Chapter 5

639 47 0
                                    

Portal Lima Indonesia

Rabu, 12/08/20xx

Leana Refardo bukan ibu kandung Arvin Putra Refardo, terungkap jika ibu kandung sang miliader muda tengah terbaring koma.

Aku meletakkan kembali ponselku kemudian melangkah menuju Arvin yang tengah duduk di sofa, menonton televisi yang menayangkan serial kartun. Sungguh baru pertama kali selama kami pacaran selama setahun, aku melihat Arvin menonton tayangan yang diperkhususkan untuk anak-anak, biasanya pria itu memilih menonton berita

Benar juga, berita hari ini sudah terisi mengenai dirinya dan juga Leana.

"Ingin minum sesuatu?" aku duduk disampingnya kemudian menyentuh telapak tangannya yang saling tertaut.

Tidak ada balasan, Arvin masih menatap layar televis tanpa berniat melihatku yang sudah berada disampingnya.

Asem!

"Gak mau cerita?" bodohnya aku masih bisa bertanya pertanyaan yang tidak akan dijawab oleh Arvin.

"Ingin mengunjungi mommy?"

Sebelah alisku terangkat, "Bukannya kita sudah bertemu dengan mommy?"

Arvin menggeleng, akhirnya pandangan pria itu tertuju padaku.

"Bukan mommy Leana, kita akan mengunjungi ibuku yang sesungguhnya."

Aku terdiam sejenak, meresapi apa yang barusan dikatakan Arvin, jadi pemberitaan yang baru saja kubaca benar adanya? mengenai Leana ibu tiri Arvin dan juga ibu kandung Arvin sedang berada di rumah sakit.

"Kita akan mengunjungi mommy besok, aku ingin memperkenalkanmu padanya," ucap Arvin.

Beberapa detik kemudian bibirku dipagut oleh Arvin, cukup dalam hingga aku mengalungkan tangan pada leher pria itu. Sesuatu hal yang aku tau, Arvin terlihat frustasi dengan ciuman ini, rasanya aku tidak bisa mengimbangi gerakan bibirnya sekarang.

Aku mendorong pelan tubuhnya, bibir kami beberapa saat terlepas dan aku memanfaatkan untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum Arvin menyatukan bibir kami kembali.

---=---

Selama hidupku, yang paling kutakutkan adalah semua hal yang berhubungan dengan makhluk halus alias hantu namun semenjak berhubungan dengan Arvin rasanya ketakutanku bertambah. Selain hantu amarah Arvinlah yang kutakutkan sekarang.

"Shit! Aku memperkerjakanmu bukan untuk bermain-main, bagaimana bisa dipindahkan ke rumah sakit lain, tolol?"

Oh tidak, aku bahkan terkejut dengan makian Arvin hingga aku memutuskan untuk berlindung di balik selimut daripada berdekatan secara langsung dengan Arvin yang tengah duduk di sofa. Pura-pura tidur rasanya lebih baik daripada Arvin menyadari jika aku sadari tadi tidak sengaja mendengar percakapan Arvin bersama seseorang di ponsel.

"Aku tidak mau tau, cari atau kepalamu taruhannya!"

Mataku seketika terbuka tepat disaat Arvin mengucapkan kalimat tersebut, demi apapun bisakah Arvin mengancam tanpa menyangkut pautkan nyawa. Tentu saja aku tau jika ucapan Arvin tidak pernah bercanda ketika sedang marah, hal ini terbukti dengan pengalamanku.

Bahkan pengawal setia pria itu hampir saja mati karena mengalami luka tusuk, siapa lagi pelakunya kalau bukan Arvin. Mungkin jika aku melakukan kesalahan besar, nyawaku sudah pasti melayang. Siapkan saja kuburan yang pas denganku beserta undangan untuk para pelayat.

Tubuhku tersentak ketika mendengar suara bantingan, mataku pelan-pelan terbuka menatap Arvin yang tengah memukul keras tangannya kearah cermin, menyebabkan terdapat retakan disana.

"Arvin, berhenti!" teriakku, dengan cepat aku langsung beranjak dari ranjang menuju kerah Arvin, aku menggenggam lengannya mengisyaratkan jika pria itu harus segera menghentikan aksi yang menurutku sadis ini. Lihatlah sekarang, jari-jari Arvin terluka karena bergesekkan dengan pecahan kaca.

"Mommy dipindahkan oleh si sialan itu."

Sialan? memang ada manusia yang bernama sialan?

Gila, masih sempat-sempatnya aku berfikiran konyol mengenai si sialan yang dimaksud Arvin.

"Shit, lepaskan!"

Aku menuruti perintahnya, melepaskan genggamanku pada lengannya. Mataku masih fokus pada Arvin yang terlihat terengah, menahan emosinya yang aku sendiri tidak tau ditujukan pada siapa.

"Aku harus pergi."

Arvin bergegas tanpa mengganti pakaian santainya keluar dari kamar, aku termangu sendiri disini menatap kepergian Arvin dengan pikiran yang masih penuh dengan pertanyaan.

Sebenarnya sialan siapa yang Arvin maksud.

---=---

Sudah berhari-hari aku tidak berjumpa dengan Arvin, seharusnya ini menjadi suatu hal yang membuatku bahagia karena lepas dari tali kekang pria itu namun rasanya aku sangat merindukan sosok Arvin sekarang.

Mungkin wajar, kami hampir bersama semenjak pacaran dan untuk pertama kalinya Arvin meninggalkanku tanpa alasan yang jelas dalam jangka waktu yang cukup yaitu dua minggu.

Seperti ini saja sudah galau apalagi nanti jika aku dan Arvin putus.

Eh, bukannya aku mengharapkan hubungan kami berakhir?

"Bengong teros, kesambet mampus lo!"

Aku tersadar akan lamunanku setelah sahabatku mengejutkanku dari belakang. Tentu saja karena hal itu aku merengut kesal kemudian menjitak bahunya untuk melampiaskan diri.

"Kalau gue jantungan gimana?" aku mengelus dadaku sendiri dengan masih menatap kesal ke arah Sania.

Walaupun ditatap seperti itu, Sania membalas dengan terkekeh geli. Gadis itu tanpa dipersilahkan duduk di atas tempat tidurku.

Sedangkan aku yang tadinya termenung di depan cermin menyusul Sania duduk di sampingnya.

"Cerita atuh neng, kalau dipendam lama-lama bisa gila lo entar."

Jika aku bercerita padanya, pasti aku diejek habis-habisan. Pasalnya, Sania yang paling mengetahui bahwa aku yang paling menginginkan Arvin menjauh.

"Mending gue pendam, daripada gue makin gila dengar siraman rohani gak jelas."

"Emang gue semenyebalkan itu?"

"Banget."

Sania tampak mengabaikan balasan dariku, gadis itu seperti biasa lebih memilih untuk bermain game. Kedatangannya ke sini saja tidak murni untuk menemuiku. Sania hanya menumpang wifi agar game yang dia mainkan berjalan lancar tanpa tersendat.

Aku sendiri merogoh ponselku untuk melihat notifikasi di sana.

Notifikasi yang kudapat hanyalah kabar tidak jauh dari gosip artis yang nikah lagi atau tertangkap narkoba. Jangan lupakan pula grup keluarga yang penuh dengan chat rempong tante-tanteku dan juga berita gak masuk akan yang disebarikan oleh para pamanku.

Aku menghela nafas gusar saat tidak mendapati pesan ataupun panggilan dari Arvin.

Sebenarnya apa yang terjadi padanya hingga Arvin berprilaku seperti ini.

Strong BondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang