kan?"

Dahiku mengkerut, pria yang dimaksud Arvin sepertinya Antonio, salah satu pria di kelasku yang pernah menyatakan cinta padaku di lapangan basket dan disaksikan oleh banyak siswa dan juga guru. Sepertinya memang tidak salah jika Arvin menanyakan hal tersebut jika Antonio memang berstatus single.

Nyatanya Antonio sudah bahagia bersama kekasih barunya, jadi nihil jika pria yang pernah kutolak dulu berusaha mendekatiku lagi, hal itu pasti menjatuhkan harga diri seorang pria.

Aku menggeleng pelan kemudian meletakkan sendok dan garpu di atas piring yang sebelumnya terisi seporsi steak. Tanganku tergerak menikmati segelas jus jeruk yang belum kusentuh sama sekali.

"Aku tidak ingin milikku disentuh orang lain."

Ya, aku tau. Setiap kali mulutku bungkam atas pertanyaannya ia pasti akan mengatakan hal tersebut.

"Besok aku akan ke Paris."

"Untuk apa?" akhirnya suaraku keluar setelah kesunyian yang sebenarnya kuciptakan sendiri untuk menyadarkan Arvin jika aku tidak ingin melanjutkan pembicaraan sebelumnya.

"Keynard memindahkan pusat perusahaannya ke Indonesia, aku membantu urusan pemindahan."

"Kalau begitu bagus, lagipula jika kalian ingin bertemu kamu tidak lagi perlu ke Paris."

Arvin menghela nafas pelan kemudian menggenggam tanganku yang berada di atas meja erat, "Jangan pernah melakukan hal yang tidak kusuka ketika aku sedang pergi."

Aku mengangguk mantap, ini adalah kesempatanku untuk bisa menikmati hari tanpa sikap posessivenya Arvin.

"Kamu tau apa hukumannya jika nekat?"

Aku mengangguk kembali kemudian otakku berusaha untuk mengenyahkan hukuman yang dimaksud Arvin jika menyepelekan peringatannya. Ayolah, lupakan hal itu sejenak dan nikmati hidup. Lagipula hukumannya tidak terlalu berat, hanya menemani pria itu seharian penuh.

"Hukuman ini tidak biasa untuk gadis sepertimu, Sweet." bisik Arvin menggoda namun itu tidak mempan buatku, malahan kini dalam diam aku sudah merencanakan sesuatu yang akan menyenangkan untuk kulakukan besok.

"Jam berapa penerbangannya? Aku akan mengantarmu ke bandara besok," ucapku dengan semangat, aku menyentuh tangan Arvin yang tengah menggenggam tanganku, "Fokuslah pada pekerjaanmu disana." dan lupakan diriku sesaat, sepertinya lanjutan kalimat yang memenuhi pikiranku tidak bisa kuutarakan.

"Jam lima pagi, kamu sanggup bangun jam segitu?"

Seketika bibirku mengatup rapat, benar juga rekor bangun pagiku tercepat adalah pukul tujuh pagi.

"Akan kuusahakan."

---=---

Sepertinya kalimat yang kuucapkan kemarin harus kutarik kembali, nyatanya mataku masih enggan untuk terbuka. Alam bawah sadarku saja masih tidak ingin meninggalkan mimpi indah, kecuali jika aku bermimpi buruk, mungkin saja aku bisa terbangun sekarang.

"Lima belas menit lagi," gumamku, walaupun pada akhirnya aku melewati batas waktu yang kutetapkan.

"Lima belas menit lagi, aku janji," ucapku setelah melewati lima belas menit sebelumnya, seperti itu seterusnya hingga jam menunjukan pukul tujuh pagi.

Sudah terlambat, pasti Arvin sudah lepas landas ke Paris.

Masa bodoh, aku tidak peduli. Arvin juga tidak bisa memarahiku secara langsung.

Setelah membereskan diri aku melangkah menuju dapur, mengambil segelas susu segar yang disiapkan oleh pelayan dan menikmati satu lembar roti yang baru saja dipanggang. Selepas itu kakiku melangkah menuju ruang keluarga. Sepanjang perjalanan aku berbicara dengan Sania, sahabatku untuk mengatur rencana mendadak yang sudah kurancang hari ini melalui panggilan telepon.

"Ke Southbox lagi? Gue bosan."

"Anomali aja gimana?" tanya Sania memberi usul, saat ini kami sedang membicarakan tempat nongkrong yang pas untuk bertemu nanti, sudah lama aku tidak melepas penat bersama sahabatku yang satu ini semenjak berpacaran dengan Arvin.

"Terserah sih, yang penting tempatnya oke."

"Siangnya gue mau shopping."

"Gue ngikut aja"

"Lo mau ikut partynya Rey?"tanya Sania.

Aku terdiam, meniman-nimang keputusan yang akan kulakukan. Rey memang mengajakku untuk datang ke party yang dibuatnya. Tapi berhubung saat itu Arvin sedang ada di Jakarta maka dengan berat hati aku menolaknya.

Tidak mungkin juga setelah kutolak tiba-tiba aku datang, udah mirip jelangkung aja.

"Oke, sekalian kita cari dress."

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Sania, gadis itu langsung memutuskan sendiri keputusan yang kuambil, selepas itu Sania mematikan sambungannya.

Dasar.

Baiklah, sekarang aku harus bersiap-siap untuk pergi.

Strong BondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang