Follow sebelum baca
Permukaan lantai yang dingin terinjak-injak oleh kaki jenjang dari seorang gadis cantik bermata kucing. Kakinya melangkah bak seperti model. Satu tangannya menyeret koper besar yang berisi barang-barang miliknya.
Rambut hitam mengilap miliknya yang diberi aksesoris baker boy hat lalu dipadukan dengan outfit v-neck dan kemeja putih oversized berhasil membuatnya menjadi pusat perhatian. Gayanya yang khas serta parasnya yang sudah tidak bisa diragukan lagi membuat beberapa orang berhenti hanya untuk memandanginya dengan khidmat.
Namun sayangnya, gadis kucing itu hanya menampilkan datarnya dan tetap melangkah menuju pintu keluar bandara. Dirinya sudah terbiasa menjadi tontonan orang-orang, karena dia sangat tau bahwa dirinya itu cantik. Siapa yang tidak akan terpesona jika melihatnya.
Angin yang berhembus kencang serta langit biru yang cantik karena sinar matahari langsung didapati Jean setelah ia berhasil melewati pintu kaca otomatis milik bandara. Dan sekarang mata tajam dan gelap miliknya itu mengitari kerumunan orang-orang demi mencari ketiga manusia yang selama ini dia nantikan. "Where are they?"
Tapi di sisi lain,
"Bang, kak jean mana sih?" tanya si bungsu pada kakak-kakaknya.
Jerome mengedikkan bahunya, "Entah. Kemana ya dia?"
Jawaban Jerome sukses membuat Jevian menarik nafasnya dalam-dalam agar tidak meledak karena sudah emosi sekali ingin menghajar kakaknya yang satu itu. Jevian tuh udah capek banget nungguin Jean datang dari tadi.
Melihat Jeka yang terus saja bermain game tanpa ada niat membatu, membuat Jerome memukulnya. "Bantuin cari kek njing, jangan main game terus!"
Yang dipukul pun mengaduh. Terus daripada kena omel lagi, lebih baik Jeka segera menyimpan ponselnya dengan muka yang mengejek Jerome saat mengomel. Jerome hanya bisa geleng-geleng kepala saja, kenapa juga dia harus diberkahi adik yang kelakuannya macam babi liar.
"Telpon kek, bang! Gua capek tau!" protes si bungsu.
"Emang lo doang apa!" balas Jerome sengit. "Kemarin dia kasih tau landing jam berapa, Jek?"
Jeka terdiam sementara, "Seinget gua sih, jam setengah 2."
"Ini udah mau jam 3, anjing!" umpat Jerome setelah ia melihat arah jarum jam di tangannya.
Tentu saja ucapan Jerome membuat kedua adiknya kaget. Mata mereka melotot seakan-akan ingin keluar dari sarangnya dan juga jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Mampus kita."
Keringat dingin pun mulai keluar dari pelipis ketiganya. Ketakutan hinggap pikiran dan hatinya. Kayaknya habis ini, nyawa mereka akan segera melayang.
"Bang, gimana ini?!" desak Jevian. "Kalo kak jean kecelakaan gimana? Terus-terus, kalo dia nggak jadi kesini gimana dong?" lanjutnya.
Mereka bertiga mencoba untuk tidak panik. Tapi kata-kata Jevian semakin membuat ketiganya ketar-ketir.
"Ngaco lo, ah! Yekali nggak jadi, 'kan udah direncanain dari lama." elak Jeka.
"Jek, coba lo buka lagi dah chattan lo sama dia." usul dari Jerome disetujui oleh Jeka. Dengan segera dia mengambil ponselnya kembali lalu membuka room chat nya bersama sang kakak.
Me
Landing jam berapa?Jean
13.30 Terminal 2
Kalo sampe telat ga jamin muka lo masih mulusMe
Santuy
Percayakan semuanya pada saya kakanda
Melihat isi chatting tersebut membuat Jerome dan Jevian speechless. Jeka durhaka banget asli, masa kontak kakaknya dinamai tanpa embel-embel 'kak'.
"Jek, sumpah..." Jerome sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
"Apaan si, Jak Jek Jak Jek!" protesnya karena risih dipanggil seperti itu. Memangnya Jeka tukang ojek, dipanggil 'Jek' mulu.
Sedangkan si bungsu tidak menghiraukan keduanya. Dia fokus pada percakapan Jeka dengan Jean yang terasa janggal. "Bang, lo asli dah begonya. Kata lo terminal 3, tapi disini tulisannya terminal 2 tolol!"
Ucapan Jevian tentu saja membuat Jeka membelalakkan matanya. "Ah, masa?" tanyanya tak percaya. Lelaki itu segera mengecek kembali tulisan yang tertera di layar ponselnya.
Lalu sedetik kemudian, mata Jeka semakin terbuka lebar. "Dih, sumpah. Kemaren gua liat dengan jelas kalo ini tuh angka 3!"
Lelaki itu menjelaskan kepada adik dan kakaknya sambil menunjuk-nunjuk angka yang tertera di isi chattan nya dengan Jean.
Jevian hanya menatap Jeka datar. Sudah dia duga. Astaga, Kenapa sih, dia punya abang yang tingkat ketololannya udah mencapai internasional. Jevian nyesel banget.
"Emang ini terminal berapa?" Ini lagi, abangnya yang paling gede masih aja nanya. Jevian udah nggak tau lagi deh, ampun.
Tolong hamba, ya dewa.
Si bungsu membatin melihat kelakuan kedua abangnya.
Jerome dan Jeka saling bertatapan. Lalu keduanya melihat ke arah papan secara bersamaan. Dan tertulis jelas disana bahwa sekarang mereka sedang berada di terminal 3.
Glek
Keduanya meneguk air liur mereka dengan kasar. Sepertinya keutuhan badan mereka akan dipertanyakan sehabis ini.
"Jangan bengong dong, bang! Buruan jalan sebelum kak Jean makin ngamuk!" teriak si bungsu yang membuat kedua kakaknya tersadar.
Bukannya menuruti perkataan adiknya, Jerome malah memukuli Jeka dengan brutal. Dan juga tidak lupa sembari mengumpat.
"GOBLOOKKKKK!"
"ADUH! AMPUN BANG, SAKIT WOI!"
Tentu saja keduanya menjadi pusat perhatian. Jevian yang sudak tak tahan juga ikut menggebuki kakak-kakaknya.
Sebenernya ini yang bego siapa, sih?
Mereka tidak peduli walau sedang ditempat umum juga, yang penting amarahnya terlampiaskan. Tetapi kegiatan mereka harus berhenti secara paksa ketika mendengar ponsel Jeka berdering. Dengan wajah kesal, Jeka memeriksa siapa yang menelponnya disaat mereka tengah seru bertengkar.
Jean is calling...
Mata Jeka kembali melotot melihat nama yang tertera dilayar. Yang lain pun penasaran lalu ikut mengintip layar ponsel milik Jeka.
Astaga, Jean!
Bisa-bisanya mereka melupakan Jean yang sedang menunggu. Sudah dipastikan setelah itu ketiganya langsung lari terbirit-birit pergi ke lokasi Jean yang sebenarnya karena takut nyawa mereka akan diambil oleh malaikat maut secepatnya. Iya, Jean malaikat mautnya.
TBC
Jangan lupa tinggalkan jejak seperti vote dan comment kalian jika ingin story ini tetap berlanjut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Four J
FanfictionKehidupan absurd keempat saudara yang semua namanya berawalan huruf j. ©peaceofshyit, 2021