Chapter 1

1K 88 0
                                    

"Aku terpaksa harus menerima sesuatu yang tidak kuinginkan karenamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku terpaksa harus menerima sesuatu yang tidak kuinginkan karenamu."

-K.M-

----


"So Arvin lagi di Paris?"

Aku mengangguk kemudian kembali menikmati lemon tea dingin yang baru saja tersajikan di atas meja, pandanganku tertuju pada pakaian yang dikenakan Sania.

"Lo nyaman pakainya?"

Sania melirik pakaian crop topnya dengan outer hitam transparant bermotif floral hingga menampakkan perut datar dan bagian lengannya sebentar hingga kemudian kembali menatapku, "So what? Gue udah delapan belas tahun."

Aku mengangguk menyerah, Sania itu adalah tipe gadis yang tidak bisa disalahkan, menganggap bahwa yang dilakukannya adalah benar. Jika berani menyalahkan Sania maka siap-siap saja jika dia akan menjauh.

"Ngomong-ngomong pacar lo makin ganteng aja, walaupun umurnya jauh banget dari kita," ucap Sania sembai menatap kearah televisi yang menayangkan acara yang membahas tentang pasang surutnya perkembangan ekonomi negara ini.

Aku mengikuti arah pandangan Sania, terlihat jika Arvin tengah diwawancarai disana, dengan cakap pria itu menjawab semua pertanyaan yang dipertanyakan oleh pembawa acara. Terlebih dengan santai ia mebeberkan rahasia sukses perusahaannya pada khalayak umum.

"Aku bisa saja memberikanmu semua rahasia mengapa perusahaanku bisa sepesat ini, tapi tanpa tekad yang kuat semua itu tidak ada gunanya."

Baiklah, sepertinya Arvin tengah berlagak seperti Mario Teguh KW.

"Perfect, lo harus bangga punya pacar semapan Arvin," ucap Sania setelah cengengesan gak jelas mendengar penuturan Arvin di televisi.

Mapan sih tapi possesivenya keterlaluan.

---=---

"Lo serius mau pakai dress ini?"

Aku mengangguk, sesosok wanita yang tengah duduk di tempat tidurku terpantul dari arah cermin. Rena Pramudinata, kakak perempuanku yang baru saja dipinang dan akan segera menikah. Sungguh beruntung karena sang calon pengantin pria sangat tampan dan berwibawa, lebih beruntungnya lagi Rena mendapatkan jodoh yang seumuran dan bisa diajak diskusi tanpa perbedaan status umur.

Tidak sama sepertiku dengan Arvin.

"Kekurangan bahan," ujar Rena berkata jujur.

Aku mengangguk kembali, "Gue mau ke party bukan ke acara sosial."

"Arvin tau?"

Kepalaku menggeleng pelan, "Dia di Paris sekarang"

"Dia pasti marah kalau lihat lo kayak gini."

"Gue tau." tubuhku berbalik, menatap wujud Rena dihadapanku tanpa bantuan cermin lagi, "Gue harap mulut lo gak bocor."

"Good girl kesayangan mommy udah jadi bad girl sekarang?" tanya Rena sembari terkekeh geli, aku tau jika ia tengah mengejekku sekarang.

"Lo tau sesuatu kak? Penelitian menunjukan kalau manusia yang hidupnya terlalu dikekang pasti akan lost control."

"Gue baru tau."

"Makanya baca buku!"

Rena menaikkan kedua bahunya, "Kenapa gak putus aja sama Arvin? gue salut lo tahan sama kelakuan absurd dia selama setahun."

Aku terdiam, enggan untuk menjawab. Biarkan hanya aku saja yang mengetahuinya, karena jika Rena tau apa yang terjadi, aku pasti tidak akan bisa lagi melihat raut wajah bahagia dari kakakku ini.

---=---

Bibirku hampir saja berdarah karena terlalu keras mengigit, disampingku terdapat sosok yang kutau kini sedang berada di Paris, mengurusi urusan pemindahan perusahaan atau apa lah itu namanya, aku tidak mengerti. Jelasnya adalah Arvin terlihat marah sekarang.

Terkutuklah Rena yang membeberkan hal yang akan kulakukan malam ini pada Arvin, mengapa aku tidak sadar jika kakakku itu bukanlah tipe orang yang bisa menjaga rahasia. Hingga tepat ketika aku hendak keluar dari rumah sosok Arvin sudah berada di ruang tamu.

"Sepertinya aku beruntung karena keberangkatanku ke Paris ditunda."

Sialan, Arvin yang beruntung aku yang apes.

Musik yang berasa dari mp3 di mobil inilah yang mengisi ketegangan yang melingkupiku. Sungguh bahkan aku berharap ada seorang pengamen, pemulung atau apapun itu datang ke mobil kami yang berhenti di depan lampu merah kemudian meminta sumbangan agar ketegangan ini pecah. Jika ada, aku akan berbaik hati untuk menyerahkan selembar uang seratus ribu dengan terbuka.

Aku masih terdiam, tidak berani berbicara hingga kami sampai di apartement Arvin dan masuk kedalam sana. Apartement Arvin masih sama seperti yang kulihat seminggu yang lalu, mungkin ada beberapa interior yang dipindahkan namun hal itu tidak membuat estetika dari apartement ini berubah.

Tanpa kuduga Arvin mendorong tubuhku pelan hingga jatuh di sebuah sofa berukuran panjang.

"Lupa peringatanku?"

Aku menggeleng cepat, bagaimana bisa aku melupakannya.

"Aku akan menemanimu seharian penuh"

Arvin menaikkan sebelah alisnya, seperti mengisyaratkan sesuatu. Kini ia duduk di sisi samping sofa tepat dimana aku terbaring kemudian mengelus dahiku perlahan.

"Lebih dari itu, aku ingin hukuman yang lain."

Raut wajah Arvin datar, tidak terdeteksi apapun disana hingga membuatku kebingungan. Namun tepat disaat Arvind menarik senyumnya sesaat aku merasa ketakutan.

"Arvin, jangan bercanda."

"Kapan aku pernah bercanda?"

Kembali aku terdiam.

"Jangan pernah bermain-main dengan peringatanku, Kirana"

Nafas hangat Arvin menyentuh permukaan wajahku, menimbulkan efek yang membuat bulu kudukku merinding. Otakku memerintahkan diri agar segera melarikan diri, menjauh dari Arvin.

"Arvin, aku minta maaf."

"Permintaan maaf kuterima setelah kamu selesai menerima hukuman dariku."

Oh tuhan, apa yang harus kulakukan.

"Aku tidak suka kamu seperti ini, Arvin." tegasku, berusaha menyadarkan pria yang sudah menyentuhkan dahinya pada dahiku. Namun nyatanya nihil, gerakan Arvin mulai berani mengigit kecil daun telingaku.

"Arvin!" teriakku.

"Tiga puluh menit."

Dahiku mengerut, apa maksudnya?

"Aku memberikanmu waktu tiga puluh menit untuk menciumku."

Hah!?

"Kamu gila? gak mungkin aku cium kamu selama itu."

Jujur, selama mereka berpacaran sudah beberapa kali Arvin menciumnya, tapi selama tiga puluh menit? hanya orang gila yang melakukannya.

Tunggu sebentar, secara tidak langsung aku menyebut pacarku gila walaupun memang benar.

Tepat saat aku menyadari jika Arvin yang kukenal sebelum pacaran jauh berbeda. Arvin yang kukenal sekarang adalah pria yang egois, dominant dan semua keinginan yang pria itu mau harus didapatkan walaupun nyawa taruhannya.

Tidak perlu aku jelaskan lebih jauh, kalian bisa menyimpulkannya sendiri jika Arvin sang pembisnis handal negara ini adalah seorang psikopat bajingan yang sudah merunggut hidup dan cintaku.


Strong BondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang