16. Pergi

34.7K 1.7K 96
                                    

Mohon bijak dalam membaca. Part ini mengandung unsur dewasa yang hanya bisa diperankan oleh pasangan suami istri.

Warning! 18+

***

Nara diam mematung, tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya kala Endang mengatakan semuanya secara gamblang. Membisu, jadi jawaban atas semua ucapan ibu mertuanya itu.

Di sebelahnya, Erga mendengar semua omelan ibunya dengan malas. Entah sejak kapan, pria ini menjadi sosok pembangkang. Tapi semuanya tak lepas dari desakan ibunya sendiri.

Ya, setelah bertemu di restoran tadi, Endang menarik paksa anaknya untuk pulang. Membatalkan seketika itu juga rencana pertemuan dengan temannya, demi menjaga martabat keluarga sebelum ada orang lain yang mengenali dan melihat mereka.

Sisca sendiri, ia biarkan menjadi sosok yang tercampakkan. Tak peduli apa yang akan wanita itu lakukan selanjutnya. Yang ia pikirkan adalah harga diri.

"Bagaimana bisa, antara suami dan istri membuat kesepakatan gila seperti itu? Apa pernikahan ini sebuah permainan untukmu, Ga?" Endang mengulang lagi kalimat yang sejak tadi tak mendapat balasan yang memuaskan.

Erga yang ditanyai masih betah pada pendiriannya. Terlihat malas untuk menanggapi.

"Mama benar-benar salah, telah menaruh harapan besar untukmu, Ga. Mama pikir, kamu yang menjadi putra satu-satunya pewaris papa dan Mama, bisa melakukan yang terbaik."

"Itu sebabnya, Mama tidak seharusnya memaksakan apa yang Mama inginkan. Aku juga udah dewasa dan bisa memilih mana yang terbaik untukku, Ma." Erga akhirnya bersuara. Dan tetap menyuarakan apa yang dia inginkan.

"Jika memang kamu benar-benar dewasa, harusnya kamu bisa menerima Nara dengan baik!" Endang tak mau kalah.

"Ma, sebaiknya Mama jangan mendebat kami lagi. Lagipula, kami yang menjalani rumah tangga ini. Kami yang tau, mana yang terbaik untuk kami. Mama lihat, Nara sendiri nggak mempermasalahkan. Selama kami masih dalam ikatan pernikahan, Mama nggak seharusnya khawatir."

"Justru Mama lebih khawatir dengan keadaan kalian yang seperti ini. Mama nggak ingin, adik kamu marah sama kita. Jadi, tolonglah dengan sangat. Hargai Nara." Endang menurunkan nada suaranya, lebih pada membujuk.

"Tapi aku nggak bisa melepaskan Sisca begitu aja, Ma. Dia orang yang sangat aku cintai. Selamanya, hati ini nggak akan pernah berubah."

Endang mengusap wajahnya dengan kasar. Ini terlalu rumit baginya.

"Kalau begitu, biarkan Mama mati sekarang!" katanya frustasi.

"Ma!" Nara berseru. Tidak mungkin ia bisa membiarkan hal itu terjadi.

"Baiklah, aku akan berusaha. Tapi Mama jangan mendesakku," putus Erga lemah. Walau dalam hatinya mengatakan jika hal itu sangat tidak mungkin untuk ia lakukan.

Endang meraih kedua tangan putranya. "Mama yakin, kamu pasti bisa, Nak. Lakukanlah dengan sungguh-sungguh."

"Asal Mama jangan memberitahu papa apa yang udah terjadi sampai detik ini."

Anggukan kepala menjadi jawaban paling cepat untuk Erga. Endang langsung menyetujuinya, asal Erga bisa berusaha menjadi suami yang baik untuk Nara.

Suasana di apartemen menjadi lebih dingin, kala Endang sudah bertolak dari tempat itu. Tatapan sinis Erga berikan, karena merasa jika Nara yang telah memberitahukan keadaan mereka pada ibunya. Baginya, wanita itu tak lebih dari seorang pengadu. Sedikit masalah, pasti langsung mengadu pada ibunya, karena tau jika Endang begitu menyayanginya.

"Memangnya apa dendam kamu sama aku?" Erga bertanya saat keduanya sudah berada di kamar.

Nara memutar tubuhnya, menatap Erga yang berdiri di belakangnya. "Maksud kamu apa, Mas? Aku sama sekali nggak menaruh dendam apa-apa sama kamu, Mas."

Erga melangkah, mendekatkan posisi mereka. "Lalu bagaimana mama bisa tau kalau aku ada di sana?"

Nara menggelengkan kepala. "Aku sama sekali nggak tau, Mas. Sebelumnya mama datang ke sini dan bertanya keberadaan kamu. Tapi aku hanya menjawab kalau kamu ada urusan di luar, Mas. Cuma itu, nggak lebih."

"Alah, pembohong! Kamu memang sangat ingin aku selalu disalahkan sama mama."

"Ya ampun, Mas. Nggak sama sekali. Aku sendiri udah bilang, kalau aku nggak mempermasalahkan hubungan kamu sama kekasih kamu itu, Mas. Kita udah sepakat. Aku nggak pernah mengingkari itu."

Erga menggertakkan gigi, geram. "Apa kamu begitu menginginkan diriku, hah?" tanyanya dengan nada bentakan.

Seketika itu, ketakutan menyelimuti Nara. Suaminya benar-benar marah saat ini. Jemari yang saling meremas pun terasa bergetar. Ia hanya bisa menundukkan kepala, tak sanggup membalas pelototan Erga.

Erga mendekat lagi, menghapus jarak di antara mereka berdua. Satu tangannya bergerak ke arah wajah Nara, mengangkat dagu wanita itu dan memaksanya untuk membalas tatapan tajam Erga.

Nara mengingkari janji untuk dirinya sendiri. Air matanya kembali terjatuh, karena ketakutan yang sangat besar untuk menghadapi Erga saat ini.

"Jika memang kamu sangat menginginkannya, akan aku berikan," bisik Erga tepat di depan wajah Nara. Nafasnya yang terasa panas di wajah Nara, membuatnya semakin bergidik ngeri.

Hanya dalam sekali dorongan, tubuh mungil Nara sudah terjatuh tepat ke atas tempat tidur. Entah kenapa, posisi mereka itu sangat memberi keuntungan bagi Erga.

Kedua tangan Nara menjaga perut yang semakin membesar. Yang ia pikirkan kini hanyalah keselamatan janinnya.

Detik berikutnya, Erga sudah mengambil posisi di atas tubuh Nara dengan bertumpu pada salah satu tangan. Sementara tangan lainnya sedang mengelus wajah Nara sensasional. Membuat ketakutan wanita itu semakin menjadi.

Erga mencium bibir ranum Nara. Tanpa ada kelembutan sama sekali. Lebih pada sikap memaksa karena wanita itu melakukan penolakan dengan menggelengkan kepala. Tapi bukan masalah bagi Erga. Karena tangan yang tadinya mengelus wajah mulus itu kini beralih menahan dagu Nara agar tak bisa melakukan perlawanan.

Nara kalah. Di bawah kungkungan tubuh Erga yang kekar, dirinya bukanlah apa-apa. Nyalinya pun menciut. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Meski tidak ingin, tapi ia hanya bisa pasrah. Melawan pun hanya akan membuang tenaga. Ia masih ingin tetap hidup demi anaknya.

Erga melepas semua pakaian Nara dengan paksa. Menampilkan tubuh polos yang ia akui memang cukup menggoda hasratnya. Ditambah perut buncitnya yang seakan menambah keinginannya untuk mencicipi nikmatnya seorang wanita.

Sedikit terburu, Erga melakukan hal yang sama untuk dirinya sendiri. Membuat tubuhnya sama polosnya dengan Nara. Dan hal itu menampilkan sesuatu di tubuh bagian bawahnya yang sudah siap untuk melancarkan aksinya.

Tak perlu basa-basi, Erga melakukan penyatuan di antara mereka. Meski ini pertama kali untuknya, ia bukanlah seorang pria bodoh yang tak tau harus melakukan apa. Sementara ia menggerakkan tubuhnya, ia memberikan ciuman di bibir Nara. Memaksa wanita itu menerima dirinya.

Nara pasrah. Biarlah semuanya terjadi sekarang. Bukan karena ia terbawa situasi yang Erga ciptakan. Jika mungkin baginya untuk menolak, pasti ia lakukan. Tapi ia hanya menyimpan energi untuk apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

Baginya, ini pelecehan. Penghinaan untuk dirinya sendiri walau status mereka sah sebagai suami istri. Dan Nara tidak akan tinggal diam akan perbuatan suaminya. Ia sudah membulatkan tekad, jika ia akan pergi dari Erga. Ya, dia akan melepaskan Erga. Memilih untuk pergi sejauh mungkin dan menjaga anaknya seorang diri. Tanpa ada siapapun di sekitarnya, walau itu adalah Endang.

Nara harus pergi.

Vote dan komen!

Istri yang Tak Diinginkan (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang