Happily Ever After (?)

10.8K 504 88
                                    

"Happy 13th anniversary, Anyelir! Eh, kamu baru bangun? Ini udah jam setengah tujuh lebih, lho."

Ucapan Alamanda itu sontak membuat mataku, yang tadinya masih setengah terpejam saat menjawab teleponnya, terbuka lebar. Cepat-cepat kufokuskan pandangan mengamati penanda waktu yang terpampang di layar ponselku. Benar saja, sekarang sudah pukul setengah tujuh lewat lima menit! Dengan terburu-buru aku mengucapkan terima kasih pada Alamanda dan minta maaf karena harus menunda obrolan kami. Kembaranku itu mengerti dan segera menutup teleponnya setelah berkata akan menghubungiku kembali nanti.

Terlambat bangun dihari Senin pagi yang sibuk memang benar-benar merupakan sebuah bencana besar,terutama bagi seorang ibu pekerja dengan tiga anak kecil sepertiku. Salahkan Mas Banyu yang semalam masih mengajakku "lembur", padahal kami baru tiba kembali di rumah pukul setengah sebelas. Seperti biasa, anak-anak kemarin begitu menikmati acara jalan-jalan "Hari Anak" kami sehingga tidak mau pulang sebelum pusat perbelanjaan tutup. Sebetulnya, kami biasa menjadwalkan "Hari Anak" itu setiap Sabtu. Namun, karena Sabtu kemarin ada saudara yang menikah, terpaksalah kami mengundurkannya ke hari Minggu. Mas Banyu lantas berkilah agar kami sekalian saja menutup acara "Hari Anak" itu dengan "Hari Istri".

Hm, padahal menurutku, seharusnya "Hari Istri" itu diisi dengan kegiatan yang bisa membuat si istri merasa rileks dan segar kembali, lho, Mas. Bukannya malah dipakai buat acara kejar setoran demi bisa memberikan cucu laki-laki untuk ibu mertua. Ah, sudahlah. Lupakan saja.

Sambil membenahi baju tidur yang berantakan, aku menoleh ke arah Mas Banyu, bermaksud hendak membangunkannya. Namun, lelaki berkulit sawo matang itu ternyata malah sudah lebih dulu menegakkan badan di atas tempat tidur. Rupanya ia juga sedang mendapat panggilan telepon, sama sepertiku barusan. Melihat dahinya yang sedikit berkerut, aku seketika mempunyai firasat kalau berita yang didapatnya sama sekali bukan hal yang baik.

Benar saja. Usai mematikan telepon, Mas Banyu menoleh dan menatapku dengan ekspresi serius. "Heru barusan telepon, Nye. Dia bilang ada masalah di kantor," katanya muram. Heru adalah sahabat sekaligus mandor kepercayaan Mas Banyu. Dia telah banyak membantu membesarkan usaha pemborong yang dirintis oleh suamiku bersama Bayu, adiknya, tujuh tahun yang lalu.

"Tolong nanti kamu aja yang antar anak-anak ke sekolah, ya. Aku mau langsung jalan duluan pakai motor."

Oh, my God!

Benakku dengan cepat berhitung mendengar kelanjutan kata-kata Mas Banyu barusan. Untuk berangkat pulang pergi mengantar anak-anak ke sekolah, setidaknya aku akan butuh waktu sekitar tiga puluh menit. Padahal aku masih harus menyiapkan seratus buah risoles pesanan kantor percetakan langganan untuk diantar pukul delapan nanti. Itu artinya aku nanti harus bekerja dua kali lebih cepat untuk menebus waktu setengah jam yang hilang. Apa boleh buat. Toh, tidak mungkin juga aku protes saat tahu Mas Banyu harus segera berangkat ke kantor untuk membereskan persoalan-entah-apa yang sedang terjadi itu. Jam yang terus saja berdetak sudah tidak memungkinkan lagi bagiku untuk menanyakan detail persoalannya sekarang. Aku hanya bisa berdoa semoga saja itu bukan persoalan besar.

Setelah mengangguk sekilas, aku pun lantas bergegas meluncur ke kamar anak-anak untuk membangunkan mereka. Tidak seperti biasanya, Clara, si Sulung, hari ini agak susah diajak bekerja sama. Padahal aku berharap dia bisa membantuku memastikan kedua adiknya tidak tidur lagi sementara aku ngebut menyiapkan sarapan.

"Perutku sakit, Ma," keluhnya sambil meringkuk makin jauh ke dalam selimut. "Badanku juga rasanya pegal-pegal semua."

Dengan agak cemas kuraba dahi Clara sekilas untuk memeriksa suhu tubuhnya. "Nggak demam," gumamku lega. "Barangkali kamu cuma agak kecapekan aja, Cla. Bangun, yuk! Ntar telat, lho. Kemarin kamu bilang hari ini ada ulangan Matematika di jam pertama, kan?"

13th Anniversary - (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang