Part 3

19 2 6
                                    


Sekarang atau besok, sama-sama akan berakhir bukan?
***


“Aku harus mengurus proyek yang di Jepang, kemungkinan berangkat akhir bulan ini. Proyek itu sekitar 2 tahun, jadi aku akan lama disana.” Ada ketidak-tegaan yang Reiki rasakan untuk mengucapkan masalah ini kepada gadis pujaannya.

Kana memilih diam. Pandangannya lurus ke depan, pikirannya tiba-tiba kacau. Masalah-masalah yang sebelumnya saja belum terselesaikan, sekarang harus muncul masalah baru lagi. Dengan kondisi saat ini saja mereka sudah tidak punya waktu bersama, lalu bagaimana dengan jarak yang kini hadir untuk memisahkan mereka? Bahkan sejak lama yang mereka rasakan adalah kebimbangan antara mempertahankan hubungan atau menunda perpisahan.

“Kana,” panggil Reiki.

Tak ada sahutan dari Kana. Ia masih sibuk berdebat dengan perasaan dan juga logikanya. Ia tahu jika kekasihnya adalah seseorang yang ambisius. Ia juga tahu bahwa hal ini adalah mimpi kekasihnya sejak dulu yang akhirnya kini menjadi kenyataan. Haruskah ia menghancurkannya? Atau ia lagi yang harus mengalah seperti sebelum-sebelumnya?

“Kana, kamu tahu kan kalau...” Reiki mencoba menjelaskan.

“Ini impian kamu sejak dulu kan?” jawab Kana tanpa melihat ke arah Reiki.

Saat ini Reiki sungguh sangat bisa membaca suasana. Wanitanya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin waktu yang ia pilih untuk membicarakan hal ini kurang tepat. Memang tak ada pilihan lain. Mau atau tidak, cepat atau lambat pun ia akan tetap pergi. Egoisnya saat ini berada di posisi tanpa seizin Kana pun ia akan tetap pergi ke Jepang.

“Harusnya kamu bisa paham posisi aku.” Kalimat yang muncul dari Reiki sepertinya bisa menyulut sebuah pertikaian.

“Apa dari jawabanku bisa disimpulkan bahwa aku tidak bisa mengerti kamu?” Kali ini Kana menoleh ke arah Reiki yang masih fokus menyetir.

“Bukan jawabanmu, tapi sikapmu.”

“Aku tidak punya hak untuk menahanmu pergi kan, Rei?” Kana masih menjawab dengan santai, meskipun jika dilihat dari wajahnya sungguh ia sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

Sebenarnya tidak terlalu rumit permasalahan ini. Hanya saja ego dari masing-masing membuat semuanya terlihat lebih rumit. Kana yang mencoba mempertahankan hubungannya, Reiki yang juga masih berusaha mengejar impiannya. Bukan berarti Reiki tidak ingin mempertahankan hubungan ini. Sungguh, bahkan ia sangat mencintai Kana lebih dari yang Kana sadari. Bagi Reiki apa yang sedang ia persiapkan saat ini bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Kana.

“Kita masih bisa video call, Kana. Bahkan untuk saat ini LDR bukan menjadi sesuatu yang sulit, kita bisa tetap berkomunikasi setiap hari.” Inilah salah satu kelemahan Reiki dalam hubungan ini, terlalu menganggap enteng setiap permasalahan.

“Bukankah kita sudah sepakat untuk meyakinkan orang tua kamu agar merestui hubungn kita? Kita sepakat untuk berusaha di tahun ini kan, Rei? Bahkan tahun ini akan segera berakhir, dan sekarang kamu memilih untuk pergi.” Lagi-lagi Kana masih terlihat baik-baik saja. Untuk kali ini dia benar-benar berusaha untuk menahan emosinya.

“Aku cuma pergi kerja, Kana. Ini hanya sementara, paling lama 2 tahun. Kita masih bisa mengusahakan masalah itu dengan keadaan kita LDR. Aku akan usaha bujuk mereka supaya membatalkan perjodohannya.” Reiki masih mencoba meyakinkan.

Kana hanya menghela nafas, tak menjawab apapun. Memang sepertinya akan susah dibantah jika Reiki sudah mengambil keputusan. Tak ada pilihan lain selain Kana mengalah saat ini. Berharap pada sang waktu bahwa mereka masih bisa bersama dalam kurun waktu yang lebih lama atau bahkan selamanya.

“Kamu percaya kan kalau aku sayang banget sama kamu?” ucap Reiki sambil menggenggam tangan Kana.

“Kita sudah berjalan sejauh ini, jangan menyerah dengan keadaan ya. Kita berjuang lagi.” Reiki kembali menenagkan Kana.

“Kamu yang membuat aku seperti mau menyerah, Rei. Masalah-masalah kita saja belum kita selesaikan. Kenapa kamu menambah permasalahan baru seperti ini?”

“Apa kamu menganggap mimpiku ini adalah sebuah masalah?” Kali ini Reiki sedikit tersinggung dengan ucapan Kana. Nadanya mulai meninggi.

“Berapa banyak waktu yang kamu punya untuk hubungan kita selama ini? Berapa banyak waktu yang bisa kamu janjikan untuk hubungan kita nanti? Orang tua kamu nggak setuju dengan hubungan kita, Rei! Kalau tidak secepatnya kita menyelesaikan masalah ini, lalu kapan? Lima tahun lagi? Sepuluh tahun lagi? Menunggu Kena atau Kuna nikah duluan? Atau menunggu orang tua kamu tiba-tiba memaksamu menikah dengan wanita pilihannya hari itu juga?” Kana pun mulai terpancing emosi.

“Aku bisa jamin kalau orang tuaku akan setuju dengan hubungan kita, Kan.”

“Tapi kapan? Kamu saja tidak pernah mencoba memperjuangkan ini, Rei. Aku takut kalau ternyata selama ini aku hanya berusaha mempertahankan hubungan yang sebenarnya aku tahu bahwa akhirnya pasti berakhir.” Ya, itu adalah kalimat yang sudah sejak lama Kana pendam dan ingin diucapkan kepada Reiki.

***

Hai hai hai, balik lagi nih sama cerita Kana, Kena, Kuna
Gimana gimana? Enaknya putus atau terus?
Yukk komen 😉
Baca ceritaku yang lain juga yaa 🥰

365Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang