Part 6

18 1 0
                                    

Berpisah untuk dipertemukan atau dipertemukan untuk dipisahkan?

"Kai?" ucap Kana masih tak percaya. Benar saja, Kana masih sangat mengenali tatapan mata itu.

"Loh, Kana kenal sama Kai?" tanya Satria.

"Jadi sebenarnya Kana ini adalah..." ucap Kai tapi terhenti.

"Teman sekolah, Pak. Iya, jadi kita ini teman waktu SMA. Iya, gitu." Kana langsung memotong ucapan Kai karena ia takut jika lelaki itu berkata yang tidak-tidak. Mengingat Kai yang ia kenal adalah laki-laki yang sangat usil.

"Wah, luar biasa sekali. Sepertinya memang kalian ini berjodoh dan sangat cocok untuk mengerjakan proyek ini." Satria berucap dengan bangga dan percaya diri. Ia tak tahu jika perasaan dua manusia di depannya ini sedang tak karuan.

Setelah pertemuan yang tak terduga itu, disini lah mereka berdua saat ini. Masih saling diam, tak ada yang mencoba membuka suara. Memang pada awalnya Satria lah yang meminta mereka untuk berdiskusi terkait pekerjaan yang telah diberikan, sambil menikmati makan siang katanya. Memang ada dua porsi makanan di atas meja mereka, namun tak tersentuh sama sekali. Kana lebih sibuk dengan ponsel di genggamannya, sedang Kai memilih sibuk memandangi wanita di depannya. Rindu, mungkin itu yang dirasakan Kai saat ini. Bisa dibilang juga sangat rindu.

Lalu bagaimana dengan Kana? Ia bahkan tak paham dengan perasaannya saat ini. Masih tidak percaya bahwa takdir akan kembali mempertemukan mereka berdua. Sejauh apapun ia pergi dan menutup diri dari orang-orang yang berhubungan dengan masa lalunya, pada akhirnya takdir lah yang kembali membawa Kana pada dunia itu. Dunia yang bahkan tak pernah ia harapkan untuk kembali lagi.

"Ekhmm." Kana mencoba memecahkan suasana karena merasa risih dengan Kai yang sejak tadi hanya mengamati wajahnya.

"Kamu banyak berubah ya," ucap Kai setelah tersadar dari lamunannya.

"Nggak juga." Kana mencoba untuk bersikap biasa meskipun perasaannya sedang tidak karuan.

"Satu hal saja yang nggak pernah berubah dari kamu, tetap cantik." Bukan Kai jika tak mengeluarkan kata-kata manisnya.

"Kalau memang sudah tidak ada yang perlu dibahas, kayaknya aku mending balik deh," jawab Kana.

"Oke Kana, aku tahu kamu masih merasa nggak nyaman sama aku. Kita bisa mulai bicarakan konsep proyek ini besok saja."

"Oke, aku pergi." Kana berdiri dari tempat duduknya.

"Aku seneng bisa ketemu lagi sama kamu dan..." ucap Kai, dan ini membuat Kana mematung.

"Sebenarnya aku sudah tahu jika partner dalam proyek ini adalah kamu sejak bulan kemaren. Bahkan aku sangat menunggu momen ini. Aku harap hubungan kita bisa lebih baik setelah ini."

"Aku balik dulu ya," jawab Kana dan pergi begitu saja tanpa menanggapi penjelasan Kai.

Sulit, semuanya akan terlihat semakin sulit. Belum selesai dengan Reiki yang akan segera pergi, kini ia harus dihadapkan dengan masa lalunya yang kembali datang. Apa garis Tuhan memang sengaja dibuat seperti ini? Seiring berlalunya cinta, ia kembali dipertemukan dengan cinta lalu yang pernah membuatnya hancur.

Disinilah ia sekarang, di sudut kamar hotel yang menyajikan pemandangan kota Bandung. Dengan secangkir expresso di tangan yang diharapkan bisa sedikit menenangkan pikirannya. Entah akan menenangkan atau malah membuatnya kembali terkapar. Karena tak seharusnya manusia dengan penyakit lambung menjadikan expresso sebagai salah satu penenang pikiran.

Kali ini tak lagi tentang Kai yang sempat mengganggu pikirannya. Kali ini juga tak lagi tentang Reiki yang akan segera menyisakan jarak yang cukup jauh dengannya. Ini tentang dirinya sendiri, tentang apa yang menjadi ingin dan juga mimpinya. Seberapa jauh dia telah berjuang untuk memperjuangkan mimpinya. Seberapa jauh pula ia sudah berusaha untuk membahagiakan dirinya sendiri.

Juga tentang pernikahan yang sampai detik ini masih menjadi harap yang tak kunjung nyata. Atas dasar apa ia menginginkan adanya sebuah pernikahan dalam hidupnya. Apa memang dia siap untuk menikah? Apa memang dia butuh pendamping hidup yang terikat pernikahan? Apa mungkin ia hanya ingin? Atau mungkin ia hanya tertaut dengan usia yang menjadikan patokan dalam pernikahan?

Kana meletakkan cangkir expresso itu di meja, beranjak untuk mencari ponsel yang sejak tadi tak ia hiraukan. Tentu saja, banyak panggilan tak terjawab dari ibunya, adik-adiknya dan tentu saja Reiki. Jangan bertanya kenapa tak ada orang lain atau makhluk bernama sahabat yang akan mencari Kana. Karena ia sudah sejak lama membuang jauh-jauh kata sahabat dalam kamus hidupnya. Kini ponselnya kembali berdering, kali ini tentu dari Reiki yang sejak tadi sudah meninggalkan jejak 5 panggilan tak terjawab.

"Iya?" Kana menjawab telepon dari Reiki.

"Kamu kapan kembali ke Jakarta?" tanya Reiki. Sekali lagi, Reiki adalah lelaki yang cuek. Dia tak akan bertanya mengapa Kana tak mengangkat teleponnya sejak tadi.

"Akan segera pergi?" Kana seperti tahu arah pembicaraan Reiki.

"Dua hari lagi," jawab Reiki sedikit tak bersemangat. Karena ia sadar bahwa ini adalah kabar buruk untuk wanitanya.

"Oke, nanti aku usahakan bisa antar ke bandara. Segera persiapkan barang-barang yang mau dibawa, cek lagi sebelum berangkat, jangan sampai ada yang ketinggalan." Kana tetap akan menjadi Kana yang bawel jika Reiki akan bepergian. Ya, ini sedikit melegakan perasaan Reiki.

"Iya, siap sayang." Reiki menjawab dengan semangat.

"Aku istirahat dulu ya." Kana mencoba mengakhiri pembicaraan ini.

"Iya sayang, good night."

Jika waktu bisa menghadirkan cinta, apakah waktu juga bisa mengikis rasa? Lalu bagaimana dengan jarak, akankah jarak juga bisa menghapus rasa? Jika ada perpisahan maka akan kembali ada pertemuan, bukankah setiap ada pertemuan juga akan ada perpisahan? Lalu posisi mana yang akan Kana dapati kali ini? Berpisah untuk dipertemukan atau dipertemukan untuk dipisahkan?

***

Hai, balik lagi nih setelah sekian lama

semoga setelah ini bisa lebih rajin update yaa, huhuu

Kira-kira yang akan terjadi berpisah untuk dipertemukan atau dipertemukan untuk dipisahkan nih gaess? :D

365Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang