Dalam Suka dan Duka

3.4K 351 12
                                    

Aku bersandar dengan lemas di kursi ruang duduk. Sulit rasanya mempercayai penuturan Mas Banyu barusan, kendati sebenarnya Bening tadi sudah sempat memberitahuku sekilas tentang persoalan ini. Bayu rupanya tengah terjerat hutang akibat kekeliruan dalam spekulasi saham. Tadi pagi ia kabur dari rumah dengan membawa sejumlah besar uang, yang seharusnya dialokasikan untuk membayar gaji karyawan di kantor bulan ini. Itulah sebabnya tadi pagi Heru menelepon Mas Banyu karena sudah kewalahan menghadapi para pekerja yang ribut menuntut hak mereka.

"Bayu sekarang lagi dicari sama polisi, Nye," ujar Mas Banyu pelan. "Tapi biarpun mereka bisa menemukannya dengan cepat, aku ragu Bayu akan bisa segera mengganti kerugian yang ditimbulkannya di kantor kami. Kita perlu cari cara untuk bisa mendapat dana tambahan secepatnya. Para pekerja tadi mengancam bakalan mogok kalau kita nggak segera bayar gaji mereka sampai akhir bulan ini. Kalau hal itu sampai terjadi, proyek yang sedang kami garap bakalan molor selesainya dan itu pasti akan bikin masalah jadi tambah besar."

Aku mengusap wajah sekilas dan memandang Mas Banyu yang juga terduduk dengan raut muka kuyu di sebelahku. "Berapa besar kerugian yang dialami kantor sekarang, Mas?" Aku memberanikan diri bertanya dengan suara sedikit gemetar.

"Kira-kira seharga rumah ini kalau dijual, Nye."

Tenggorokanku tercekat mendengar jawaban lirih Mas Banyu. Kupandang suamiku itu dengan tatapan nanar. "Jadi ... Mas bermaksud ... mau jual rumah ini?" tanyaku terbata-bata. Rasanya sungguh tidak rela menyerahkan rumah yang sudah dengan susah payah kami dirikan ini untuk ganti rugi, padahal sebetulnya semua itu bukan salah kami.

"Apa boleh buat, Nye. Cuma rumah ini satu-satunya aset yang bisa kita manfaatkan. Rumah Bayu statusnya masih cicilan, sedangkan mobil dan motor nilainya nggak sebanding dengan uang yang hilang itu. Lagipula kalau kendaraan yang dijual, kita nanti malah jadi repot kalau mau pergi ke mana-mana."

"Lah, memangnya kalau yang dijual rumah ini kita nggak bakal jadi lebih repot, Mas?" cecarku sambil menggigit bibir, berusaha mengendalikan diri. "Terus nanti kita sama anak-anak mau tinggal di mana?"

"Kita, kan, masih bisa numpang di rumah Papa Mama dulu untuk sementara, Nye."

Oke. Seharusnya jawaban Mas Banyu itu sudah bisa terpikirkan olehku sebelumnya. Memangnya ke mana lagi seorang anak bisa pergi ketika sedang mengalami kesulitan kalau bukan ke rumah orang tuanya? Berbeda denganku yang sudah tidak memiliki privilege semacam itu lagi, mengingat hubunganku dengan Ibu Suri yang jauh dari kata baik-baik saja, Mas Banyu jelas selalu diterima dengan tangan terbuka oleh papa mamanya jika ingin pulang ke rumah mereka.

Namun, jujur, itu sama sekali bukan solusi yang melegakan untukku. Membayangkan harus kembali tinggal di Pondok Mertua Indah setelah sekian tahun berjuang untuk mandiri benar-benar ... oh, my God! Rasanya kami seperti harus kembali ke titik nol dalam pernikahan, tapi minus segala antusiasme dan keromantisannya.

"Apa kita benar-benar nggak punya solusi lain, Mas?" tanyaku putus asa.

Mas Banyu menggeleng. "Selain rumah kita ini, cuma rumah Papa sama Mama yang nilainya hampir sebanding dengan kerugian yang dialami kantor. Nggak mungkin, kan, kalau kita minta Papa Mama yang jual rumah mereka? Kasihan, mereka sudah cukup berumur."

Aku menghela napas. Mas Banyu benar. Kejam sekali rasanya kalau papa dan mama mertuaku itu masih harus diminta ikut bertanggung jawab untuk kesalahan putranya di usia senja mereka. Lagipula kalau rumah masa kecil Mas Banyu yang harus dijual, kemungkinan kedua orang tuanya akan pindah ke rumah kami. Jadi ujung-ujungnya sama saja aku harus tinggal bersama mertua, bukan?

"Ya, udah, deh. Apa boleh buat. Semoga rumah ini bisa segera laku dijual, ya, Mas," ujarku lemah, lebih cenderung pasrah ketimbang setuju. Lagipula sebenarnya Mas Banyu memang juga tidak sepenuhnya memerlukan persetujuanku. Keputusan untuk menjual rumah ini bisa dibilang sudah resmi dibuat dan aku hanya harus merelakannya saja. Tugas tambahanku berikutnya adalah mempersiapkan anak-anak untuk menerima perubahan ini.

Mas Banyu menggengam tanganku erat-erat. "Sori, Nye. Aku tahu, kamu pasti merasa nggak nyaman harus tinggal bareng lagi sama Papa Mama. Sabar, ya. Aku janji, semua ini hanya untuk sementara waktu saja. Aku bakalan berusaha sekeras mungkin untuk bisa segera memperbaiki keadaan."

Aku memaksakan diri untuk tersenyum dan balas menggenggam tangan Mas Banyu. Apa yang dibilang Manda tadi pagi? Pasangan yang bisa menemani dalam suka dan duka? Yups, through good and bad times, I promised. Well, honestly, this time is a very very bad one for me. Namun, pesan yang kudapat setelah mengucap janji suci dengan Mas Banyu dulu kembali terngiang di telinga.

"Justru ketika masa-masa tersulit dalam pernikahan itu datang, pasangan suami istri harus lebih mempererat genggaman tangan mereka. Jangan malah sebaliknya, kalian saling menjauh atau bahkan saling menyalahkan. Dengan tetap saling berpegangan tangan, niscaya kalian akan tetap kuat dan sanggup menghadapi badai yang menerpa rumah tangga kalian."

Pesan itulah yang membuatku susah payah menahan diri untuk tidak mengungkit kalau dulu aku sempat mengingatkan Mas Banyu untuk berhati-hati saat berkongsi dengan adiknya. Meski usia mereka hanya berselisih tiga tahun, menurutku, sifat Bayu masih sangat kekanakan. Egonya mudah terpancing jika melihat saudara atau teman-temannya memiliki sesuatu yang lebih darinya. Itulah sebabnya ia kerap melakukan pembelanjaan yang bersifat impulsif, hanya untuk memuaskan gengsi. Citra, istri Bayu, pernah mengeluh padaku tentang kondisi keuangan rumah tangganya yang mirip seperti pepatah besar pasak daripada tiang. Namun, siapa yang menyangka kalau Bayu ternyata benar-benar sampai hati menipu kakaknya sendiri?

Oya, dari mana aku mendapatkan pesan bijaksana itu? Yang jelas bukan dari Ibu Suri Ratih, tentu saja. Sebaliknya, lebih dari tiga belas tahun yang lalu, ketika beliau tahu aku ingin menikah dengan Mas Banyu, wanita paruh baya berpotongan aristokrat itu justru berkata, "Buat apa kamu mau repot-repot berurusan sama laki-laki dalam sebuah rumah tangga, Nye? Semua laki-laki itu sama saja. Mereka cuma ingin memanfaatkan kita dan setelah puas lantas pergi begitu saja. Ketimbang begitu, lebih baik kamu fokus membangun karier dan menikmati hidup. Apalagi sekarang kamu baru saja lulus kuliah. Jangan jadi makhluk lemah yang merasa harus terikat dengan laki-laki, Nye!"

Aku sangat memahami alasan Ibu Suri berkata seperti itu. Sejak Papa pergi meninggalkan kami bersama perempuan lain dulu, sehari setelah ulang tahunku dan Manda yang ketiga belas, wanita yang telah melahirkanku itu memang bisa dibilang jadi sangat alergi dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki. Bahkan, kurasa, sikap antipati beliau terhadap para pria tersebut malah jauh lebih parah ketimbang rasa tidak sukaku pada angka tiga belas.

Namun, hal itu tidak berarti aku dan Manda harus ikut membenci kaum Adam sama seperti beliau, bukan.? Hanya karena si Ibu Suri gagal mempertahankan kelangsungan pernikahannya, bukan berarti kami berdua pasti akan mengalami hal yang sama pula kelak. Jalan hidup kami tentu berbeda. Apalagi setelah tahu penyebab hancurnya pernikahan Papa dan Ibu Suri, aku sudah bertekad tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku akan memperlakukan suamiku dengan sikap yang jauh lebih hormat dan hangat, meskipun latar belakang ekonomi dan sosialnya tidak seberuntung diriku.

"Kalau kamu memang masih ngotot mau nikah sama sales bahan bangunan itu, silakan saja. Terserah! Tapi jangan harap Mama mau ikut campur apa pun untuk membantu persiapan atau pun perjalanan rumah tanggamu nantinya. Kita lihat saja nanti, berapa lama kalian akan sanggup bertahan. Kalau nanti kamu sudah merasakan beratnya harus berjuang sendiri menghidupi anak-anak tanpa bantuan dari suami, baru kamu akan sadar kalau omongan Mama ini benar. Menikah itu cuma menyusahkan diri sendiri."

Tanpa sadar aku menggertakkan gigi ketika teringat pada perkataan Ibu Suri itu. Apalagi mengingat sikap dan tatapannya yang terkesan sangat merendahkan. Sejak dulu wanita yang telah melahirkanku itu memang memiliki pembawaan yang amat percaya diri dan angkuh. Beliau bahkan tidak mau menerima seserahan yang dibawa keluarga Mas Banyu sewaktu datang melamarku. Sikap Ibu Suri itu benar-benar membuatku bertekad akan membuktikan padanya bahwa aku akan menikmati hidup berumah tangga yang bahagia bersama Mas Banyu dan terbebas sepenuhnya dari campur tangannya.

Berbekal tekad kuat yang kembali membara itu, aku bangkit dan mengajak Mas Banyu makan siang. Selain terus berpegangan tangan, rasanya kami berdua membutuhkan asupan energi yang cukup untuk bisa bertahan menghadapi badai yang sedang menerpa ini.

13th Anniversary - (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang