05 :: Among Us

528 122 22
                                    

warning!
ada unsur drama di chapter ini, jadi
jangan sungkan buat gumoh saat atau setelah membaca chapter ini.
terima kasih<3

══════════════════

“KAU kelihatan payah.”

Itu adalah sambutan yang kuterima ketika memasuki kelas, setelah kembali dari toilet. Dengusan beserta rotasi dari netra obsidianku menjadi balasannya.

“Ya, trims.” Ada nada sarkas pada perkataanku.

Aku bersandar di kursi seraya mengatur pernapasanku. Peluh mulai mengucur dari pelipis. Rasa capai mulai menggerogoti. Perasaan dongkol agaknya memenuhi hatiku, gara-gara perkataan Aiko barusan. Entah kenapa, aku jadi mudah sensitif kali ini.

Cepat-cepat aku menutup kelopak mata begitu merasakan kehadiran Aiko di hadapanku. Sekarang, aku sedang tidak ingin berdebat dengannya.

“Sumpah, aku tak bohong. Kau kelihatan lebih pucat daripada biasanya.”

“Mungkin cuma kelelahan.” Aku meliriknya, tak peduli. Lantas aku menutup kelopak mataku kembali.

“Kau harus peduli dengan dirimu sendiri. Jangan bilang jika kau begini gara-gara cowok preman itu.”

Perkataan Aiko menghantamku secara terang-terangan. Semenjak mengakhiri hubungan itu, aku jadi mudah lelah. Kesehatanku menurun. Dan tadi, apa-apaan itu, aku tersedak kelopak bunga?

“Bisa saja si gagal move on terkena penyakit hanahaki.”

Cuih, mana ada aku gagal move on dengan dia.

“Mana ada. Aku memang cuma kelelahan, kok. Latihan tenis benar-benar mengurasku. Aku jadi tak punya waktu untuk bermalas-malasan seperti dulu.” Wajahku kembali kutangkupkan.

Tiba-tiba, lenganku ditarik oleh Aiko.l, memaksaku agar berdiri mengikutinya. Aku sudah terlampau penat dan tak bisa melawan Aiko, jadi kuturuti saja apa maunya kali ini.

“Sadar tidak sadar, kau itu gemar sekali merusak tubuhmu secara perlahan.” Aiko mulai menceramahiku. Dia masih saja menggamit tanganku. Kutebak, kami sedang menuju kantin.

“Kau cari tempat duduk. Biar aku yang mengambil makanannya.” Begitu katanya setelah kami sampai di kantin.

Kantin sekolah pada siang yang terik ini cukup ramai. Akan tetapi, aku masih bisa menemukan deretan tempat duduk yang kosong dengan mudah.

Aku duduk seraya memainkan jari jemariku. Berdasarkan kemampuan curi pandangku, menu kali ini adalah nasi kari. Aku cuma tersenyum masam setelahnya. Bagus. Setelah mengeluarkan seluruh isi perutku dan juga melihatnya—kau paham apa maksutku—aku jadi tak berselera makan, terutama pada makanan yang agak lembek. Tetapi, kalau aku tak makan, bisa-bisa Aiko bakal marah besar.

“Lho, ternyata [Surname]-san?”

Iris urang-aringku menelisik akan sosok di hadapanku. Gadis yang gemar memakai banyak gelang di kedua pergelangan tangannya. Aku benar-benar tak punya ide siapa nama gadis ini, sementara aku sendiri sudah terlanjur malas untuk bertanya, jadi aku hanya mengangguk-angguk bak orang linglung.

“Bolehkah kami duduk di sini? Kupikir, kursi ini cukup untuk empat orang.” Aku menaikkan alis kananku, baru menyadari jika ada orang lain di belakang si gadis gelang itu.

Rambut kepirangan dengan mata biru cerah. Kedua bola mataku hampir saja copot jika aku tak menahan diri untuk memelototinya terus-menerus.

Sialan. Kenapa pula aku harus bertemu dengannya di sini?

“Ya, silahkan saja.” Aku berkata dengan asal, sambil berusaha untuk membuang muka. Dari ekor mataku, aku bisa melihat jika si gadis gelang terkihat senang seraya menarik pergelangan tangan si itu untuk duduk di hadapannya. Jadilah aku duduk di samping Chifuyu.

Mendadak, aku mati gaya. Tidak. Kenapa harus begini? Aku baru saja terkena gejala dari penyakit aneh bin ajaib, lalu aku bertemu dengannya? Bersama gadis lain? Wah, Tuhan sepertinya tengah memberkatimu, [Name].

“Kudengar kalian sempat menjadi sepasang kekasih, ya?”

Aku tersedak oleh salivaku sendiri. Sebagai balasan, aku hanya mengatakan, “Ya” kepada gadis gelang yang entah kenapa tidak ingin kuketahui namanya.

“Wah, sayang sekali.” Entah mengapa aku bisa merasakan ada nada mengejek yang tersirat dalam perkataannya.

“Shira, tidak usah mengatakan hal itu.” Aku mendengus ketika Chifuyu yang sedari tadi hanya diam bak patung, akhirnya membuka mulut. Chifuyu dan si gadis gelang memandangku.

“Memangnya kenapa?” Demi Tuhan, aku benci dengan nada suaranya yang terdengar diimut-imutkan itu.

“Kenapa kalian duduk di sini? Ini tempatku dan [Name], jadi pergi sana!” Sial, Aiko sudah muncul dengan membawa nampan berisi dua piring nasi kare. Pandangannya terlihat tak bersahabat, terutama ke gadis gelang. Dia jelas-jelas membencinya.

Gadis gelang itu menatap tak suka. “Wah, tapi temanmu sudah memberi izin, tuh. Kau nggak bisa mengusir orang dengan seenaknya dong, Aiko-chan.”

Dahiku mengernyit. Si gadis gelang mengenal Aiko?

“Tapi aku tidak setuju, dan keputusanku mutlak. Jadi, silahkan angkat pantat kalian dari sini sekarang juga.”

Aku pernah mendengar desas-desus bahwa orang tua Aiko adalah orang penting dalam organisasi gelap seperti Yakuza. Aku tak mempercayai kabar burung tersebut, hingga hari ini tiba. Mimik wajah gadis gelang itu terlihat jelek sekali, memerah seakan-akan mau menangis ketakutan.

Aku sudah tidak memperdulikan adu mulut antara Aiko dengan gadis gelang. Dalam pandanganku, dunia berotasi dengan cepat. Kepalaku terasa dipukul oleh palu godam berkali-kali. Sebelum aku ambruk, aku bisa melihat kilasan sepasang iris biru cerah itu memandangku.

hard feelings [chifuyu m.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang