Bunyi dentingan dari sendok dan garpu bukanlah suara latar diruang makan keluarga Benedict. Mereka itu bukan keluarga yang akan diam selama menyantap makanan membuat suasana hening. Justru diruang makanlah yang banyak menjadi saksi bisu kehangatan keluarga Benedict.
Bukankah kebanyakan keluarga juga begitu? Kalian seperti itu atau tidak? Banyak yang berpikir jika keluarga yang sangat berkecukupan biasanya makan dalam diam, tapi itu tidak berlaku untuk mereka.
Itu dikarenakan anak-anak sudah pada dewasa dan punya kegiatan masing-masing. Lalu orang tuanya juga sibuk kerja untuk mempertahankan ekonomi. Jadi, salah satu cara agar mereka tetap menjadi keluarga yang harmonis adalah selalu berkumpul dengan lengkap pada jam makan yang sudah ditentukan setiap harinya.
Semua orang tua tidak mau jauh dari anaknya, termasuk Jonathan dan Hayziel. Mereka ingin anak-anaknya menceritakan langsung apa yang dilaluinya. Jonathan dan Hayziel memang mengambil cara yang klasik untuk keharmonisan keluarga, tapi efek yang diberikan pun sangat besar hingga tak ada yang namanya jarak diantara mereka.
Cukup sedih saat dimana Jean memustukan untuk melanjutkan studinya di New zealed sana, tempat kelahirannya. Sempat dilarang, tapi melihat kegigihan serta keyakinan Jean membuat kelimanya luluh dan berakhir mengizinkannya.
Dan sekarang ini ada hari yang ditunggu-tunggu oleh kelimanya. Hari dimana Jean kembali bersama mereka dan akan tinggal menetap selamanya. Terbayang dong bagaimana senangnya mereka.
"Kak Jeje jadi pengangguran dong tinggal disini, 'kan udah lulus?"
Jevian mempertanyakan keadaan Jean disini karena mereka juga sedang membahasnya. Jean pun menimbang-nimbang pertanyaan sang adik.
"Nggak tau dah, belum ada rencana kedepannya mau gimana." jawabnya spontan.
Hayziel menggeleng tegas. "Jeje udah mama booking buat jadi model di butik mama. Biar dia nggak pengangguran kayak kamu, Jer."
Jerome mendelik tak terima. Dia 'kan jadi pengangguran juga buat keluarga, kenapa dia harus dinistain sih! Lagi pula Jerome masih kuliah kok, enak aja dibilang pengangguran.
"Emang nggak mau lanjut S2 disini, kak? Itung-itung buat ngisi kegiatan aja gitu, kalo udah nggak betah tinggal keluar." saran Jeka.
Orang kaya mah enak banget ya ngomongnya.
Jean mengangguk-angguk sambil berdeham panjang. "Boleh juga, sih. Tapi males, ah. Eh, tapi nggak tau deh. Ntar liat aja."
Jerome mengernyit. Lalu bertanya dengan gamblang, "Kalo gitu, terus buat apa kamu balik?"
Tak lama setelahnya, paha Jerome pun menjadi korban pukulan dari tangan besar Jeka. Lelaki itu meringis, pukulan adik bongsor disebelahnya ini sakitnya bukan main.
"Munafik kamu, bang. Kemarin siapa yang koprol depan cuma gara-gara Jean jadi pulang kesini?"
Aibnya dibuka sang ayah, lantas berhasil membuat Jerome malu. Apalagi melihat Jean yang tengah memasang wajah mengejek pada dirinya.
"Makanya kalo mau ngomong dipikir dulu kek!" si bungsu ikut andil memanasi.
Jerome memandang sinis adiknya itu. Lalu dia mengisyaratkan Jevian untuk diam. "Dilan, diem!"
Perkataan dari kakak tertuanya itu langsung membuat Jevian bete. Demi apapun, Jevian sangat benci sekali ketika dirinya dipanggil Dilan. "Apasih?! Nama aku Jevian! Bukan Dalan-Dalan siapa lah itu." jelasnya jengkel.
Seketika semuanya kompak tertawa mendengar penuturan si bungsu. Dalam hati, lelaki itu mengumpat. Kenapa pada ketawa coba, orang nggak ada yang lucu.
"Orang mah kamu bersyukur dikasih nama panggilan kesayangan dari mama." Jeka kembali tertawa setelah berkata seperti itu.
Melihat wajah suram adik termudanya itu bukannya membuat Jean iba, gadis itu justru malah semakin ingin membahasnya. Maka dari itu dia bertanya, "Emang dia kenapa ma, sampe bisa dipanggil Dilan?"
"Ah, kak Jeje nggak tau aja sejarahnya gimana." penuturan dari Jeka membuat Jean semakin penasaran.
Jujur, wanita itu memang tidak tau kenapa Jevian bisa dipanggil Dilan, dia hanya ikut-ikutan saja. Maklum lah dia itu kan wanita sibuk. Mana sempet nyari tau gitu-gituan.
Bukan ibunya yang menjawab, tapi justru sang ayah. "Waktu itu ada film remaja tema romantis gitu, kak. Judulnya Dilan. Terus mamamu ikut nonton. Kebetulan banget yang jadi Dilan itu mirip sama Jevian. Karena mamamu jatuh cinta parah sama film itu, jadilah dia manggil Jevian dengan sebutan Dilan."
Hayziel menambahi, "Abisnya kak, mama tuh suka banget sama Dilaaaaan! Filmnya bagus, pokoknya nanti kakak harus nonton! Terus pas ngeliat Dilan, mama tuh ngerasa deja vu. Ini anak mirip siapa ya, kok kayak nggak asing ... Eh, ternyata mirip anak mama sendiri. Jadi nggak mungkin dong mama sia-siain kesempatan ini."
Tentu saja Jean tertawa dibuatnya. Hell, keluarga macam apa ini. Kenapa juga ibunya yang sudah setua itu masih saja menonton film remaja ber-genre romansa pula.
"Mama kok demen sih sama yang begituan, udah tua juga." ucapnya disela tawa.
"Tuh, ma. Dengerin kak Jeje ngomong! Mama udah tua masih aja nonton gitu-gituan." Jevian mendengus.
Sang ibu hanya memasang wajah lempengnya, "Suka-suka mama dong. Gini-gini masih banyak juga yang mau sama mama, padahal udah punya anak 4." balasnya.
"Mama tuh iseng aja kak nonton Dilan, mengenang masa remaja dulu. Eh, taunya malah candu. Yaudah deh, Jevian jadi korbannya." sambung Hayziel.
Jean menggeleng heran. "Terus kalo aku panggil dia Jevian, gimana ma?" tanyanya sambil menunjuk si bungsu.
"NGGAK BOLEH!"
Gadis itu terlonjak kaget. Yang lain pun sama, bedanya sehabis itu mereka terkikik geli meledek Jevian.
"Pokoknya harus panggil Dilan! Yang manggil dia pake nama aslinya mama coret dari kartu keluarga." titah sang ibunda.
Please, keluarin Jevian dari sini, Jevian udah nggak kuat. Dia mau nangis aja diginiin sama keluarga sendiri. Jevian mau melambaikan tangannya aja ke kamera.
"Nih Je, liat." Jerome sengaja menggantungkan ucapannya pada Jean.
"Jerome, Jean, Jeka," lelaki itu berbicara sembari menunjuk dirinya dan saudaranya. Lalu yang terakhir, "Pfft ... Dilan."
Detik itu juga semua—tentu saja kecuali Jevian— menyemburkan tawanya.
"IH APAAN SI! NGGAK LUCU!"
Protesan Jevian tak diidahkan. Bahkan mereka semakin ngakak ketika ayahnya menyeletuk, "Kamu 'kan anak yang jebol, dek. Aslinya tuh kita nggak ada planning buat punya anak 4."
Jevian benar-benar merasa dianaktirikan. Dirinya tak rela, sangat. Awas aja, nanti Jevian akan balas dendam jika waktunya sudah tiba.
"Mamaaaaaa," rengeknya pada Hayziel.
Karena kasihan melihat muka Jevian yang sudah merah sekali karena marah, Hayziel pun mengisyaratkan pada keluarganya untuk diam.
"Udah, ah. Mereka 'kan cuma bercanda, dek." bujuk Hayziel. "Abang, minta maaf." suruhnya tegas.
Bukannya minta maaf karena dirinya yang memulai pertengkaran, Jerome malah mengeluarkan ekspresi julidnya lalu berkata, "Cowok kok ambekan."
"Abang!"
Duh, kalo gini terus kapan selesainya? Sabar ya Jevian, semoga dikasih stok kesabaran yang melimpah.
TBC
mau minta maaf kemarin malem ga jadi update huhu tertunda banget karena aku ga bisa fokus soalnya teaser bts permission to dance keluar terus juga butter 6th weeks no.1 in billboard hot100 huhu mau nangis aja. jangan lupa streaming dan jaga kesehatan selalu. maaf kalo part ini garing dan ga jelas gitu. see you on the next week!
KAMU SEDANG MEMBACA
Four J
FanfictionKehidupan absurd keempat saudara yang semua namanya berawalan huruf j. ©peaceofshyit, 2021