1° - Meet : Tiga kategori

69 25 14
                                    

Ada 3 kategori yang umumnya digunakan SMA Insan Tauladan-atau nama bekennya SMA Santau-dalam membagi para siswanya. Pertama, 'Para Penikmat Subuh'. Mirip-miriplah dengan kaum pemuja senja, bedanya ini versi dengan tingkat kerajinan yang sudah di-upgrade. Suasana pagi yang sejuk, lorong sekolah yang masih sepi, bahkan kicauan burung yang menenangkan batin cukup membayar usaha mereka untuk bangun lebih pagi.

Mereka kebanyakan adalah para siswa yang rumahnya memang dekat dari sekolah dan punya niat yang cukup untuk berangkat berjalan kaki atau dengan sepeda. Sengaja sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan menuju SMA Santau yang memang terkenal indah. Saking rajinnya para anggota sekte ini, tak sedikit dari mereka yang harus memanjat pagar untuk masuk karena Mang Supri si satpam sekolah yang memegang kunci pagar masih di alam mimpi.

Kedua, 'Para Pecinta Kumis Pak Idris'. Sebenarnya hanya berisi murid-murid disiplin yang tiba disekolah dengan cara dan diwaktu yang normal. Julukan ini dipopulerkan oleh seorang Yuansa Pangeran Satyo yang ketika itu di mention namanya oleh Pak Idris saat pidato upacara Senin tahun lalu.

Begini kira-kira kejadiannya.

"Saya menyayangkan bahwa masih banyak murid-murid yang datang terlambat, terlebih lagi para kelas 12. Kalian harusnya menjadi contoh bagi adik kalian. Lah iki mbok ya malah adiknya yang nyontohin kalian." Kata Pak Idris didepan mikrofon dengan sorot mata kecewa. "Saya bisa melihat contoh disiplin dari salah satu murid kelas 10 bernama Yolanda." Sambungnya menggebu-gebu.

Yuansa merasa terpanggil, namun ia tidak terima namanya disalah ucapkan menjadi nama cewek sehingga berteriak begitu saja. "Nama saya Yuansa, Pak." Saking kerasnya sampai Kang Dadang yang lagi asik berduaan dengan Bi Yoyon sambil ngelap botol kecap di kantin pun bisa mendengar.

"Lah siapa yang manggil kamu? Saya kan memang bilang Yolanda kelas X-3. Jauh banget typo-nya ke Yuansa." Sanggah Pak Idris membuat seisi sekolah tergelak begitu saja. Marka bahkan sampai bengek sambil menepuk-nepuk pundak Nana yang kini meringis kesakitan. Sedangkan Yuansa? Ingin rasanya dia berhenti sekolah dan jualan seblak bareng Teh Kokom saja. Isin dia.

Pak Idris yang tainya ikut bengek berjamaah sudah kembali mengontrol raut wajahnya. Kumisnya sudah tidak jungkat-jungkit lagi. "Oke, Yuansa. Kalau kamu merasa disiplin coba ceritakan apa motivasi kamu tidak datang terlambat. Siapa tau motivasi kamu bisa menyemangati teman-teman yang lain."

Yuansa yang saat itu sudah terlanjur malu menjawab dengan asal-asalan. "Motivasi saya kumis Bapak. Saya cinta kumis Bapak, pengen saya pandangi tiap hari." Kalimat kedua dari sungut Yuansa pagi itu kembali sukses menghibur para warga sekolah ditengah kesuraman hawa hari Senin.

"Saya jadi sangat termotivasi, Pak!!" Teriak Hasan dari baris belakang. Pak Idris mati-matian menahan senyumnya malu-malu, kelihatan salah tingkah. Lah kok?

Yuansa kembali meringis meratapi kelemesan mulutnya. Siapa suruh asal ngebacot. Tambah isin kan jadinya.

Sejak saat itu julukan 'Pecinta Kumis Pak Idris' resmi disematkan kepada murid-murid disiplin tepat waktu dengan Yuansa sebagai pemegang jabatan tertinggi.

Kategori terakhir para murid disekolah ini adalah, 'Para Penikmat Bel Sekolah'. Bukan karena bunyi bel yang sebenarnya memang enak didengar, tapi mereka adalah para siswa dengan niat tanggung yang datang ke sekolah disaat bel masuk sudah nyaring mengiringi langkah tergopoh-gopoh mereka. Menguji adrenalin katanya.

Mereka ini sering bernasib sama dengan murid kategori pertama. Sama-sama sering diuji skill memanjatnya. Bedanya jika para penikmat subuh dapat dengan santainya memanjat pagar depan yang tingginya tak sampai satu seperempat meter, maka para anggota setia kaum ini harus putar arah ke pagar belakang yang tiga kali lipat lebih tinggi. Ekstrem memang.

DEBUS°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang