Chapter 8

440 36 2
                                    

"Jadi kalian udah putus?"

Aku mengangguk lalu setelahnya menggeleng sembari menikmati coklat panas pemberian Sania. Saat ini aku tengah berada di rumahnya untuk menjauh dari Arvin dan menenangkan hatiku yang terluka akibat putus cinta.

Hah, padahal aku yang paling giat untuk mengakhiri hubungan kami sejak dulu. Tetapi mengapa perasaanku malah bertolak belakang, aku malah merasa menderita akibat hancurnya hubungan yang kami bina.

"Gue udah minta putus tapi dia belum respon. Hubungan kami... ngambang."

"Udahlah, gak perlu dipikirin lagi. Sekarang lo istirahat aja, tadi di sekolah lo kelihatan ngantuk banget."

Aku mengikuti perkataan dari Sania mengingat aku sangat mengantuk sekarang, nyatanya aku memang benar-benar butuh istirahat. Karena itulah aku langsung berbaring di tempat tidur yang biasa aku gunakan ketika menginap di rumah Sania dan mulai memejamkan mata.

Sungguh, baru saja aku memasuki alam mimpi, aku dikejutkan dengan suara gedoran pintu.

"Kirana, buka pintunya!"

Suara Arvin menggelegar di luar, membuat Sania dan aku terkejut mendengarnya.

Pria itu, aku tidak menyangka Arvin datang kemari dan membuat keributan di rumah sahabatku sendiri.

"Kamu masih ingat ancamanku? Aku akan melakukannya jika kamu ingin hubungan ini berakhir."

Aku tercekat.

Bagaimana bisa aku melupakannya, merupakan ancaman Arvin yang sungguh akan terjadi jika aku tidak segera mengatasinya.

Dengan cepat aku beranjak dari tempat tidur lalu melangkah menuju pintu dan membukanya. Disana tampak sosok Arvin dengan keadaan sangat berantakan.

"Lu kira ini rumah nenek moyang lo!"

Aku menoleh dan melihat Sania berteriak di depan Arvin. Tentu saja tindakan Sania sangat fatal karena bagaimanapun Arvin adalah pria yang sangat berbahaya.

Bisa saja Arvin melancarkan ancamannya saat ini juga jika aku tidak menghentikan Sania.

"Udah, biar gue yang urus," ucapku kepada Sania.

Sania tampak khawatir melihatku setelah aku berucap seperti tadi. Tetapi aku langsung memasang wajah seolah aku sedang baik-baik saja dan tidak perlu dikhawatirkan.

Semua kulakukan demi sahabatku dan juga keluargaku. Aku tidak ingin Arvin bertindak diluar batas hanya karena keputusanku yang ingin putus darinya.

Sania memundurkan sedikit langkahnya, namun gadis itu tidak sama sekali memudarkan raut wajah amarahnya kepada Arvin.

Sedangkan aku tergerak mengelus kedua lengan Arvin untuk menenangkan pria itu yang sangat kacau sekarang.

"Kita bicara di tempat lain," kataku yang langsung diangguki oleh Arvin.

Lantas aku mengikuti Arvin keluar dari rumah Sania dengan penuh keterpaksaan.

Ah, benar-benar... Aku sepertinya sudah terlalu terjebak hingga tidak dapat bisa lari dari jangkauan Arvin.

----

"Kenapa barangku semua ada disini?"

Aku menatap tidak percaya dengan apa yang aku dapati dalam apartemen Arvin, atau lebih tepatnya di kamar miliknya. Beberapa koper milikku tersusun rapi di sudut ruangan dan juga hiasan yang sebelumnya ada di kamarku kini sudah terhias manis di kamar Arvin.

Aku bergegas masuk ke dalam ruang ganti dan betapa terkejutnya aku saat melihat lemari milikku sudah berada tepat di samping lemari milik Arvin.

"Apa maksudnya ini Ar?" teriakku dengan berani kepadanya.

Dengan santai Arvin menjawab, "Untuk sementara ini kamu tinggal bersamaku."

Hah, aku tidak salah dengar bukan? Atau Arvin yang salah bicara?

"Sampai aku menemukan keberadaan mommy, kamu tinggal bersamaku disini."

Wah, sekarang aku benar-benar merasa seperti simpanannya.

Sialan!

"Aku gak setuju."

"Aku gak butuh persetujuan darimu."

Arvin melangkah ke arahku lalu menaikkan daguku dengan cepat, sekarang aku bisa melihat dengan jelas raut wajah tegasnya.

"Kamu sepenuhnya milikku, tidak ada yang bisa membuatmu pergi dariku, Kirana..."

"Kamu gila ya?"

Walaupun aku tau bahwa Arvin memang gila, aku tidak menyangka bisa melihat tingkah anehnya sekali lagi.

Sebenarnya bukan hanya kali ini saja Arvin mengutarakan kepemilikannya  atas diriku.

Sudah beberapa kali aku mendengar Arvin berkata demikian,  tetapi untuk sekarang aku merasa bahwa ikrar yang sering kudengar ini akan berdampak buruk bagiku maupun bagi orang disekelilingku.

"Kita..." aku menggigit bibir bawahku, setelah beberapa detik mengumpulkan keberanian barulah aku melanjutkan ucapanku, "Hubungan kita udah selesai."

Seketika saja aura yang berada di dekatku berubah menjadi mencekam, lantas refleks kakiku melangkah mundur setelah otakku memperingatkan akan bahaya yang akan menghampiriku.

Benar saja, Arvin segera menarik tanganku untuk mengikutinya, membawaku ke arah tempat tidur dan melempar tubuhku dengan kasar di sana.

"Aku sudah berusaha untuk menahan diri agar tidak menyakitimu, Kirana Mayasari!"

Aku tercekat dalam diam.

Untuk pertama kalinya aku mendengar Arvin memanggil nama lengkapku dengan teriakan keras, membuktikan bahwa pria itu memang sedang marah sekarang.

"Kamu yang mau hubungan kita selesai bukan?"

Setelah berkata demikian Arvin dengan cepat merogoh ponselnya, menghubungi seseorang dan setelah tersambung dengan orang tersebut dia bersuara.

"Aku ingin membatalkan kerja sama dengan perusahaan Colavila saat ini juga dan meminta mereka mengembalikan seluruh modal yang kutanam..."

Lantas sebelum Arvin menyelesaikan ucapannya aku bergegas bangkit dari posisiku dan menggenggam kuat telapak tangannya yang tidak memegangi ponsel. Raut wajahku nanar menatap Arvin yang seketika terdiam melihat ke arahku.

Aku menggelengkan kepalaku dengan gerakan lemah, memohon agar Arvin mencabut perkataan yang dia keluarkan barusan.

"Aku bakalan tinggal di sini selama pun yang kamu mau tetapi tolong jangan libatkan orang-orang yang aku sayangi dalam masalah kita," ucapku dengan bibir yang bergetar menahan tangis.

"Katakan bahwa kamu mencintaiku dan tidak akan pernah meninggalkanku." perintah Arvin.

Aku mengangguk pasrah, "Aku mencintaimu dan tidak akan pernah meninggalkanmu."

Arvin tidak serta merta langsung meresponku, pria itu malah memilih  beralih kepada orang yang tersambung pada ponselnya. Aku sangat yakin orang tersebut bahkan mendengarkan pembicaraan kami karena Arvin tidak memutus sambungannya.

"Kembali ke pekerjaanmu dan abaikan perkataanku tadi."

Setelah itu barulah Arvin memutuskan sambungannya dan kembali meletakkan ponsel miliknya ke dalam saku jas.

Tanpa berbicara apapun kepadaku, Arvin meninggalkanku sendirian di kamar ini.

Aku memeluk tubuhku sendiri seraya menunduk dalam setelah memastikan Arvin tidak ada lagi di sini, berusaha untuk memenangkan diri sendiri aku berkata dalam hati bahwa segalanya akan baik-baik saja jika aku tidak bertindak di luar batas, aku akan baik-baik saja jika aku tetap bersama Arvin.

Tetapi, bisakah aku bertahan dalam jeratannya tanpa harus melawan sama sekali?

Strong BondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang