06 :: Who Knows

360 87 10
                                    

IRIS obsidianku menangkap Aiko tengah bersedekap seraya melihat pemandangan dari jendela. Begitu aku menggerakkan badanku dengan perlahan, tempat tidur yang kutempati berderit sehingga Aiko langsung mengalihkan pandangannya pada diriku.

Gadis itu mendekat, dan kini berada di sampingku. “Kau siuman.” Nada bicaranya memang datar, namun, aku bisa melihat Aiko tersenyum tipis.

“Aku cuma kecapekan.” Aiko langsung menjitak lenganku dengan pelan.

“Aku cuma kecapekan, tapi aku pingsan selama satu jam,” cibirnya, seraya memonyongkan bibirnya. Piring berisi beberapa potong buah pir disodorkan Aiko kepadaku.

Sepotong buah pir kuambil. “Cuma tidur siang.” Aku berusaha mengelak, tapi itu semua sia-sia jika sedang berhadapan dengan Aiko. Gadis itu pandai dalam berdebat dan berhubung aku tak pandai omong, jadi lebih baik mengalah saja.

“Aku akan pergi ke kelas untuk mengambil tas.” Pipiku dijewer pelan, lalu gadis itu segera pergi meninggalkanku sendirian di UKS. 

Aku cuma menyandarkan punggungku, seraya melamun. Lamunan itu tak berlangsung lama karena aku bisa mendengar suara langkah sepatu Aiko.

“Tumben cepat amat,” kataku, namun aku segera menutup mulut begitu melihat siapa yang datang.

Ya, itu. Si dia.

Chifuyu tampak terkejut namun dengan segera dia mengubah ekspresinya. Aku? Jangan ditanya lagi. Aku lagi bingung ingin menunjukkan raut wajah seperti apa dihadapannya.

“Ada apa?” Aku memalingkan wajahku, enggan memandangnya.

Hening. Bahkan suara jam yang berdetak pun cuma satu-satunya yang paling berisik di sini. Jadilah aku dongkol, apa maksudnya datang kemari kalau ujung-ujungnya juga dia cuma diam seribu kata?

“Sebentar lagi Aiko akan datang kemari. Kalau kau datang kemari cuma ingin melihatku, lekaslah pergi dari sini.”

“Maaf.”

Giliran aku yang cuma diam seribu bahasa. Lalu, dengan keberanian yang tersisa aku bertanya, “Untuk apa?”

“Kejadian tadi, dan ... segalanya.”

Segalanya. Maaf, aku sudah jadi pacarmu dan memutuskan hubungan ini gara-gara aku bosan. Ya, seperti itu maksudnya. “Iya, aku mengerti.”

Cowok di hadapanku ini malah menggeleng. “Tidak, bukan seperti itu, [Name].”

Aku mengernyit kebingungan. Maunya anak ini bagaimana, sih?

Langkah sepatu Aiko mulai terdengar. Aku panik. Semarah-marahnya aku kepada Chifuyu, aku juga tak mau anak itu kena mampus, misalnya saja giginya ompong gara-gara ditonjok oleh Aiko.

“Aiko akan datang.” Aku panik. “Cepat sembunyi di situ!”

Chifuyu menurut dan segera bersembunyi di balik lemari yang berada di samping kanan yang kutunjuk. Lemari itu menghadap ke arahku, sehingga meninggalkan celah yang kurasa cukup untuk digunakan sebagai tempat persembunyian.

Bertepatan dengan itu, suara pintu yang terbuka pun terdengar. Aiko membawa tasku sementara tasnya sendiri dipanggul.

“Aku akan menginap di rumahmu sampai kau menghilangkan kebiasaanmu menunda makan.” Yang bisa kulakukan untuk membalas pernyataan alih-alih pertanyaan Aiko itu adalah dengan mengangguk. Percuma juga kalau aku menolak, soalnya dia itu pribadi yang keras kepala sekali.

“Sini, kubantu untuk berdiri.” Aiko mendekat dan secara spontan aku berseru, “jangan!”

“Kenapa?” Alis kanannya naik. Kentara sekali jika seruanku tadi membuatnya curiga.

“Aku bisa berdiri sendiri, kok.” Mati-matian kusembunyikan nada gugupku. Habis sudah kalau Aiko mendekat.

“Baiklah.” Akhirnya Aiko mengangguk. Aku menghembuskan napas lega.

Aiko mendahuluiku ketika aku turun dari tempat tidur. Sesaat, aku mengalihkan pandangan ke celah lemari.

“Terima kasih.” Jantungku berdegup kencang begitu mendengar suaranya. Kupaksakan senyuman yang bakal kelihatan jelek sekali di wajahku. Chifuyu membalas dengan senyuman yang jauh lebih baik, dan semakin berdeguplah jantungku.

“Sama-sama.” Lantas aku segera meninggalkan Chifuyu dengan perasaan sesak di dada.

══════════════════

Sepertinya, Aiko memberitahu kepada Draken-niisan mengenai kejadian aku pingsan, karena saat ini Draken-niisan tengah menjewerku seraya mengomeli tentang ini itu.

“Aiko, kau akan menginap di sini, kan?” Aku mengelus pipiku sambil menggumamkan berbagai macam kata tak sopan.

Gadis yang tengah menggulung rambutnya itu mengangguk. “Betul. Draken-san tidak usah khawatir, biar aku yang mengurus bayi besar ini.” Dia menepuk kepalaku berulang kali dan bertambahlah umpatan yang kulontarkan.

Seraya mencomot mochi yang dibawa oleh Draken-niisan, aku memandang Aiko penuh dengan tanda tanya. Apa Aiko memang kenal dengan gadis yang tadi bersama Chifuyu? Lantas, kira-kira apa hubungan mereka? Kenapa juga gadis gelang itu bisa ketakutan ketika digertak begitu saja oleh Aiko?

“Ya sudah, aku akan pergi dulu. Kau jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri, [Name].” Aku cuma mengangguk bosan begitu Draken-niisan mengacak-acak rambutku.

Berbekal rasa penasaran yang kian membuncah di dada, akhirnya aku nekat. “Aiko?”

“Ya? Kenapa?” Kedua iris kecokelatannya senantiasa memandangi layar televisi seraya mengganti saluran televisi beberapa kali.

“Kau tahu kan, kalau kau dikenal sebagai gadis yang galak—Aiko secara otomatis menoleh kepadaku, membuat aku harus buru-buru meralat perkataan—, maksudku, gadis yang tegas dan disiplin. Dan semua orang pasti bakal ketakutan—maksudku, terkejut ketika kau perintahkan seperti tadi terhadap gadisnya Chifuyu.”

Gadisnya Chifuyu. Sialan, aku jadi ingin mual.

“Lalu?” Aiko rupanya masih menantiku.

Aku menarik napas. “Lalu, bagaimana bisa gadis tadi begitu ketakutan ketika kau suruh untuk pergi? Maksudku, benar-benar ketakutan. Seperti saat kau menjumpai seekor tikus.”

Ada jeda panjang setelah aku menyelesaikan perkataanku. Aku takut Aiko malah sakit hati dengan perkataanku tadi, karena sampai saat ini dia hanya diam seribu kata.

Tepat ketika jarum panjang berada di angka dua belas, Aiko mengambil remote dan mematikan televisi. Dia duduk menghadapku dan jadilah aku juga mengikutinya.

“Kau tentu sudah mengetahui rumor yang beredar tentangku di sekolah.” Itu menjadi topik pembuka.

Aku mengangguk. Rumor jika orang tua Aiko adalah orang paling penting dalam dunia mafia di Jepang memang sempat menyebar. Aku cuma menganggap itu sebagai rumor murahan, sampai ketika kejadian Aiko memerintahkan gadis gelang tadi beserta perkataan Aiko saat ini.

“Itu memang benar.”

Jujur saja, aku tidak tahu menahu harus berekspresi apa lagi selain membiarkan mulutku terbuka lebar. Aiko tersenyum begitu melihatku, laku dia melanjutkan.

“Dan seperti yang kau ketahui, orang-orang seperti ayah dan ibuku memiliki bawahan yang amat dipercaya. Salah satunya adalah ayah dari si gadis centil tadi, Kawamura Shira. Jadi, mau tak mau aku mengancamnya kalau dia berani membuatmu sakit hati.” Perkataan itu keluar dengan entengnya. Kendatipun aku sama sekali tak menyukai gadis gelang itu, agaknya ancaman Aiko terlalu dibesar-besarkan.

“Aku tak akan melakukannya, kalau gadis itu tak berulah lagi.” Aiko sepertinya tahu apa yang kupikirkan. Aku tersenyum tipis.

“Aku tahu.”

Setidaknya, kejadian tadi siang yang membuat hatiku dongkol itu berakhir dengan malam yang tenang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

hard feelings [chifuyu m.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang