Chapter 5

9 3 1
                                    

Hari pertama masuk SMA datang juga. Ditemani si Mentari yang memancarkan sinar barunya, Alfin berdiri di depan gerbang SMA Dharmawangsa. Ia melihat beberapa orang berjaket almamater biru berteriak sambil mengibas-ngibaskan tangan. "Ayo siswa baru, segera bikin barisan. SEGERA!" Beberapa siswa baru lari terbirit-birit masuk ke barisan.

Belum beberapa langkah, seorang senior berambut gondrong menghadang Alfin. "Kamu pelan sekali. Berbaris di depan sana. Kamu terlambat," sergahnya.

Dia mendelik seakan-akan matanya akan copot dari rongga kepalanya. Alfin mendelik balik, lengkap dengan mata yang dibikin pura-pura juling. "Melawan kamu ya! Anak baru sudah sok!" suaranya melengking tinggi.

Luar biasa. Pada hari pertama itu Alfin sudah dihukum bersama belasan anak lain. Ia disuruh berbaris dan mengambil posisi push-up diiringi teriakan yang melengking-lengking.

Seperti mahasiswa baru lainnya, Alfin memakai baju putih, bercelana hitam, dan menggantungkan karton warna-warni di leher, bertuliskan nama.

"Ibuku saja tidak pernah membentak-bentak kayak mereka itu," ucap seorang anak baru ketika sedang makan siang lesehan. Papan namanya bertuliskan Reza. Alfin mengangguk setuju dan dua orang lain di sebelahnya segera mengiyakan.

Sejam kemudian, mereka berkerumun dengan tidak sabar di depan sebuah pintu kelas. Di daun pintu itu selembar kertas putih bertuliskan Kelas X Mipa1 tertempel rapi. Di antara kerumunan ini, hanya Reza yang Alfin kenal. Tiba-tiba, bunyi ketukan sepatu cepat dan penuh semangat terdengar dari balik ruang kelas kami. Makin lama makin dekat. Tiba-tiba dari balik tembok, muncul laki-laki muda berwajah ramah menyapa dengan nyaring,

"Silakan masuk!"

Lelaki itu mengisyaratkan masuk. Laki-laki ini adalah Wali Kelas X Mipa1 namanya Pak Agus.

"Silakan pilih tempat duduk yang paling nyaman buat kalian."

Alfin bergegas memilih paling sudut nomor dua dari depan ke arah belakang. Ini posisi aman menurutnya. Tidak terlalu depan, tapi juga tidak tersuruk di bagian terbelakang.

Setelah memperkenalkan diri, Pak Agus meminta setiap orang maju ke depan kelas dan memperkenalkan nama, asal, alasan masuk ke SMA Dharmawangsa dan cita-cita.

Awalnya Alfin ngerasa canggung karena ngeliat tampang anak-anak baru yang sangat sangar, tapi lama-kelamaan Alfin membaur sama mereka, ternyata tampang sama sikap berbanding terbalik. Sikap dan Sifat mereka itu asik-asik dan membuat Alfin nyaman di kelas. Di kelas juga Alfin punya temen-temen cowo deket yaitu Reza, yang kalau ada tugas kelompok mereka selalu se-kelompok. Sampai-sampai ada cewe yang mengalihkan perhatian Alfin. Tempat duduk Alfin dan dia memang sangat jauh, tapi karena tingkah polosnya yang selalu bertanya saat belajar Fisika, membuat Alfin jadi sering ngeliat dia. Alfin juga jadi deket karena sering beda pendapat dalam hal apapun di kelas.

Hari-hari berlalu sampai Alfin akhirnya semakin deket sama dia. Deket disini bukan berarti sering chat atau apa, Tapi semakin deket secara gak langsung. Alfin mulai terbiasa bercanda dengan dia kalau lagi belajar atau istirahat.

🔅🔅🔅

Suatu hari ada kejadian ketika cowok-cowok kelas X Mipa1 berkumpul, topiknya tentu saja tidak jauh-jauh dari perempuan.

"Cewek-cewek SMA Dharmawangsa cantik-cantik, ya." Reza, buka suara. "Gak nyesel masuk sini."

Waktu itu, Alfin diam saja, tanpa komentar menonton anak-anak kelas dua main basket di lapangan dari tempatnya bergelayut di pagar lantai dua. Dia paling malas ikut nimbrung masalah perempuan apalagi dia masih trauma dengan kejadian waktu dulu di SMP.

"Iya," timpal Dzaki. "Cakep-cakep. Liat si Adell, mulus banget. Atau si Yura."

Lalu, siswa-siswa lain pun ikut berdiskusi dengan seru.

"Kalau gue sih lebih suka sama Alena. Seksi." Yang lain sibuk menggoda dan bersiul nakal.

"Kalo gue milih Aira. Gue demen cewek yang mungil kayak dia."

"Aira biasa aja. Kalo Keisya gimana?"

Kuping Alfin jadi supersensitif mendengar nama itu disebut.

"Keisya? Keisya Anastasya ya...?" Salah seorang dari mereka mulai memperhatikan gerak-gerik Keisya yang sedang mengobrol seru dengan teman-temannya di tepi lapangan. "Manis. Ceria, kayaknya orangnya asyik."

"Gimana menurut lo Fin?" Tanya Reza

Alfin mengangkat bahu dengan cuek, tapi hatinya sedikit berdebar. "Biasa aja"

"Yang bener?"

Alfin tidak terlalu mendengarkan lagi. Dia tidak ingin mengakui bahwa dia juga merasa Keisya menarik. Kenapa, ya? Padahal, sejak Alfin kenal Keisya di Awal masuk dulu, belum pernah ia merasakan seperti ini. Kenapa sekarang mendengar namanya saja bisa bikin dada Alfin berdebar.



Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita itu hanyalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan

.

.

Tinggalin Vote , Koment 💬 kalau boleh Follow📍sekalian, Terima kasih😭

AGAIN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang