Pondok Mertua Indah

3K 318 21
                                    

Berkat koneksi yang dimiliki oleh Mas Banyu di dunia properti, tidak butuh waktu lama baginya untuk bisa menemukan calon pembeli yang tertarik pada rumah kami. Dua minggu setelah peristiwa kaburnya Bayu, suamiku itu memberi tahu kalau ia telah selesai menandatangani surat perjanjian jual beli. Aku sungguh tidak tahu apakah harus merasa senang atau sedih mendengar berita ini. Di satu sisi, hal tersebut cukup melegakan karena masalah keuangan yang dialami kantor akan bisa cepat teratasi. Namun, di sisi lain, itu artinya kami harus segera meninggalkan rumah kecil yang sangat kami cintai ini.

Dengan perasaan campur aduk tidak karuan, aku dan anak-anak pun mulai berkemas. Di antara kami semua, hanya Emily yang tidak tampak tertekan. Mengingat usianya masih sangat kecil, aku memang tidak memberitahunya tentang detail penyebab kepindahan kami ke rumah orang tua Mas Banyu. Aku hanya bilang kalau papanya sedang butuh uang tambahan untuk membangun rumah yang lebih bagus sehingga terpaksa harus menjual rumah lama kami. Well, anggap saja itu sebuah ucapan iman. Bukankah setiap kata yang keluar dari mulut kita adalah sebuah doa?

Clara dan Dania jelas sudah terlalu besar untuk menerima penjelasan sesederhana itu. Jadi aku memberi tahu mereka kalau paman Bayu salah langkah dalam berinvestasi dan kami harus menolongnya. Syukurlah, kedua putriku itu mau mengerti. Kendati kecewa, mereka ternyata bisa menerima kondisi yang tidak menyenangkan ini dengan sangat baik.

Rumah masa kecil Mas Banyu sebetulnya cukup menyenangkan. Rumah itu tidak terlalu luas, tetapi bertingkat dua. Di bagian depannya terdapat halaman mungil yang merupakan tempat papa mertuaku, Papa Yoga, menyalurkan hobi berkebunnya pasca pensiun dari Kantor Catatan Sipil. Di awal pernikahanku dengan Mas Banyu dulu, aku pernah membantu beliau menanam bunga anyelir yang dipilihnya sesuai namaku.

"Papa dari dulu suka sekali sama bunga anyelir, Nye. Papa nggak pernah nyangka kalau Banyu ternyata akhirnya malah betul-betul mempersunting sekuntum bunga anyelir sebagai pendamping hidupnya." Papa Yoga terkekeh.

"Awal pernikahan kalian mungkin tidak semulus yang diharapkan, tapi Papa yakin kalian akan mampu bertahan. Banyu memang bukan laki-laki yang sempurna, tapi dia adalah orang yang tulus dan bertanggung jawab. Dia pasti akan menjagamu dengan sepenuh hidupnya."

Ucapan Papa Yoga itu benar-benar membuatku tersentuh. Jika beliau adalah alasanku bisa bertahan tinggal di Pondok Mertua Indah selama hampir enam tahun, maka satu-satunya hal yang membuatku masih bisa sedikit rela membantu Bayu adalah keberadaan Citra. Istri adik iparku itu tempo hari langsung menghubungi dan meminta maaf padaku begitu mengetahui kelakuan suaminya. Bahkan ketika hari ini aku bersama Mas Banyu dan anak-anak tiba di rumah mertuaku, perempuan berambut sebahu tersebut ternyata sudah menunggu kami di sana. Melihat perutnya yang sudah sangat membuncit, kuduga kehamilannya saat ini sudah memasuki trimester ketiga.

Citra langsung menyambut dan memelukku erat-erat. "Aku benar-benar minta maaf sekali ya, Mbak," bisiknya setengah terisak. "Aku beneran nggak pernah nyangka kalau Mas Bayu bisa berbuat segila ini. Kalau tahu, aku pasti akan berusaha mati-matian untuk mencegahnya. Aku malu banget, udah bikin Mbak Anye sama Mas Banyu sampai harus jual rumah buat menebus kesalahan suamiku."

Aku membalas rangkulan Citra dan untuk kesekian kalinya berpikir betapa beruntungnya Bayu bisa menikah dengan perempuan sebaik istrinya ini. Citra tidak hanya berparas cantik, tetapi juga lemah lembut dan pandai membawa diri. Entah apa yang dulu dilihatnya pada sosok Bayu yang impulsif itu. Oh, baiklah. Harus kuakui kalau adik iparku itu, seperti juga Mas Banyu, memang punya wajah yang cukup tampan dan menarik. Hanya kelakuannya saja yang sering membuat kami semua kerap mengelus dada.

"Nggak apa-apa, Ci. Semua ini bukan salah kamu, kok. Nggak usah terlalu dipikirin, ya. Nggak baik untuk kehamilan kamu," ujarku tulus. Dalam hati aku merutuki Bayu yang begitu tega meninggalkan istrinya dalam kondisi siap melahirkan seperti ini. "Ngomong-ngomong kamu sama anak-anak terus gimana sekarang?"

"Sementara aku pulang ke rumah orang tuaku, Mbak. Mama sama Papa khawatir kalau nanti tiba-tiba tengah malam aku mengalami kontraksi. Kemungkinannya dalam minggu-minggu ini si Kecil memang bakal lahir."

"Terus cicilan rumah gimana?"

"Mbak Anye, kok, malah masih bisa mikirin soal itu, sih." Citra menghela napas. "Sementara Papa yang bakal bantu beresin dikit-dikit, Mbak. Masih kurang sepertiga lagi, sih. Sayang, seandainya saja cicilan itu udah lunas, seharusnya rumah itu yang dijual dan bukan rumah Mbak."

"Udah, nggak usah dipikirin." Aku menepuk-nepuk bahu Citra yang terlihat makin tertunduk. Kasihan sekali dia, harus menanggung beban rasa malu, ditinggal suami, mengurus anak dan melunasi cicilan rumah sekaligus Syukurlah, setidaknya Citra masih punya orang tua yang bisa dijadikannya tempat bernaung.

Tidak lama kemudian Citra akhirnya pamit pulang. Sebetulnya dia masih ingin membantuku berbenah, tapi tidak kuizinkan. Aku tidak tega melihatnya harus naik turun tangga berkali-kali sambil mengangkuti barang dengan kondisi perutnya yang buncit itu. Kebetulan, kamar lama Mas Banyu yang rencananya akan kami tempati memang terletak di lantai kedua rumah, begitu pula kamar Bening yang nantinya akan digunakan oleh anak-anak.

Mama Santi, mertuaku, ikut nimbrung ketika aku sedang memasukkan pakaian ke lemari "Nye," ujarnya dengan sedikit ragu-ragu. "Mama mau minta tolong sama kamu, ya?"

"Minta tolong apa, Ma?" tanyaku keheranan. Jujur, dengan kondisiku sekarang ini rasanya aku benar-benar sedang tidak terlalu mampu untuk menolong siapa pun, deh.

Wanita paruh baya itu menghela napas lantas meraih tanganku dan menggenggamnya erat-erat. "Tolong, bujuk suamimu supaya nggak menuntut Bayu, ya, Nye," pintanya dengan mata berkaca-kaca. "Bayu hanya khilaf. Mama yakin itu. Dia tidak mungkin melakukan semua ini dengan sengaja. Perbuatannya itu mungkin memang keliru, tapi kalau dia sampai harus dipenjara, kan, kasihan, Nye. Apalagi Dion dan Evan masih kecil. Gimana nasib mereka nanti?"

Duh, Gusti!

Ganti aku yang sekarang terpaksa menghela napas sambil mengatupkan mulut rapat-rapat, berusaha menahan emosi. Khilaf, kata Mama Santi?! Nggak sengaja?! Ya ampun! Ok, deh! Barangkali memang sudah menjadi kecenderungan semua ibu untuk selalu berusaha melindungi anaknya, meski kadang sudah jelas anak itu bersalah. Eh, ralat, seharusnya kubilang "sebagian besar ibu" dan bukan "semua", karena aku yakin Ibu Suri tidak akan membelaku dalam kondisi apa pun.

Namun, sikap Mama Santi ini benar-benar membuatku jengkel dan tidak terima. Kalau beliau bisa khawatir tentang nasib Bayu yang mungkin harus dipenjara karena perbuatannya, lalu bagaimana dengan Mas Banyu? Bukankah mereka berdua sama-sama anaknya? Apa Mama Santi sama sekali tidak kasihan melihat putra sulungnya itu sampai harus kehilangan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun gara-gara kelakuan sang adik? Kalau Mama Santi bisa mencemaskan nasib Dion dan Evan, lantas bagaimana dengan Clara, Dania dan Emily? Pemikiran yang terakhir ini membuatku teringat betapa Mama Santi kerap

"Sori, Ma. Anye bukannya nggak mau bantu. Tapi setahu Anye, kantor Mas Banyu dan Bayu itu bukan murni kepunyaan mereka berdua aja. Ada satu orang lagi yang ikut sebagai penyandang dana di sana. Jadi keputusan untuk menuntut Bayu atau tidak itu harus merupakan kesepakatan mereka berdua, bukan hanya keputusan Mas Banyu aja." Aku berusaha menjawab sesopan mungkin.

"Yah, tapi mestinya kamu bisa, kan, membujuk Banyu untuk meyakinkan temannya itu?" Mama Santi masih memandangku dengan penuh harap. "Toh, mereka bekerja sama sudah cukup lama dan nggak pernah ada masalah sebelumnya. Seharusnya mereka bisa memberikan Bayu kesempatan untuk memperbaiki diri, nggak perlu sampai harus menuntutnya dipenjara."

"Wah, Anye nggak berani, Ma. Selama ini, kan, Anye juga nggak pernah ikut campur urusan kerja sama di kantornya Mas Banyu. Mungkin sebaiknya Mama ngomong sendiri aja langsung sama Mas Banyu soal ini."

"Udah, Nye. Tapi Banyu bilang, menurutnya Bayu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," keluh Mama Santi putus asa.

"Ya, kalau Mas Banyu udah bilang begitu, Anye juga nggak bisa bantu apa-apa lagi, Ma. Lagipula, bukankah udah sewajarnya kalau Bayu diminta bertanggung jawab? Dampak yang diakibatkan dari perbuatannya itu beneran nggak main-main, lho," tegasku.

"Iya, tapi, kan ...."

Bunyi dering ponsel yang tiba-tiba saja terdengar kontak membuatku mengucap syukur dalam hati. Rasanya aku harus memberi hadiah ucapan terima kasih pada si Penelepon karena sudah menyelamatkanku dari potensi terjebak dalam debat kusir dengan mama mertua. Buru-buru aku minta izin pada Mama Santi untuk keluar dan menjawab telepon tersebut.    

13th Anniversary - (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang