Restu Ibu Suri

2.9K 306 11
                                    

Kejutan! Sepertinya aku harus membatalkan niat untuk memberi ciuman terima kasih pada si Penelepon Misterius karena ... tebak siapa dia? Yups, Ibu Suri Ratih Kusumajati yang terhormat. Melihat nama beliau tiba-tiba saja terpampang di layar ponselku setelah tiga belas tahun berlalu cukup membuatku tertegun selama beberapa saat. Apa Ibu Suri sudah tahu kalau aku dan Mas Banyu terpaksa menjual rumah kami dan pindah kemari? Hebat sekali beliau bisa mendapatkan informasi secepat itu. Setelah berdehem sekilas dan memastikan suaraku tetap terdengar percaya diri, aku pun menggeser tombol hijau ke atas.

"Kamu sudah dengar soal rencana pernikahan saudara kembarmu itu, Nye?" Dengan suaranya yang dingin dan berwibawa, Ibu Suri langsung melontarkan pertanyaannya tanpa basa-basi, bahkan sebelum aku selesai mengatakan halo.

Diam-diam dalam hati aku merasa sedikit lega. Ternyata wanita paruh baya itu meneleponku hanya karena ingin membahas soal Manda. "Sudah. Memangnya kenapa, Ma?" jawabku sopan. Meskipun hubungan kami kurang harmonis, aku masih belum cukup kurang ajar untuk menyapa Ibu Suri itu dengan sebutan selain Mama jika kami sedang berbicara langsung seperti ini, yang sebetulnya hampir tidak pernah terjadi.

"Sepertinya tiga belas itu memang beneran angka sial, ya."

Eh, ternyata Ibu Suri punya pemikiran seperti itu juga?

"Mama benar-benar nggak habis pikir, bisa-bisanya Manda ketularan penyakitmu yang suka menyusahkan diri itu setelah bertahun-tahun lewat. Padahal selama ini Mama kira dia cukup waras."

Wait, jadi maksudnya aku ini tidak waras? Begitu? Nice! Thanks a lot, Ibu Suri.

"Dan aku juga benar-benar nggak habis pikir, ternyata sampai sekarang Mama masih belum berubah juga, ya." Aku berdecak.

"Hanya karena Manda akhirnya punya niat untuk menikah seperti kebanyakan perempuan lainnya bukan berarti dia itu gila, Ma," imbuhku, sekaligus membela diri.

"Memilih menikah dengan laki-laki beranak satu yang entah siapa dan mantan istrinya juga entah di mana itu apa namanya kalau bukan gila? Sinting? Atau nggak punya otak? Mama heran, nggak biasanya Manda sengawur ini."

Ok, harus kuakui, aku lumayan setuju dengan ucapan Ibu Suri yang terakhir ini. Seumur hidup kami bersaudara, aku belum pernah melihat Manda bertindak seabsurd ini. Biasanya dia selalu berkepala dingin dan lebih dulu berpikir masak-masak sebelum menentukan sikap. Keputusannya untuk menikah dengan Aditya ini, menurutku, benar-benar terkesan buru-buru. Sama sekali tidak seperti Manda yang kukenal. Entah apa yang membuatnya berbuat begitu. Namun, aku masih bertekad akan membela kembaranku itu di depan Ibu Suri. Bukankah itu alasannya memberi tahu kami lebih dulu soal ini tempo hari?

"Aditya bukan sepenuhnya orang asing, Ma. Aku yakin, Manda pasti sudah cerita tentang siapa sebenarnya Aditya dan seperti apa masa lalunya."

"Tetap saja. Itu sama sekali nggak membuat keputusan Manda jadi sedikit lebih masuk akal buat Mama. Bahkan dengan laki-laki yang lebih normal saja, pernikahan itu bakal tetap jadi sumber masalah. Lihat saja kamu."

"Lho, kok jadi aku, sih?"

"Ya iyalah kamu. Memangnya kamu pikir Mama nggak tahu kondisi kamu sekarang? Dulu Mama, kan, sudah pernah ngingetin kamu kalau Banyu itu terlalu lembek. Dia terlalu gampang percaya sama orang, makanya gampang juga kena tipu. Sekarang kamu sudah membuktikan sendiri kebenaran ucapan Mama, kan? Makanya, nasehati kembaranmu itu supaya nggak ikut-ikutan berbuat bodoh kayak kamu."

Sial! Rupanya si Ibu Suri sudah tahu soal belum mengetahui tentang kepindahanku ke Pondok Mertua Indah ini. Aku membatin seraya mengembuskan napas berat, mengomeli diri sendiri yang tadi terlalu cepat merasa senang.

"Memangnya siapa yang bilang ke Mama kalau Mas Banyu kena tipu?" tanyaku, penasaran tapi berusaha keras agar terdengar tidak terlalu terpengaruh.

"Seseorang yang terpercaya, pastinya. Kamu meremehkan relasi Mama? Sudahlah kamu nggak perlu mengelak lagi, Nye. Mama sudah tahu semuanya. Mama juga sudah lama memperkirakan hal ini bakal terjadi. Sekarang Mama tinggal menunggu saja sampai kamu akhirnya menyerah dan memilih berpisah dari Banyu."

Asdfghjkl! Hampir saja aku tidak sempat menahan kata-kata umpatan yang hendak meluncur begitu saja dari mulutku. Ya, Tuhan! Kupikir semua ibu di dunia ini pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya dan berharap bisa melihat mereka hidup berbahagia. Lalu kenapa wanita yang melahirkanku ini malah bersikap sebaliknya? Sepertinya beliau justru sangat menanti-nantikan waktunya bisa melihatku bercerai dari suamiku. Oh, well. Kenapa juga aku harus kaget, ya? Bukankah sejak dulu pernikahanku memang tidak pernah mendapat restu dari si Ibu Suri? Seharusnya aku sudah tahu kalau kami berdua memang punya definisi yang berbeda terkait kata-kata "yang terbaik" dan "berbahagia".

Sekali lagi aku mengembuskan napas berat. "Ok, aku nggak akan menyangkal kalau kondisi ekonomi rumah tanggaku sekarang memang sedang kurang baik. Tapi, Mama jangan senang dulu. Aku sama sekali nggak punya rencana, baik jangka pendek maupun panjang, untuk berpisah dari Mas Banyu. Sebaliknya, aku akan berusaha mati-matian untuk mendukung suamiku itu supaya bisa bangkit kembali. Aku bukan Mama yang lebih suka menjatuhkan mental pasangannya dengan sikap dan kalimat-kalimat yang tajam, Ma," tegasku, berusaha keras agar suaraku tetap terdengar tenang dan datar.

Alih-alih tersinggung dengan ucapanku yang, harus kuakui, cukup kasar itu, Ibu Suri justru tertawa. "Anyelir yang keras kepala dan tidak pernah mau mengaku salah. Barangkali sifat-sifat itulah yang membuatmu mampu bertahan menikah dengan laki-laki itu. Jujur, Mama cukup salut. Tiga belas tahun benar-benar sebuah prestasi yang tidak pernah Mama bayangkan akan kamu capai sebelumnya, Nye. Mama tidak yakin Manda akan sanggup menjalani kehidupan rumah tangganya selama itu."

"Untuk urusan Manda, aku harap Mama nggak akan terlalu menyulitkannya seperti yang Mama lakukan padaku dulu, Ma," tukasku langsung. "Aku harap, Mama juga nggak akan terus menerus bersikeras memaksakan pendapat dan pendirian Mama pada Manda. Kembaranku itu memang jauh lebih penurut dan mudah diatur ketimbang aku. Tapi dia sudah sangat dewasa sekarang, jauh lebih dewasa dibandingkan aku waktu memutuskan untuk menikah dulu. Dia berhak memilih sendiri jalan hidupnya. Manda berhak bahagia dengan cara yang dia pilih sendiri, bukan cara yang Mama tentukan untuknya."

"Seharusnya Mama tahu, tidak ada gunanya bicara panjang lebar sama kamu kayak gini. Percuma, hanya buang-buang waktu. Kalian berdua ini, selain kembar, memang sama saja bodohnya." Kali ini nada suara Ibu Suri terdengar berubah menjadi dingin.

"Kalau Manda akhirnya memang tetap berkeras menikah dengan laki-laki itu, sama seperti kamu dulu, ya, sudah. Terserah dia saja. Toh, seperti yang kamu bilang, kalian semua sudah amat sangat dewasa sekarang. Segala keputusan yang kalian ambil berikut resikonya sama sekali bukan tanggungan Mama, kalian harus mempertanggungjawabkannya sendiri. Mama cuma mau bilang, kalau kamu memang benar-benar peduli pada kembaranmu itu, sebaiknya kamu nasehati dia agar mempertimbangkan sekali lagi tentang laki-laki yang akan dipilihnya itu."

"Kamu juga berhati-hatilah, Nye. Mama yakin, sebentar lagi kamu akan membuktikan kebenaran satu lagi omongan Mama. Uang mungkin memang bukan segala-galanya, tapi masalah ekonomi adalah salah satu faktor yang paling krusial dan menentukan dalam rumah tangga. Ketika keuangan kalian bermasalah, hampir segera permasalahan lain akan berbondong-bondong menyusul. Selamat sore, Anyelir."

Sambil menatap layar ponsel yang telah bebas dari nama Ibu Suri, untuk ketiga kalinya aku mengembuskan napas berat. Dadaku terasa sesak, panas mendidih dan meluap-luap. Apakah perkataan Ibu Suri barusan itu adalah sebuah ancaman? Baiklah. Kita lihat saja nanti, Ma. Aku akan buktikan kalau pernikahanku dan Mas Banyu akan berlangsung jauh lebih lama dari yang bisa Mama perkirakan.

Aku mengangkat kepala dan melihat Mas Banyu dengan susah payah mengangkat sebuah kardus besar sambil menaiki tangga. Aku pun bergegas menyongsongnya untuk membantu membawa kardus itu ke kamar baru kami. Bukankah begini seharusnya yang kita lakukan sebagai pasangan jika sedang menanggung beban permasalahan? Aku yakin, hubunganku dan Mas Banyu akan baik-baik saja. Watch out, Ibu Suri!

13th Anniversary - (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang