Partner in Crime

4.3K 373 67
                                    

Setelah sukses berjibaku dengan penggorengan dan jalanan yang macet, akhirnya urusan pesanan risoles pun bereslah sudah. Beruntung, pihak percetakan yang memesannya tidak mempermasalahkan waktu pengiriman yang molor lima belas menit dari jadwal. Sejenak aku bersandar ke kursi pengemudi sambil menghela napas panjang. Rasanya pagi ini benar-benar melelahkan. Syukurlah, sebentar lagi aku akan bisa sedikit menikmati me time sebelum kembali bertugas menjemput Emily dari TK.

Aku pun lantas memacu mobil menuju ke sebuah kedai kopi langganan tempat Alamanda sudah menunggu. Manda, begitu nama panggilan saudara kembarku itu, tadi mengirim pesan dan mengajakku nongkrong sebentar di sana, bertiga bersama Bening. Sejak awal berkutat mempelajari ilmu Manajemen di bangku kuliah dulu, kami memang merupakan trio yang hampir tak pernah terpisahkan. Apalagi Bening sekarang adalah adik iparku. Dialah yang dulu memperkenalkanku pada Mas Banyu.

Begitu melihatku memasuki kedai, kedua perempuan yang tengah duduk di kursi sudut kesukaan kami itu kompak melambai dan berseru, "Happy 13th anniversary, Nye!"

Aku tersenyum dan memeluk kedua sahabatku itu. "Thank you so much, Ladies. Duh, aku jadi terharu, nih. But, please. Just say happy anniversary, okay? Nggak usah sebut-sebut angkanya," tegasku sambil menyilangkan kedua tangan.

Bening tertawa. "Masih aja alergi sama angka tiga belas, Nye," komentarnya. "Padahal Manda aja udah nyantai, tuh."

"Dia, kan, memang lebih fleksibel dibandingkan aku, Ning." Aku menyeringai sambil merangkul Manda, yang hanya tersenyum simpul. "Dan percaya, deh, kayaknya aku memang lebih nggak jodoh dengan angka itu dibandingkan Manda. Apalagi hari ini."

Aku pun lantas memaparkan sekilas tentang segala keribetan yang terjadi pagi tadi. Bercerita sepertinya memang punya efek stress release yang cukup efektif untukku karena aku seketika merasa lebih ringan dan gembira.

Bening terkekeh mendengar curhatanku sedang Manda geleng-geleng kepala. "Pantes kamu kelihatan agak kusut pagi ini, Nye. Aku pesenin kopi yang biasa, ya?" tawarnya sambil langsung memberi isyarat pada seorang pelayan.

Selain fleksibel, Manda memang juga berpembawaan tenang dan cekatan dalam mengambil keputusan. Tak heran dia bisa dengan cepat mencapai posisi manajerial di bank tempatnya bekerja. Meski sedang tidak mengenakan setelan blazernya yang biasa, aura seorang wanita karier yang modern dan mandiri tetap melekat dalam diri kembaranku itu.

Potongan rambut ala pixie cut serta polesan make up tipis yang diaplikasikannya membuat penampilan Manda, aku yakin, terlihat jauh lebih muda dariku. Jika tidak memperhatikan dengan teliti, rasanya tidak akan ada orang yang sadar kalau kami ini sebenarnya kembar. Apalagi melihat wajahku yang bahkan jarang tersentuh bedak serta rambut panjangku yang hanya dicepol asal-asalan.

Bening, yang sama-sama sudah menikah dan punya anak kecil sepertiku, pun masih selalu menyempatkan diri untuk berdandan simpel jika hendak keluar rumah. Hal itu sepertinya memang sudah menjadi kebiasaannya sejak masih bekerja sebagai customer service bank dulu.

Di antara kami bertiga, memang hanya akulah yang tidak pernah mencicipi menjadi pekerja kantoran karena memutuskan langsung menikah begitu lulus. Sejak dulu, aku jugalah yang paling cuek soal penampilan. Sekarang, diam-diam aku kerap merasa insecure jika sedang nongkrong bersama mereka. Namun, biasanya perasaan itu akan dengan cepat terlupakan karena kami terlalu asyik ngobrol dan bercanda.

"Tumben kamu cuti hari Senin gini, Nda? Nggak mungkin, kan, kamu sengaja ambil libur cuma khusus buat ngerayain anniversary-ku?" tanyaku sambil menyeruput Americano yang baru saja dihidangkan pelayan dengan nikmat beberapa saat kemudian. Asupan kafein tambahan di pagi hari seperti ini selalu sukses membuatku merasa jauh lebih rileks.

13th Anniversary - (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang