1. Musibah Mengerikan

73.2K 2.4K 33
                                    

Naraya Puji Astika, yang sering disapa Nara, hanya bisa mematung. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Tapi air mata bercucuran deras dari kedua matanya. Sesekali, tangannya bergerak cepat untuk menghapus jejak air mata di wajah.

Bagaimana tidak, di hadapannya kini telah membujur kaku tubuh Ergi Prastisyo, sang kekasih yang teramat dicintainya. Padahal minggu depan akan dilangsungkan pernikahan mereka. Hari pernikahan impian, yang pasti sangat dinantikan oleh gadis mana pun. Tapi kini, mimpi itu telah pupus. Tak kan bisa terjadi lagi.

Lebih dari itu, di dalam rahim Nara kini telah bertumbuh janin yang berasal dari Ergi. Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab atas janin itu? Nara sendiri tak ingin membuangnya, karena ia teramat menyayanginya.

"Mas Ergi." Suara Nara tercekat. Baru kata itu yang mampu ia ucapkan sejak tiga jam yang lalu. Tepatnya sejak kabar meninggalnya Ergi sampai ke telinganya. Sampai ia tiba di kediaman orang tua Ergi untuk melihat sang kekasih terakhir kalinya. Hingga kini, dimana Ergi telah dibawa pulang untuk disemayamkan di rumah sebelum upacara pemakaman dilangsungkan esok hari.

Pagi tadi, Ergi memang berpamitan pada kedua orang tuanya untuk keluar sebentar. Dia menyampaikan kalau ia harus menemui seorang teman yang akan menjadi groomsman di acara pernikahan mereka nanti.

Orang tuanya sempat melarang, karena pamali calon pengantin masih berkeliaran di jalan. Apalagi sudah mendekati hari H seperti ini. Namun Ergi membujuk, dengan alasan kalau ia pergi hanya sebentar. Dan akhirnya Ergi pergi mengendarai motor besar miliknya, walau kedua orang tuanya merasa berat hati.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Siapa yang menyangka, kalau pamitannya tadi pagi adalah pamitan untuk terakhir kalinya. Sebuah kecelakaan menimpa dirinya dalam perjalanan, hingga membuatnya meninggal di tempat.

Ergi memang sudah sangat berhati-hati saat berkendara. Tapi ternyata orang-orang di sekitarnya yang tidak. Truk bermuatan tekstil yang melaju sangat kencang di belakangnya, hilang kendali. Menjadikan dirinya bersama satu pengendara motor lain yang berada di sebelahnya menjadi korban. Ditambah lagi satu mini bus dan beberapa mobil lainnya yang juga terkena imbas.

Kejadian yang teramat mengerikan. Nara sendiri tak dapat membayangkan.

Kini, kerabat dan tetangga tengah bergotong-royong untuk menyiapkan segala keperluan untuk esok hari. Termasuk mendirikan tenda, menyiapkan bahan makanan dan segala keperluan lainnya.

Dunia Nara menjadi gelap seketika. Beban pikiran yang hanya ia sendiri yang tau, membawanya ke alam bawah sadar. Tubuhnya ambruk, tepat di sebelah kekasihnya yang telah tak bernyawa.

"Mbak Nara!"

Elisa berteriak menyerukan nama calon kakak iparnya. Gadis itu memang cukup dekat dengan Nara, karena keduanya seumuran dan sangat dekat. Mereka sudah sangat akrab meski baru kenal sebulan yang lalu, saat Ergi mengenalkan Nara pada keluarganya dan mengutarakan niatannya untuk menikahi Nara secepatnya.

Elisa pun mencoba membangunkan Nara dengan menepuk pelan wajah wanita itu, tapi tak berhasil. Nara pingsan.

"Cepat bawa dia ke kamar," kata Endang, wanita paruh baya yang akan menjadi ibu mertua Nara.

Tentu saja Elisa tak akan bisa sendiri melakukannya. Ia butuh bantuan orang lain yang lebih kuat untuk mengangkat tubuh Nara yang terkulai lemah.

Elisa melirik ke arah Erga, kakak pertamanya yang tampak cuek dengan situasi yang tengah menimpa Nara. "Mas Erga, tolong gendong Mbak Nara ke kamar," pinta Elisa, saat pria itu tak juga punya inisiatif untuk membantu Elisa dan Nara.

"Mas! Bisa minta tolong nggak sih?"

Kali ini Elisa menaikkan nada suaranya. Ia kesal dengan sikap Erga yang memang terkenal dingin dan cuek. Kadang Elisa merasa jika Erga bukanlah saudara kembar Ergi, karena sifat keduanya sangat bertolak belakang. Atau mungkin Erga telah tertukar di rumah sakit saat masih bayi.

Pemikiran tak berdasar yang hanya terpikir setelah menonton sinetron.

Erga menggertakkan gigi. Enggan memenuhi permintaan adik perempuannya yang terkesan bawel. Bukan karena ia tidak mampu melakukannya, tapi dia merasa jika Nara hanya berpura-pura pingsan.

Namun setelah melihat situasi di sekeliling, ia terpaksa melakukannya. Banyak pasang mata tengah menyaksikan sikap dinginnya disertai perasaan kasihan pada Nara.

Erga bangun dari duduknya. Hanya dalam sekali sentakan, tubuh mungil Nara telah berada dalam gendongannya. Tubuhnya yang kekar sudah pasti mempunyai tenaga yang besar. Langkah kaki panjangnya menuju kamar Ergi, membawa Nara untuk istirahat di sana. Diiringi langkah kecil nan cepat dari Elisa.

Erga membaringkan tubuh Nara di atas kasur. Namun wanita itu belum sadarkan diri. Wajahnya bahkan memutih, sangat pucat.

Elisa mengambil minyak kayu putih untuk membantu menyadarkan Nara. "Mbak Nara, bangun! Sadar, Mbak!" Gadis itu bersuara pelan, sedikit menggoyangkan bahu Nara. Sementara Erga memilih untuk keluar, meninggalkan adik dan calon adik iparnya yang tampaknya tidak akan pernah menjadi adik iparnya lagi.

Selang lima menit kemudian, Nara perlahan membuka mata. Meski kesadarannya belum penuh, tapi ia tampak berusaha mengingat apa yang tengah terjadi.

"Mbak Nara udah sadar?" sambut Elisa dengan senyum sumringah meski kedua matanya sembab. Ia pun membantu Nara untuk duduk lalu memberinya minum.

"Mas Ergi mana, Sa?" Nara bertanya.

Elisa menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. "Mbak Nara istirahat aja dulu, kalau memang belum kuat," katanya tanpa menjawab pertanyaan Nara.

Namun Nara malah memaksakan dirinya untuk bangun dan melihat sendiri keberadaan kekasihnya. Kondisinya yang masih sedikit lemah, memaksa Elisa untuk membantunya dan membawa keluar dari kamar. Elisa sendiri memastikan calon kakak iparnya itu hingga duduk dengan tenang.

Sementara di sisi lain, terlihat Erga yang tampak malas melihat kemunculan Nara lagi. Bukan karena benci pada wanita itu, tapi ia tidak ingin dimintai tolong lagi untuk menggendong Nara ke kamar jika wanita itu kembali pingsan. Karena hal itu bisa saja terjadi lagi.

Air mata Nara kembali jatuh. Dipandanginya wajah pucat Ergi, namun dengan tatapan kosong. "Apa yang harus aku lakukan, Mas?" ucapnya pelan, yang terdengar seperti sebuah rintihan.

Elisa dengan sigap memberikan selembar tissue untuk Nara. Lalu mengusap punggung Nara untuk memberinya kekuatan dan ketenangan. Walau kenyataannya ia sendiri pun sangat kehilangan sosok kakak yang begitu penyayang dan penyabar.

Nara menyandarkan tubuhnya dalam pelukan Elisa. Hingga keduanya menangis bersamaan. "Apa yang harus aku lakukan, Sa? Mas Ergi udah nggak sayang lagi sama aku, Sa. Mas Ergi udah pergi," tangis Nara.

"Mas Ergi tetap sayang kok sama Mbak Nara. Tapi Tuhan juga teramat sayang sama mas Ergi. Mbak yang kuat, ya."

"Lebih baik aku pergi bersama mas Ergi, Sa. Nggak ada gunanya lagi aku tetap hidup, jika mas Ergi aja memilih untuk meninggalkanku. Aku nggak akan bisa, Sa. Aku nggak akan kuat."

"Mbak Nara jangan ngomong gitu. Masih banyak kok yang sayang sama Mbak Nara," bujuk Elisa.

Nara menggelengkan kepalanya. Tapi suaranya tak mampu lagi untuk dikeluarkan. Hanya tangisannya yang kini semakin menggema.

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang