Chapter 01

61 12 2
                                    

“Louis .C. Damien… C?” Tanya seorang laki-laki berkumis tipis yang tengah memeriksa dokumen selebaran formulir data diri. Laki-laki yang bernama Louis menoleh ke belakang melihat keadaan temannya yang ada di sana.

“Oi, Bocah! Kau sedang lihat ke mana?!” Serunya. Louis tersentak kaget.

“Ma, maaf!” Seru Louis dengan tegap. Orang itu mendengus.

“Apa kepanjangan C di tengah namamu?”

“Itu… aku juga tidak tahu, Tuan…” Jawab Louis ragu.

BRAGH!

“HAH?! Jangan bercanda! Itu namamu, kenapa kau tidak tahu?!” Serunya sambil menggebrak meja.

“Sungguh, aku juga tidak tahu arti C di namaku itu. Ibuku yang memberikannya!”

“Tanya ibumu sana!”

“Aku ingin, tapi ibu sudah meninggal.”

“Ayahmu?”

“Dia… juga sudah pergi… Tuan pasti tahu hal itu. Aku tinggal dengan tetanggaku, usianya sama denganku. Kami bersama-sama merawat bayi… Bayi manusia dan bayi domba... Carla melahirkan bayinya kemarin sore.” Jawab Louis sambil memberikan senyuman yang dipaksa. Jelas sekali kalau Louis ingin mengalihkan perhatian orang itu agar tidak menanyakan lebih jauh lagi pertanyaan yang mustahil tidak bisa dia jawab untuk saat ini.

“Apa Carla itu namamu?”

“Dia domba, betina… gemuk dan… sekarang dia kurus karena anaknya sudah lahir… Suaminya bernama Richardo.” Louis memperkenalkan domba-domba peliharaannya. Orang yang mendengar ocehan Louis hanya menatapnya sambil sesekali mengedipkan mata, memandang bocah berambut cokelat gelap itu malas dan tidak ada harapan.

“Baiklah, domba tidak akan tahu namamu.”

“Benar, hanya ibu yang tahu… Mungkin ini seperti vitamin C yang tidak memiliki arti, anggap saja demikian…” Louis tersenyum paksa.

“Hah… Selanjutnya!” Teriak orang itu. Louis keluar dari antrian dan berjalan menuju ke sebuah bangku di dekat pagar dinding setinggi 10 meter dengan hiasan kawat berduri di atasnya. Dia memandang berkeliling, memperhatikan orang-orang yang tengah menyerahkan data diri mereka untuk dijadikan tentara. Dia menatap ke arah langit cerah, musim semi baru saja datang walau udara masih sangat dingin. Dia menghela napas panjang, menghirup udara dingin yang bisa seolah membekukan lubang hidungnya, namun hal itu adalah hal yang sangat biasa. Sesekali dia memegang syal berwarna biru tuanya, membenamkan setengah wajahnya sembari kembali memikirkan nasibnya setelah ini.

“Louis…!” Seru seseorang berambut cepak keemasan berlari melambaikan tangannya. Dia berdiri di barisan belakang tempat Louis mengantri tadi.

“Brian… Bagaimana, apa kau ditanya macam-macam?” Tanya bocah laki-laki berusia 12 tahun itu pada temannya, Brian. Dia berdiri sebentar, reflek menyambut kedatangan temannya.

“Tidak… Biar aku tebak, pasti dia mempermasalahkan namamu itu!”

“Tepat sekali. Hah… Aku juga tidak tahu apa kepanjangan namaku itu. C? Carlos? Columbia?”

“Louis Carlos Damien… Hm… Tidak buruk.” Brian melilitkan syal abu-abu kusamnya, dia merasa lehernya dingin. Dia ingin duduk sebentar, tapi firasatnya mengatakan untuk tidak melakukannya.

“Jangan bercanda, itu terdengar sangat aneh… Ah, sudahlah, ayo kita pulang.” Louis berdiri sambil merapihkan bajunya yang sedikit kusut. Firasat Brian benar, karena percuma saja jika duduk hanya sekian detik saja. Dia menganggukkan kepalanya menunggu Louis menggerakkan kakinya. Mereka berjalan beriringan, menapaki jalanan aspal yang sudah rusak dengan banyak lubang dan retakan karena selalu dilindas kendaraan yang berat. Angin dingin berhembus meninggalkan bau basah hujan yang turun tadi malam.

The Cursed LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang